Perbincangan hangat sebagai respon terhadap pernyataan sikap Tere Liye beberapa waktu lalu tidak akan pernah menggoyahkan semangat kita untuk membudayakan menulis. Karena memang menulis bukan satu-satunya ditujukan untuk penopang ekonomi meski sebagian memang menjadikannya sebagai profesi utama.
Di setiap kelas menulis, saya selalu menekankan hal ini dengan harapan agar mereka yang sudah mencanangkan cita-citanya diluar dunia kepenulisan tetap akan melihat “menulis” sebagai sesuatu yang dapat dikenali, dicintai, dan ditekuninya. Karena memang realitanya demikian: menjadi guru yang penulis, dokter yang penulis, ekonom yang penulis, bankir yang penulis, pengusaha yang penulis…
Itu juga saya sampaikan di hadapan 48 siswa SMA Negeri 2 Trenggalek di acara “Workshop Literasi, Berfokus Pada Penulisan Cerita Pendek” yang dilaksanakan diakhir pekan, 14-15 Oktober 2017 baru lalu. Namun demikian, menulis jelas merupakan pekerjaan bahkan profesi yang sedemikian seksi. Karena menulis pada akhirnya tidak berhenti di kegiatan teknis menulis itu sendiri, melainkan mulai dari proses riset yang sedemikian menantang dan hidup, hingga terbukanya peluang adaptasi karya penulisan ke media lainnya, seperti komik, teater, film, dan lain sebagainya.
Pak St. Sri Emyani memberikan bukti, bagaimana karya-karyanya berendeng menembus media massa, berbagi kiat sehingga karya tidak koma dan tersimpan rapi sebagai file dala satu folder atau bahkan terserak. Dari pada terkubur tanpa bekas, pak Yani sampaikan jauh lebih baik terpublikasi meski hanya di media-media sosial yang kita kelola meski gak dapat “jenang” alias honor. Dengan cara ini kita sedang berinvestasi “jeneng” alias nama, agar publik mengenal kita dan karya kita terlebih dahulu sebelum kemudian mendapatkan “jenang” dengan mudah.
Seusai kami bertiga yang tergabung dalam tim Sembilan Mutiara, kang Tosa Poetra, pak St. Sri Emyani, dan saya mengudar beberapa teori mulai dari mengunduh dan mengembangbiakkan ide, teknis menulis yang unik, hingga strategi menembus media, akhirnya peserta dibagi menjadi 3 kelompok yag merupakan embrio komunitas kecil pelajar menulis. Masing-masing kelompok didamping seorang dari kami. Saya mendapatkan kelompok ke-2, dan kemudian kami sepakati dengan kelompok menjadi Komunitas PANENGAH. Di kelas inilah sebenar-benar workshop.
![]() |
| Komunitas PANENGAH, hari pertama masih lengkap. (Foto: Pingkan) |
Pertama, bersama kami mengunduh ide secara bebas dan relatif spontan. Kami sepakat untuk tidak diubah. Artinya, pada proses selanjutnya, visualisasi, kami harus memaksa seluruh memori pengalaman dan rekaman otak untuk mengurai ide itu ke dalam kronologis kisah hingga memunculkan seluruh unsur intrinsik cerita. Jelas hal yang cukup serius bagi peserta yang belum pernah menulis cerita secara mandiri kecuali karena tugas pelajaran Bahasa Indonesia. Perlu beberapa rangsangan dan vitamin untuk menghancurkan benteng beku yang disebut mental block. Kami membahasnya tidak hanya di dalam kelas, bahkan berlanjut di WA Group yang kemudian dibentuk atas kesepakatan bersama, saat peserta melanjutkan proses menulis di rumah.
Kedua, mulailah proses visualisasi, mendiskusikan unsur demi unsur instrinsik dalam visualisasi itu, sampai kemudian setiap peserta menuliskan ringkasannya. Sesi menuliskan ringkasan dan alur, juga menjadi sesi yang membuat malas, iginnya langsung menulis ceritanya. Padahal, ringkaan dan plot ini akan sangat membantu setiap penulis untuk tidak kehingan ide ditengah-tengah menulis.
![]() |
| Proses pendampingan masing-masing peserta secara personal. (Foto: anggota Panengah) |
![]() |
| Proses menulis dan berdiskusi di Panengah. (Foto: Pingkan) |
![]() |
| Proses menulis dan berdiskusi di Panengah. (Foto: Pingkan) |
Barulah ketiganya menuliskan draftnya. Tuntaskan dalam 90-120 menit? Tentu saja belum…. maka…..
Lembuuuur….. lembuuurr……
Ya, 16 siswa di Komunitas Panengah melanjutkan draft yang sudah mereka buat dengan melemburnya dimalam Minggu. Karena saya meminta kesepakatan bersama, Minggu pagi sebelum kelas dimulai, naskah harus sudah jadi. Sehingga sehari pada hari ke-2, benar-benar dimanfaatkan untuk memelajari proses penyuntingan (editing).
Mengapa editing memerlukan waktu yang lama?
Sesi editing dirasa hampir oleh mayoritas penulis sebagai sesi yang sangat melelahkan. Membaca kembali untuk menemukan bagian yang perlu direvisi hingga merasa benar-benar yakin karyanya sudah “memuaskan” meski bukan yang “sempurna”. Kepuasan pembaca itu adalah hal yang sangat relatif. Yang utama adalah meyakini bahwa pembaca tidak segera beranjak ketika membaca 1-3 paragraf dari cerita kita.
Saya sebenarnya agak berduka ketika mengetahui 4 siswa di kelas Panengah mengundurkan diri dengan alasan menulis bukan minatnya. Keduabelas siswa yang bertahan pun satu demi satu mendiskusikan naskahnya dengan saya, dan bersama-sama mengritisi untuk merevisi. Ruang tanpa musik ini sebenarnya menjadi ruang yang sangat membosankan. Untungnya, mendung dan sesekali gerimis membuat suasana jauh lebih semejuk ketimbang hari pertama.
Sesekali pula saya menyisipi dengan teori editing diluar ketatabahasaan, dengan keyakinan para siswa sudah mendapatkan bekal yang cukup dari guru Bahasa Indonesia tentang ketatabahasaan. Saya ajak mereka bergulat dengan ide, alur, penokohan, konflik, klimaks, judul, dan bagaimana meramu ide seunik mungkin melalui unsur-unsur itu. Bagi mereka yang mengaku newbie, jelas menjadi gawe yang penuh tantangan. Bagi yang terbiasa dengan skenario, juga tantangan tersendiri untuk menulis diskripsi dan narasi diluar kekayaan dialog dalam ceritanya.
Begitulah, saya harus mengakomodirnya dan menjauhkan dari style penulisan saya yang lebih dominan diskripsi dan narasi, hehehe….
Akhirnya ke-12 anggota Panengah berhasil menuntaskan editingnya sembari mengakui, betapa membosakannya sesi ini, hehehe, yang utama mereka bisa mengelola kebosanan dan moodnya hingga merasakan amazingnya bisa menuntaskan sebuah cerpen dalam sehari semalam.
![]() |
| Sesi terakhir, sebelum say good bye. (Foto: Pingkan) |
Pesan di penutupan workshop ini adalah “Say never give up”, lebih baik penasaran apa yang akan terjadi pada kita jika melahirkan banyak karya, dan apa dampaknya pada cita-cita kita, agar kita gairah menapaki tangga demi tangga dunia penulisan yang bakal dipenuhi tantangan…
Salam literasi….






Keren
Mantap
Luar biasa bund,
Jika Gerakan Literasi Sekolah dapat diterapkan, setidaknya di 20% sekolah yang ada di setiap Kabupaten/Kota dalam setahun, tambah keren lagi… hehehe
Mendampingi adik-adik menulis, tidak berbicara motivasi saja, atau teknis saja, keduanya harus diramu sedemikian rupa menjadi menu yang sangat mereka minati dan nikmati….
Adik-adik memang kereeeen, Zam… hehehe
Ternyata ada kepuasan tersendiri ketika kita harus melakukan hal yang kita anggap membosankan, tetapi kita dapat melakukan dan sekaligus menyelesaikannya.
Artinya, langkah pertama harus dilakukan agar kita tahu seberapa sanggup kita melangkah. Kalau tak pernah mencoba, tak bakal tahu. Dan… selamat telah mencobanya… 🙂
Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan
Pertahankan spiritnya lewat komunitas….