[CatRi] KUNTUL apa DARA

PAGI itu listrik padam. Imajiku saat menuntaskan naskah DSB Tulungagung12 ambyar, dan aku hanya menatap layar yang mendadak hitam. Padahal deadline sudah terlewatkan beberapa hari sebelumnya. Sudahlah, saatnya tidak memerlukan excuse lagi. Biasanya, pemadaman listrik pagi hari, akan berlangsung seharian penuh. Lebih baik aku mengerjakan hal lain, meskipun sesak di kepalaku harus segera disalurkan.

Singkat cerita, aku dan suami memutuskan untuk mengirimkan paket buku kepada beberapa pemesan. Karena masih terlalu pagi, kantor pos belum buka, kami melajukan motor ke arah selatan, mencari sarapan nasi pecel dengan situasi pedesaan. Sampai memasuki desa Wajak Lor, Wajak Kidul, Sanggrahan dan Tanggung. Ternyata tak ada warung nasi pecel seperti yang kami imajinasikan: kedai terbuka di tepi jalan dan kami bisa menatap leluasa ke lahan hijau persawahan. Yang ada warung-warung menyatu dengan rumah, bangunan permanen dan tak ada bedanya dengan warung nasi pecel di dekat rumah kami.
Akhirnya kami berhenti di jalan setapak jembatan Desa Pelem Kecamatan Campurdarat. Ide pun berkembang. Hari ini kami akan napak tilas jejak Darsih, tokoh DSB yang berdomisili di Desa Gamping Kecamatan Campurdarat. Dan kami pun asik berbincang sambil menikmati hamparan lahan hijau dengan tumbuhan tembakau. Aku tak berhenti membidikkan kamera digital saat suamiku menuturkan bahwa lahan ini dulu adalah rawa.
“Kita bayangkan, bagaimana seluas ini terbenam air, dan sekarang bisa ditanami apa saja,” katanya dengan antusias. Entah sudah berapa kali kami ke daerah yang menyisakan jejak-jejak sejarah Bonorowo, asal-muasal kabupaten Tulungagung, untuk menyempurnakan naskah novelnya the legend of BONOROWO yang dalam perjalanannya selalu ada temuan-temuan baru dan luar biasa menggugahnya untuk menuliskannya sebagai penyempurna.

Kami masih menikmati suasana pagi yang damai dengan obrolan dari Bonorowo ke Darsih, silih berganti. Sesaat kami menjeda, memutuskan akan menghentikan keroncongan di perut kami dengan nasi pecel warung yang terletak tepat di selatan jembatan ini. Saat kami hendak berlalu, suami terpekik seru sambil menujuk serombongan burung yang tampak mengecil dan terbang berlalu ke arah utara.
“Lihat itu! Itu kuntul! Wuiiiih….. indah sekali! Ayo foto!”
Aku langsung menbidikkan camdig dengan beberapa kali jepretan.
“Kuntul bukan ya?” gumamnya saat melihat rombongan burung itu masih membumbung dan berbalik arah ke selatan mendekati ke arah kami. Aku tak menyia-nyiakan momen itu. Terus kupencet tombol record. Pendaran cahaya matahari masih menyembunyikan jati dirinya. Sekali lagi mas Siwi menggumam,“Bener itu kuntul?”
Dan tawa kami meledak seketika saat rombongan burung itu mendarat di sisi selatan kali yang mengering ini.
“Ternyata dara! Merpati!” seru mas Siwi sambil terpingkal-pingkal. Tak henti kami tergelak.
“Wah… wah, bisa salah kita menduganya. Kok bisa ya? Padahal terbangnya seperti kuntul,” katanya lagi.
“Pandangan kita yang tertipu atau kita yang terlalu naïf ya?” timpalku. Mas Siwi menggeleng-gelengkan kepala berulang-ulang.
Dua mahluk yang sama namun sejatinya berbeda, tetaplah berbeda. Tapi sekali waktu, hanya dengan pandangan dan pengetahuan yang sekilas, akan tampak sama, bahkan bukan tidak mungkin kita meyakini sama jika tidak memberikan kesempatan untuk melihat dari dekat. Begitu juga bagi kami yang tengah menyelesaikan the legend of BONOROWO dan DSB (yang entah apa nanti judul novel kolaborasi ini)…
Perut kami semakin keroncongan. Kawanan merpati itupun sudah sibuk mematuki rizki yang tersebar di tanah itu. Biar pun tidak di warung sebagaimana dalam imaji kami, terpaksa kami singgahi untuk menikmati menu pecel di pagi hari… [*****]

7 thoughts on “[CatRi] KUNTUL apa DARA

Leave a Reply to Tjut Zakiyah Anshari Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *