Suatu senja, di hari Kamis, serombongan berjalan kaki melewati jalan pedesaan untuk pulang. Sebelumnya, diputuskan singgah di kedai menyicipi pempek dan jus buah. Sambil menunggu sajian, saya yang menjadi bagian rombongan menyempatkan untuk merekam suasana balai desa yang layaknya kantor bupati yang letaknya tepat di belakang kedai itu. Ya, Kantor Desa Ponggok, Polanharjo, Klaten.
![]() |
| Merebut kekuasan untuk mengungkap kebenaran dan keadilan dalam darama korea Haechi yang sedang tayang. (Foto link ini) |
Bukan Kantor Desa keren yang akan saya ceritakan, melainkan sesesi tayangan tivi di kedai yang tak bisa tidak tertonton juga.Sebuah sinetron, entah apa judulnya, berkisah tentang pemuda vampir, dan saat itu adegan sekitar 10 menit (sepanjang saya makan pempek) hanya teriakan-teriakan histeris, raungan tangis, sambil entah ngomong apa, dan membuat rombongan kami bete. Ya, kami semua gak suka sinetron, tepatnya gak pernah nonton tayangan sedramatis itu.
Bukan hanya anggapan tidak nasionalis karena menyukai karya seni manca, tapi ada juga yang mencap tidak Islami. Teknologi internet sangat memanjakan setiap orang untuk mendapatkan apa yang mereka ingin baca, dengar, tonton, hanya dengan “cari dan klik”. Percaya atau tidak, para pengguna internet terus belajar untuk selektif dalam memilih dan memilah karena waktu yang dimilikinya terbatas sedang sajiannya berlimpah. Ya tentu saja tidak semua hasil pilah pilihnya masuk dalam kategori baik menurut orang lain, tapi mungki itulah yang mereka butuhkan. Bedanya, argumen ini tidak berlaku bagi anak-anak.
Sama seperti novel, para penikmat drama dan film pun akan memilih genre (aliran) yang diminatinya. Seperti halnya kedua anak gadis saya menyukai horor sedang saya kurang suka, sementara saya menyukai sejarah.dan kedua anak gadis saya kurang menyukainya. Mereka sudah bosan dengan Korea dan mulai suka dengan karya Thailand atau AS, sementara saya yang dulu menyukai India dan AS malah menemukan ketertarikan yang kuat dengan Korea.
Kami (saya dan anak-anak perempuan saya) punya beberapa alasan ketertarikan sinema Korea, meskipun mereka sudah mulai berkurang menonton drama dan film Korea (tentu ini yang sudah saya pilih dan tetapkan untuk saya tonton, hehe). Pertama, kekayaan cerita dan genre yang menginspirasi. Apa saja sih inspirasinya? Diantaranya jadi tertarik untuk membaca beberapa literatur (meski daring, karena paling mudah dan cepat diakses untuk memenuhi rasa ingin tahu), beberapa foto dan video, dan lain sebagainya. Seperti banyaknya drama dan film Korea yang mengisahkan masa kedinastiannya, mau tidak mau merangsang para penonton untuk memburu catatan-catatan sejarah Korea yang disajikan secara daring. Paparan secara terus-menerus tentang tradisi (termasuk pakaian dan kuliner) juga wajar jika kemudian para penontonnya juga meminati model-model hanbok (secara hanbok sangat menutup aurat disamping artistik, sehingga saya sangat suka) ataupun tteokbokki, jajangmyeon, dan kawan-kawannya. Sinema cara yang cukup dahsyat untuk mempromosikan muatan atau produk tertentu.
Kedua, episodenya tidak terlalu panjang, antara 16-20 saja, sekitar 8-10 minggu menonton. Meskipun terkadang dijumpai episode terakhir yang terkesan memaksakan untuk segera diakhiri ceritanya, setidaknya tidak membunuh klimaks yang sudah disajikan dan dirasakan oleh penonton. Strategi mereka, jika season ini diminati penonton, akan dihadirkan di season lanjutan, sebagaimana drakor Voice yang bercerita tentang kehidupan petugas emergency 112. Memang ada beberapa drakor yang berepisode panjang 40-60, seperti Jewel in The Palace (Dae Janggeum) yang berjumlah 54 episode. Bahkan yang berdurasi pendek (15-30 menit) dengan episode kisaran 16, tetap tersaji menarik, tak mengurangi pesan, dan alur yang tetap mengalir mulus.
Ketiga, kuat sekali pesan literasi, baik dalam proses kreatif pembuatan maupun konten dalam tayangan. Seperti drakor Jewel in The Palace sendiri dibuat berdasarkan catatan sejarah Dinasti Joseon. Sedang konten drama atau filmnya juga sarat mengekspose dekatnya mereka dengan bacaan, dokumentasi, buku, catatan harian, perpustakaan, bahkan hampir di setiap episode selalu ada scene seperti ini. Semisal di drakor Haechi yang sedang tayang, Yi Tan (pangeran yang berambisi kuat untuk menjadi raja) memiliki karakter kejam dan selalu mencatat korban yang dibunuhnya dalam buku yang disimpan di sebuah vihara. Ketika Pangeran Yoening mengetahui ada buku itu, ia bersama dengan komplotannya berusaha untuk mendapatkannya demi membuktikan kebersalah Yi Tan dan menghentikannya menjadi raja. Begitu juga dalam film Man of Will yang sangat kuat pesan pentingnya kemampuan membaca dan menulis.
Keempat, meski demikian menariknya karya sinema Korea bagi saya, bukan berarti semuanya saya suka. Banyak juga drama (terutama yang beraliran drama) menonjolkan bagaimana upaya kompromi yang memerlukan banyak pengorbanan pada orang-orang dengan strata (kasta) berbeda, yang tak jauh-jauh amat dengan latar sinetron Indonesia. Tapi saya kira latar demikian memang menarik untuk disajikan karena banyaknya konflik akibat eksklusivitas ini. Bedanya, dramatikal dalam upaya mencapai kompromi, saya lebih menyukai alur di drama Korea. Subyektif memang. Karena saya tak harus menyaksikan adegan yang dipaksakan untuk mengekspresikan emosi.
Kelima, saya tidak suka (subyektif) tayangan yang terlalu vulgar seperti kekerasan, penampakan darah, dan ciuman. Tapi bukan hanya sinema Korea saja yang menampakkan kevulgaran itu, karena ketiganya sering menjadi alasan daya tarik industri hiburan. Sudah seharusnya jika memang di setiap tayangan, ditampilkan peringatan “hanya untuk penonton usia minimal 15 tahun”.
Memang alasan-alasan saya tak serta merta menunjukkan bahwa rasa nasionalisme dan agamis tetap hadir dan bertahan dalam diri seseorang, tapi tidak juga bisa disebutkan luntur hanya karena menyukai karya-karya manca. Terlalu dangkal jika menyimpulkan demikian. Dalam konteks “membaca dan menulis” yang diperintahkan Allah swt, bisa jadi mereka lebih menjalankan. Bahkan termasuk catatan Pangeran Yi Tan, tentang korban-korban yang dibunuhnya (pun ada 2 malaikat yang masing-masing mencatat perbuatan baik dan buruk setiap individu).
Bagaimana denganmu, kawan? Pasti ada pandangan yang sama dan berbeda.
Salam literasi.

Saya setuju dengan bunda… Menikmati Drakor di waktu senggang bagi saya cukup menghibur. Ada beberapa judul yang cukup membekas bagi saya, seperti my mister dan sky castle… Pengemasannya sangat bagus.
Banyak pilihan, sehingga kita bisa memilih sesuai dengan genre yang kita minati.
Tidak lebay, membuat akal dan hati kita tetap sehat, tetap waras…. hehehe
Menginspirasi banget, Bun, artikelnya. Per-alinea kalau diperpendek lebih enak di mata, Bun. Ngga mudah capek membacanya (hehe). Maaf ini hanya pendapat pribadi saya, lho, Bun.
Wah, matur nuwun sarannya, Tabib Wira.
Ini dia, kalau sudah style, gelagapan juga mengubahnya. Style crita….. 😀