Hebatnya, menulis bisa menjadi kartu pass sehingga kami dapat mengikuti beragam event, mulai dari lokal hingga nasional, mulai yang dilaksanakan oleh lembaga swasta sampai tingkat kementerian. Mengapa mereka mau membiayai perjalanan dan akomodasi kami yang pasti tidak murah? Jika diperhitungkan, biaya untuk kami masih jauh lebih rendah ketimbang harus membayar media mainstream. Meskipun radius jangkau media maisntream cukup luas, kabar yang ditulis oleh pewarta warga juga bisa menjangkau luas secara viral. Bersama pewarta warga, netizen, tidak ada keterikatan dan kebergantungan abadi yang membuat kedua belah pihak sama-sama leluasa menentukan sikap.
Peluang Mengikuti Event Bergengsi Secara Gratis
Mana ada di dunia ini yang gratis? Tidak ada yang benar-benar gratis. Semuanya ada harganya. Justru karena semua ada harganya itulah kualitas dan kompetensi seseorang dipacu untuk terus meningkat melalui cara informal ini.
Saya ingin menceritakan banyak pengalaman pribadi, termasuk bersama suami sebagai seorang relawan. Yang namanya relawan seperti kami, modal utamanya adalah kamera, alat perekam, dan netbook. Bukan sebagai seorang jurnalis media mainstream, tapi sebagai seorang pewarta warga, penulis lepas, pena merdeka, apapun namanya yang menunjukkan itulah yang kami lakukan.
Kini saya semakin memahami, mengapa semakin banyak kelembagaan formal yang menggandeng pewarta warga sebagai mitra mereka.
Sebenarnya bagi saya ini bukan hal yang baru. Dulu saat kuliah, saya punya seorang teman perempuan, dan kami bisa mengikuti seminat internasional atas rekomendasi dosen (bpk. Hiskia Ahmad) dengan syarat mau menulisnya di media. Kebetulan, sudah 2 kali tulisan saya dimuat di Harian Surya (Jatim) tahun itu, sekitar 1990. Kalau saja saat itu sudah ada internet, dan berkembang media sosial, pastinya tawaran itu akan menjadi sangat keren bagi seorang mahasiswa. Saya membayangkannya demikian. Artinya, kalau saat ini teman-teman mahasiswa mendapatkan tawaran semacam itu, sudahlah… jangan terlalu berpikir panjang. Ambil saja peluang itu. Kita memang harus dilecut untuk mau mendengarkan, menyimak, menganalisisr, peka, dan menulis, lalu memublikasikannya.
Pihak manapun akan mengenali kalian dari tulisan kalian.
Anggaplah pada awalnya kita terbilang relawan, jerih payah kita bernilai transpor, akomodasi, dan konsumsi, tapi sebenarnya kita mendapatkan lebih dari itu yang jika dirupiahkan bisa berlipat-lipat dari yang telah mereka keluarkan untuk kita. Kok begitu?
Nyatanya saya bisa menuliskan pengalaman ini. Tulisan yang pastinya tak pernah terpikirkan oleh mereka yang bermitra dengan kita. Kita mendapatkan pengalaman baru dan berbeda dari tempat selama ini kita berpijak, suasana baru, teman dan relasi baru, pengetahuan yang semakin luas dan dalam, pandangan-pandangan yang semakin tajam, dan yang tak kalah penting adalah kepercayaan.
Menulis adalah kartu pass yang sangat menyenangkan.
Kalau kita bisa mengumpulkannya sebagai catatan harian, bukan tidak mungkin suatu saat nanti lahir sebuah buku memoar atau novel atau buku kreatif lainnya yang akan menambah “kekayaan lahir maupun batin”.
Menulis adalah investasi kehidupan.
Bahkan ketika orang lain mencuri tulisan kita di yang kita terbitkan di media online, ruh tulisan itu masih terus menempel pada si empunya. Itulah investasi tak terkata, tak ternilai. Ruh memiliki rasa malu untuk meninggalkan tuannya.
Jadi tunggu apalagi.
Buru dan tangkap setiap peluang agar kita bisa menulis.
Salam semangat menulis.
Salam literasi.

Siap bunda …
Ayo menulis dan ayo ngeblog ya mas. Hehehe