Grebeg Suro: Terima Kasih Warga Tapan Pada Leluhur

(Catatan
kecil saat saya menyaksikan langsung Grebeg Suro desa Tapan, Kedungwaru,
Tulungagung.)
Lewat tengah hari di hari Minggu (8/9/2019), ratusan warga dengan
menggunakan busana adat dan simbol-simbol tradisi memenuhi kantor desa dan
sepanjang jalan di depannya. Mereka membentuk barisan yang akan mengarak
tumpeng-tumpeng dari kantor desa menuju Setono Gilang. Ini adalah kali pertama
saya menyaksikan secara langsung Grebeg Suro di Desa Tapan, salah satu dari 8
desa se-Indonesia (yang berjumlah 74.957 desa dan 8.490 kelurahan) yang terpilih sebagai Desa
Percontohan Pemajuan Budaya.

Jelang pemberangkatan barisan dalam rangka Grebeg syro desa Tapan, Minggu (8/9/2019). (Foto: Zakiyah)

Grebeg Suro di Desa Tapan sebenarnya merupakan tradisi tahunan.
Setelah enam tahun tidak diselenggarakan, tahun ini untuk kali pertama
dilaksanakan lagi. Kades terpilih, Pak Mugiono, memastikan kalau tradisi ini
akan dilaksanakan setiap tahun sebagai ungkapan pujian dan terima kasih kepada
para leluhur yang membabat Desa Tapan.

Warga Tapan memeriahkan dengan sangat antusias. Orang tua dan anak-anak
memenuhi tepi jalan yang tidak seberapa lebar. Angin yang berembus sedikit
mengusir rasa panas karena sengatan matahari. Sehingga perjalanan sekitar lima
ratus meter terasa tidak terlalu berat bagi warga yang ikut dalam pawai Grebeg
Suro.

Penonton yang antusias memenuhi tepi jalan. (Foto: Zakiyah)


Sudah menjadi tradisi di Grebeg Suro Desa Tapan, dalam rangkaian barisan
secara berurutan menghadirkan seni tradisional reyog kendang, pembawa bendera
merah putih, bendera panji, dupa, pusaka desa, disambung dengan barisan para
sesepuh desa, dan 10 RW yang berurutan membawa tumpeng hasil bumi, tumpeng
ingkung, dan takir plonthang. Selain mengenakan
pakaian adat, ada juga warga yang berbusana unik yang masih berhubungan dengan
kearifan lokal, seperti busana punakawan. Ada hal menarik saat saat berjalan
beriringan dengan punakawan yang merupakan sajian dari RW 5. Anak-anak ada yang
menyebutnya badut, ada juga yang mengenal Semar dan Petruk, pun ada yang menjerit
dan menangis karena takut. Saya jadi ingin sekali berkolaborasi dengan para
punakawan untuk mendongeng pada anak-anak, hehehe….

Ada 10 tumpeng hasil bumi dari 10 RW desa Tapan. Ini salah satunya. (foto: Zakiyah)

Barisan ini menuju Setono Gilang yang dikenal sebagai salah satu
dari tiga punden di desa Tapan. Sepanjang
jalan, cukup banyak warga yang menonton juga mengabadikan perayaan ini dengan
memvideo da memoto. Apalagi perayaan Grebeg Suro ini baru hadir kembali setelah
vakum beberapa tahun. Pak Mugiono juga menyampaikan hal ini, selama
pemerintahannya, Grebeg Suro dilakukan enam tahun sekali, dan tiga tahun sekali
oleh pemerintahan sebelumnya. Namun pak Mugiono sudah berkomitmen, untuk
pemeritahannya yang akan datang, sejak 11 September 2019 hingga selama enam
tahun, Grebeg Suro akan menjadi tradisi rutin tiap tahun.


Para tamu duduk lesehan di serambi Situs Gilang. Tampak hadir pula dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbud RI. (Foto: Zakiyah)
Pelataran Setono Gilang nyaris tak mencukupi untuk menampung
seluruh peserta Grebeg Suro. Sepuluh tumpeng hasil bumi dibanjarkan tepat di
depan bangunan punden. Sementara warga memenuhi setiap sisi, ada yang duduk di
kursi, lesehan, dan banyak yang berdiri. Kedatangan rombongan disambut dengan
tembang-tembang Jawa. Seperangkat gamelan dan drumb yang berada di panggung
tersendiri mengiringi tetembangan yang membuat dingin hati.

Taria menyambut para tamu yang ditarikan 3 penari senior desa Tapan. (Foto: Zakiyah)
Untuk beberapa saat suasana lebih hening, tanpa bunyian gamelan,
tetua adat memanjatkan pujian yang disambung dengan doa oleh ulama. Ketiga
Gambyong mulai ditarikan, warga sudah tidak sabar untuk menyantap takir plonthang dan mengambil
sayur-mayur yang menempel di rangka tumpeng. Kemeriahan ini tak dapat
dihentikan oleh paranata acara
sekalipun. Semua yang hadir menyantap sambil menikmati gambyong.
Tak sabar untuk menyantap tumpeng dan ayam ingkung. (Foto: Zakiyah)

Kemeriahan grebeg suro akhirnya ditutup dengan Tayub. Pak Camat
Kedungwaru, Pak Mugiono (kades Tapan terpilih), perangkat desa, semua turun
menari bersama para penari tayub.

Seni Tayub sebagai kekayaan tradisi. (Foto: Zakiyah)
Sepanjang saya mengikuti keseluruhan rangkaian Grebeg Suro, meskipun
tampak kasat mata ini sebagai tontonan, ada nilai-nilai luhur yang
tersampaikan. Paparan Pak Akhol Firdaus dari IJIR IAIN Tulungagung tentang
Ritus-Situs di Tapan yang disampaikan di sarasehan sebelum acara Grebeg Suro
digelar, sangat memperjelas posisi tradisi ini di masyarakat. Grebeg Suro
adalah tradisi, sebagai ungkapan hormat dan pujian kepada para leluhur Tapan,
wujud kesantunan komunal. Demikian juga bagian-bagian yang dimunculkan dalam
barisan Grebeg Suro, mulai dari reyog hingga tumpeng dan takir plonthang. Kalau diurai, maka tidak cukup hanya satu dua
tulisan, melainkan satu buku tentang Grebeg Suro.
Mungkin saja Grebeg Suro di tempat kaian berbeda. Ini menunjukkan
betapa sangat kaya sekali budaya kita. Catatan saya ini baru secuplik kecil
dari kekayaan budaya: ritus – seni – situs. Itu pun hanya permukaannya saja. []

2 thoughts on “Grebeg Suro: Terima Kasih Warga Tapan Pada Leluhur

Leave a Reply to Tjut Zakiyah Anshari Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *