Pertemuan Inspiratif dengan Pak Irwan

Berselang beberapa hari selepas saya menuntaskan tahap pertama Gebyar Literasi Sekolah di SMP Negeri 1 Bandung Tulungagung, sebuah voive note menyapa dari ruang WA. Beliau mengenalkan diri berdomisili di Tulungagung dan menyampaikan senang sekali bisa menemukan Pena Ananda Club melalui internet. Beliau menyampaikan telah menggunakan banyak waktu untuk mengenali Pena Ananda di dunia maya.

Pak Irwan, bu Mamik (istri pak Irwan), dan saya.


Pak Irwan. Begitulah, beliau selalu menggunakan voice note dalam berkomunikasi dengan saya. Hingga saya baru tahu jkalau beliau tuna netra saat beliau bersama istri (bu Mamik) dan pak Mul berkunjung ke Pena Ananda Club hari Rabu (10/1) lalu. Berceritalah beliau sekilas perjalanan yang membuatnya “tersedot” dalam dunia sastra dan kepenyairan.

“Mantan pacar saya ini adalah inspirasi dan motivator dalam hidup saya,” katanya berulang kali hingga membuat bu Mamik sedikit jengah dan meminta pak Irwan meceritakan tentang dirinya sendiri.

Perbincangan yang hampir 2 jam itu bermuara pada kesamaan visi dan interseksi misi. Dengan keterbataan sumber daya yang kami bersama miliki, ada cita-cita untuk mengembangluaskan budaya literasi, terutama pada generasi muda.

Menulis itu gampang.

Buku pertama pak Irwan yang merupakan kumpulan syair rindu dan cinta kepada istri dan anak-anaknya setelah mereka harus berpisah karena istri harus pulang kampung merawat orangtuanya. Buku ini kumpulan puisi pak Irwan, istrinya (bu Mamik) dan putri sulungnya (Zaffa).

Itu bukan isapan jempol belaka. Dengan dunianya yang gelap, tajamlah hatinya. Saya hampir kehilangan kata ketika menerima buku karya pak Irwan bersama istri dan putri sulungnya yang berjudul “Angin pun Berbisik” yang diterbitkan oleh Yayasan Mitra Netra.

Pagi ini, saya lebih mengenal beliau melalui tulisan Jamal D. Rahman yang meresensi buku pertama pak Irwan. Resensi itu dikirimkan pak Irwan disela saya menyiapkan diskusi PAUD Pena Ananda.

Menginjak usia 9 tahun, Irwan mengalami gangguan
penglihatan. Usaha penyembuhan dilakukan dengan berbagai cara, tapi dokter
akhirnya menyimpulkan bahwa retina kedua matanya rusak total. Ia harus menerima
kenyataan bahwa dia kini adalah seorang tunanetra. Dengan perasaan kecewa dan
putus asa, pria kelahiran Jakarta, 7 November 1966, ini memasuki babak baru
hidupnya yang gelap. Tak bisa lagi melihat dengan awas adalah sebuah pukulan
sekaligus beban mental yang amat berat.
 Pukulan berat yang takkan terlupakan dialami Irwan ketika
dia kuliah filsafat pendidikan di IKIP Muhammadiyah Jakarta. Dengan kesadaran
penuh bahwa dia kini seorang tunanetra, dia bercita-cita menjadi guru. Ketika
itu dia sudah fasih baca-tulis huruf Braille. Tapi setelah menyelesaikan
semester 1, perguruan tinggi itu tidak membolehkan Irwan melanjutkan kuliah ke
semester berikutnya. Alasannya sungguh menyakitkan: “Calon guru tak boleh
cacat.” Dengan hati pedih, dia pun pergi meninggalkan kampus itu.
 Tapi Irwan tidak kalah. Dia akhirnya kuliah filsafat Islam
di IAIN (kini: UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan berhasil merampungkannya
di tahun 2004. Maka dia fasih berbicara filsafat, baik klasik maupun modern,
dari Al-Kindi hingga Murtadha Muthahhari, dari Thales hingga Habermas. Di
antara filsuf yang dikaguminya adalah Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf
Pakistan itu. Tidaklah mengherankan kalau dia menyukai sajak atau puisi, di
samping filsafat.

Saya sangat bersyukur, alhamdulillaahirabbil ‘aalaamin, Allah mempertemukan dengan orang-orang hebat yang menjadi guru kehidupan dengan cara-cara unik seperti ini. Semoga apa yang sudah kami bincangkan bersama dalam tempo tak terlalu lama akan terwujud. 
Salam hangat,
Salam literasi.

2 thoughts on “Pertemuan Inspiratif dengan Pak Irwan

Leave a Reply to Tjut Zakiyah Anshari Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *