Di era digital, desa yang di masa
lalu menjadi tempat yang aman, nyaman, dan damai, bisa berubah menjadi
tempat-tempat tersembunyi munculnya potensi-potensi baru, positif maupun
negatif.
pegunungan dua tahun silam, para relawan bersua anak-anak yang memiliki dan
asik bermain gawai. Bahkan ketika di daerah pesisir, diantara anak-anak tidak
sedikit yang memiliki gawai dengan spesifikasi tinggi. Ketika kegiatan pesta
baca berlangsung, beberapa anak bergawai tidak fokus mengikuti kegiatan karena
asik dengan gawainya. Padahal saat itu di daerah pesisir tersebut masih sulit jaringan
internet yang menyebabkan pemborosan kuota internet dan daya listrik pada gawai.
Di beberapa kesempatan mengunjungi sekolah dasar di wilayah pedesaan masih
di kabupaten yang sama untuk kegiatan pembelajaran menulis, jawaban dari
pertanyaan keminatan, anak-aak lebih dominan menyukai main gawai, main game, dan menonton TV. Tak lebih dari 1%
yang menyukai membaca apalagi menulis.
![]() |
| Kelompok Membaca pada Pesta Baca Anak Pesisir yang tidak terlalu diminati. Membaca lantang menjadi salah satu strategi menarik minat teman sebaya. (Foto: Dokumen Pena Ananda Club) |
![]() |
| Membacakan buku sebagai salah satu menumbuhkan minat dan kecintan terhadap buku dan membaca, di Kelompok Membaca, Pesta Baca Anak Pesisir. (Foto: Dokumen Pena Ananda Club) |
Jika mengacu dari data survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia) tahun 2017, menunjukkan bahwa tingkat penetrasi internet
pada masyarakat rural (pedesaan) mencapai 48,25%, belum terpilah berdasarkan
usia. Jika konsentrasi pemilik gawai dan ketersediaan jaringan internet lebih
banyak di Pulau Jawa, dapat disimpulkan bahw penetrasi di masyarakat pedesaan
Pulau Jawa lebih besar dari 48,25%. Karena fakta di lapang, anak-anak (diluar
usia responden survei APJII) juga telah meggunakan gawai (walaupun tidak
berkorelasi dengan kepemilikan) dibanding orangtua (yang menjadi bagian usia
survei APJII).
ini karena menjadi tantangan paling besar dan berat untuk literasi tradisional
(membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara). Terlebih ketika masih sedikit
sekali warga yang memahami bahwa literasi tradisional sebagai fondasi utama
dalam pembelajaran sepanjang hayat. Minat membaca, apalagi menulis, masih
rendah, tampak jelas saat kegiatan pesta baca dilaksanakan. Peserta yang
terdiri dari anak-anak usia antara 6-15 tahun dibagi menjadi 4 kelompok:
membaca, mendongeng, menggambar, dan prakarya. Kelompok yang paling sedikit
peminatnya adalah kelompok membaca. Untuk menarik minat, para relawan melakukan
“membacakan buku” untuk mereka, khususnya anak-anak yang belum bisa membaca.
Beberapa anak di kelompok ini juga diberi tantangan untuk membaca lantang
sehingga menarik perhatian teman-temannya.
waktu ini belum mengikut sertakan orangtua. Padahal, ada beberapa fakta di
wilayah pedesaan, seperti di pesisir dan pegunungan ini menjadi alasan kuat
untuk melibatkan orangtua dalam edukasi literasi. Pelibatan ini menjadi sangat
mendesak karena berhubungan erat dengan kebiasaan anak-anak, baik literasi
tradisional dan literasi baru (literasi media, literasi digital, literasi
informasi, dan lainnya).
- Pertumbuhan warung
kopi dan tempat hiburan yang menyediakan wifi gratis. Dengan digencarkannya
program “desa wisata”, pertumbuhan ini potensi fenomenal. - Pembangunan di
desa masih dominan pada aspek fisik-infrastruktur. - Kepemilikan gawai
pada anak-anak yang cukup tinggi. Berdasarkan data APJII tahun survey 2017,
penetrasi penggunaan internet pada remaja (13-18 tahun) mencapai 75,5%.
Padahal, anak-anak dibawah usia 13 tahun (tidak masuk sebagai responden survey
APJII) juga sudah memegang bahkan memiliki gawai. - Masih sangat
sedikit orangtua yang memahami penting dan manfaat membaca dan menulis sebagai
fondasi pemanfaatan gawai secara lebih sehat, bertanggung jawab, kreatif, dan
produktif. - Mayoritas orangtua
buta teknologi digital yang berdampak pada kurangnya pemanfaatan kreatif dan
produktif, serta lemahnya pendampingan terhadap anak. - Pola pikir bahwa
sukses itu adalah kaya secara materi.
yang sangat penting bagi keluarga TKI/TKW. Anak-anak mereka (bagi TKI/TKW yang
sudah memiliki anak) akhirnya berada dibawah asuhan bapak/ibu (tunggal) atau
nenek kakek mereka. Tanpa berpikir bahwa ada dampak negatif dari penggunaan
gawai dan internet, para orangtua membekali anak-anak dengan gawai, padahal tidak
saban hari digunakan berkomunikasi dengan orangtua di rantau. Orangtua bukan
tidak tahu kala anak-anak mereka lebih banyak menggunakannya untuk mengakses
media sosial, hiburan, dan game.
mendapatkan penghasilan yang sangat tinggi. Namun karena literasi finansialnya masih
rendah, penghasilan tersebut nyaris habis untuk memenuhi keinginan konsumtif,
salah satunya membeli gawai. Gawai tidak lagi sebagai sebuah kebutuhan,
melainkan gaya hidup. Semakin tinggi spesifikasinya, semakin bergaya dan
bergengsi, meski tidak semua aplikasi termanfaatkan sesuai kebutuhan.
literasi Pena Ananda Club menemukan sikap dan perilaku anak-anak yang kemudian
menjadi bahan diskusi bersama.
- Konsentrasi anak
yang pendek saat membaca dan mendengarkan orang berbicara. - Fokus pada gawai
meskipun sedang berada dalam kelompok pertemanan atau kegiatan tertentu. Gawai baru
diletakkan jika melakukan kegiatan fisik, seperti sepak bola, outbond. Bahkan ketika membuat prakarya
dan mengalami kesulitan atau jenuh, perhatiannya langsung beralih ke gawai. - Rata-rata yang
diakses anak-anak adalah game dan
youtube. Relawan belum mengidentifikasi jenis game yang dimainkan dan tayangan di youtube yang ditonton. - Meskipun
kasuistik, hanya 1-2 anak sekolah dasar menunjukkan dan memperagakan gerakan bersenggama
(dimainkan secara berkelakar). - Senang selfie.
- Bisa membuat
rekaman layar yang berpotensi merekam apa saja tanpa mempertimbangkan keamanan
dan kenyamanan diri sendiri maupun orang lain. - Ketika anak-anak
menerima kiriman gambar, video, tulisan melalui media sosial, tergugah untuk
menyebarluaskan tanpa mempertimbangkan nilai dan dampak dari kiriman itu.
Alasan menyebarluaskan: agar dianggap sudah tahu dan tahu lebih dulu dibanding
teman yang dikirimi, kirimannya menarik perhatiannya dan pasti juga menarik
bagi temannya, atau “senang saja bisa membagikan”.
perlindungan privasi diri sendiri dan orang lain di dunia maya. Kebisaan mereka
menggunakan gawai belum diikuti dengan literasi yang cukup terhadap teknologi
digital, media, dan informasi, hingga dikhawatirkan berdampak terhadap
kenyamanan dan keamanan bagi mereka dan lingkungannya. Seperti halnya jika foto
dan rekaman layar, baik tentang diri sendiri maupun orang lain (teman,
keluarga, warga umum), dipublikasi (unggah) dan disebarkan, berpotensi melanggar
privasi, kenyamanan dan keamanan diri sendiri atau orang lain, bahkan dapat
menarik predator dan tindak kriminalitas di dunia siber. Ini salah satu
tantangan upaya Kemdikbud dalam pencegahan tindak traficking (bermula dari kejahatan seksual online).
serta merta memacu kesadaran orangtua, generasi Y (lahir awal tahun 1980an) apalagi
generasi sebelumnya, untuk memanfaatkannya bagi kepentingan pendidikan dan
peningkatan kapasitas diri. Di desa-desa kantong TKI, profil TKI sukses sangat
mempengaruhi cara berpikir masyarakat secara luas di desa itu. Sukses itu
adalah tercukupi secara materi, punya tanah, rumah, gawai, motor, bahkan mobil.
Paradigma sukses dan makmur adalah tersedianya infrastruktur dan kaya secara
materi, sulit untuk dibantah. Dan rata-rata orang kaya di desa, kalau bukan
pemilik lahan, pemilik perahu, ya TKI/TKW, yang pendidikan formalnya rata-rata maksimal
SMA.
pandang dan pola pikir terhadap pendidikan bagi anak-anak. Diantaranya kuat
anggapan bahwa yang pendidikan itu sepenuhnya tanggung jawab sekolah. Tugas
bagi orangtua adalah pendidikan agama (madrasah) dan membantu anak
menyelesaikan pekerjaan rumah. Bahkan masih ada anggapan pembelajaran di
lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) kurang penting, sehingga orangtua memilih
langsung memasukkan anaknya ke SD/MI.
menggunakan aplikasi-aplikasi baru, bagi orangtua itu adalah keluarbiasaan,
kehebatan, dan layak untuk menjadi topik perbincangan dan kebanggaan antar
orangtua. Sebagian besar tak peduli dan tak punya waktu luang untuk memperhatikannya
apa saja yang anak-anak tonton, dengar, dan baca. Sebagian tidak mengerti apa
yang harus dilakukan setelah mengetahui yang diakses anaknya. Akhirnya lebih
memilih untuk tidak turut campur, alih-alih dinilai sebagai pengabaian. Disisi
lain, terkadang anak sendiri yang tidak ingin orangtuanya mengetahui apa isi
gawainya, apa yang didengar, ditonton dan dibacanya. Orangtua merasa kehilangan
otoritasnya dan tak tahu harus melakukan apa.
kondisi sebagaimana terpapar di atas, memerlukan strategi dan sumber daya yang
relatif besar. Dari serangkaian aspek edukasi yang semestinya segera sampai ke
para orangtua dan warga desa, secara prioritas adalah sebagai berikut:
betapa pentingnya peran orangtua dan keluarga untuk kesuksesan masa depan anak-anak
masa kini, yaitu anak-anak generasi milenial dan alpha. Pendidikan tak
dapat sepenuhnya diserahkan ke lembaga pendidikan formal (sekolah). Langkah ini
tak cukup dilakukan sekali saja, misalnya melalui seminar, pertemuan warga,
atau pegajian. Penanaman pemahaman sama dengan penanaman pembiasaan yang
memerlukan pengulangan sesering mungkin, minimal 21 kali.
menguatkan pemahaman literasi digital, sehingga dapat memanfaatkannya secara aman,
nyaman, mampu untuk memenuhi kebutuhan (kreatif dan produktif), baru untuk memenuhi
keinginan. Literasi digital menjadi sangat utama untuk diterima para orangtua,
anak-anak, dan warga, yang saat ini kesehariannya tak dapat dilepaskan dari
penggunaan gawai dan internet.
literasi dan edukasi di sekitar para orangtua. Seperti pondok baca, sanggar
kreatif, pusat kegiatan belajar masyarakat, dapat menjadi pusat-pusat sumber
literasi yang tersebar di seantero desa, senyampang pusat kegiatan tersebut dikelola
secara dinamis dan menyesuaikan dengan tuntutan kekinian.
komunikasi warga yang secara sadar diisi dengan konten diskusi da edukasi seputar
literasi (dalam arti luas). Untuk desa-desa yang mudah jaringan internetnya,
dapat melalui grup WA Warga, dan secara rutin dihadirkan topik-topik edukasi
dan literasi.
pemahaman melalui pembiasaan perlu pendamping lokal (dari desa tersebut) agar terjadi
perubahan pola pikir, sikap, keputusan-keputusan, dan perilaku pada orangtua
pedesaan. Dengan demikian perlahan tapi pasti, partisipasi orangtua pada
pendidikan anak generasi saat ini dapat berlangsung dengan kesadaran, bukan
keterpaksaan.



Semangat terus bunda untuk menjadikan anak2 gemar membaca 😍
Senang sekali semakin banyak anak mud ayang melakukan gerakan ini bersama. Seperti tadi siang, lama saya berdiskusi dengan adik-adik Book on Wheel. Beberapa pemikiran yang saya tuliskan ini, saya sampaikan pula ke mereka.
Estafet telah dilanjutkan……
Memprihatinkan memang untuk daerah yang berada pada zona TKI/TKW. Modernitas ditelan mentah-mentah seolah itu tuntutan zaman, memyamakan derajat dengan masyarakat kota. Padahal di kota tidak sedemikian halnya. Semua hal berbau kota diboyong ke desa, perangkat elektronik, kendaraan, bangunan, gaya hidup dan mungkin pula hiburan/kesenangan yang sifatnya negatif. Nenek Kakek yang berada di zona ini seakan tak berdaya dengan perubahan yang ada. Banyak korban trafficking ada di zona ini. Anak-anak berkendara dengan kendaraan modern serta ikut menyumbang angka kecelakaan. Model-model pelecehan seksual dan narkoba sudah barang biasa. Semua keadaan ini bisa jadi jarang diperhatikan oleh pemerintah, minimal perangkat desa serta tokoh masyarakat disekitar. Sehingga mereka masyarakat semakin jauh dari bahan bacaan. Disamping juga siapa yang ingin buka toko buku di desa?? Boro-boro jualan, menyediakan baca gratis di pasar saja masyarakat tak bergeming, malah disangka berjualan. Saya hargai dan memuji seluruh tindakan pergerakan literasi yang dilakukan oleh sahabat pegiat litetasi dimanapun, khususnya oleh bunda Tjut Zakiyah di Tulungagung. Entah bagaimana kondisi kota lain di pinggir pesisir yang jarang tersentuh oleh pegiat literasi. Semoga semua pegiat literasi mampu bertahan dengan segala kondisi yang ada. Terima kasih bunda, tulisan berdasarkan pengalaman memang tak terbantahkan…..menginspirasi sekali.
Hmmm..
Edukasi orang tua pastinya suatu pekerjaan yang berat, panjang dan perlu energi besar.. apalagi tanpa ditunjang peran pemegang kebijakan..
Tapi pasti sangat menyenangkan..
Semangat berjuang tanpa lelah Bun..
Hasilnya biarlah Allah yang menilai dan memberi balasan..
Saat ini, menemukan para pegiat desa yang berela hati untuk berjibaku melakukan edukasi berkesinambungan ini yang menjadi kunci. Dengan potret semacam ini, bukan lagi saatnya kita membuat yang disebut "proyek percontohan". Fakta lain, menggerakkan tokoh-tokoh kunci juga tantangan tersendiri. Ada pemeo kental sekali, "obah, opah", apapun tak ada yang gratis sekarang ini. Walhasil, "pasukan relawan" secara kuantitas harus bisa menjawab, mengingat luas dan "mendalamnya" jangkauan.
Mungkin karena Jawa mayoritas adalah daratan, berbeda dengan wilayah-wilayah dengan sebaran pulau-pulau kecil, gerakan literasi di wilayah pesisir sangat menarik untuk disimak dan ditiru.
Jadi ingat telepon salah satu pendengar Bonansa FM kemarin, pak Fianda. Begitulah. Orangtua, bahkan kakek nenek sekarang juga harus melek digital. Karena kalau bukan untuk keluarganya, ya untuk anak-anak sekitarnya. Siapa tahu, anak-anak itu akan berteman dan berinteraksi dengan anak dan cucu kita. Karena lebih banyak pengaruh pertemanan jauh lebih kuat dibanding pengaruh orangtua.
Menurut saya, salah satu "Edukasi" terpenting bagi para orang tua adalah dimulai dengan berhenti menonton serial sinetron. Hahahahah
Semangat Bunda, biarkan seluruh energi positif yang engkau berikan mengalir dalam setiap atmosphere semesta..
Gak berlaku bagi keluarga tanpa TV 😂
Tapi susah untuk menjadi keluarga tanpa gawai 😎
Menurut saya pribadi, Bun, jika kondisi lapangan sudah 'terlanjur' demikian mungkin bisa disiasati dengan teknis pembelajaran yg awalnya melibatkan gawai namun perlahan juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya literasi tradisional baik pada anak-anak maupun orang tua dari si anak.
Seperti para komentator yg lain, saya cuma bisa memberi semangat lewat beginian doang, Bun. Dan tak lupa doa agar Bunda selalu dilimpahi kekuatan agar terus bisa menebar 'virus' literasi. Semanga, Bunda 😊
Yups. Jadi literasi tradisional dan digital harus seiring sejalan. Menempatkan gawai sbg "tools" yang bukan utama.
Bunda justru sangat berharap gerakan anak muda yang super kreatif dapat menjawab bersama, strategi, teknis, metode yang benar-benar pas sesuai dengan kebutuhan dan potensi yg telah ada.
Makasih doanya 😆😍