Hatinya kusam. Namun ia senantiasa menyembunyikan wajah muramnya dari kedua anaknya yang masih belia. Juga dari suaminya yang hanya bisa menatapnya dengan segala kesedihan. Ketidakmampuan suaminya untuk berbuat apapun telah diterimanya dengan segenap keikhlasan dan kesabaran. Ia harus memaksakan senyum dan mengatakan “Tuhan sedang merapatkan cintanya pada kita, mas” setiap kali dilihatnya mata suaminya yang merebak.
[Cerpen] PEREMPUAN PEMBUAT TEMBIKAR
Ia sama sekali tidak bisa meraba begitu dahsyatnya kepedihan suaminya setiap kali melihat betapa berat beban yang ditanggung perempuan yang dikasihinya. Peristiwa runtuhnya bangunan berlantai empat seperti gelombang yang menyapu seluruh kehidupan laki-laki yang dicintainya. Kini ayah dari kedua putrinya itu hanya bisa terkulai dengan satu lengan yang tersisa, sedang kedua tungkainya telah menyatu dengan tanah terlebih dahulu.
Di awal-awal kejadian yang merajam hatinya, mereka mendapatkan banyak simpati. Bantuan demi bantuan silih berganti membanjir, seakan-akan takkan habis untuk sekian lamanya. Tapi begitulah, semua ada batasnya. Suaminya terus memerlukan pengobatan untuk beberapa bulan, yang pada akhirnya harus menjual satu demi satu yang mereka miliki, bahkan dari pemberian orang-orang itu. Perlahan menyusut dan mulailah masa-masa yang sulit dan teramat sulit untuk mereka lalui.
Tentu saja ia berharap, hujan kasih itu tidak mereda. Karena ia sudah sedemikian sibuk mengurus suami dan anak-anaknya, mana mungkin mempunyai waktu untuk bekerja. Kedua putrinya yang masih duduk di sekolah dasar adalah tumpuan cita-cita mereka saat semuanya masih dalam kondisi normal. Ia menyisihkan banyak waktunya untuk menjadi ibu yang baik bagi mereka, mendampingi tumbuh kembangnya dan selalu menyediakan waktu untuk menjadi guru bagi mereka tatkala di rumah. Sekarang semuanya berubah. Waktu itu semakin mengerut. Ia menuntut anak-anaknya bisa mengompromikan keadaan yang sudah tidak lagi sama seperti dulu. Tentu saja, semua itu karena ia harus memberikan waktu yang hampir sama porsinya untuk bapak mereka. Anak-anaknya itu mengerti. Sangat mengerti. Meski pun ia tidak bisa tidak bisa mengukur seberapa dalam pengertiannya, dan apakah yang bergejolak dalam pikiran dan hati mereka. Ia selalu berharap, esok pasti akan lebih baik.
Tapi rupanya, kondisi semakin memburuk. Ia terpaksa menggali kembali kemungkinan untuk bisa mengerjakan sesuatu yang menghasilkan uang. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ia memilih untuk memulai membuat barang-barang dari tanah liat. Mengapa? Karena itulah yang dia bisa. Ketrampilan yang diwariskan oleh ayahnya saat dulu dia masih di kampung.
Nekad!
Sebenarnya semua sudah dipertimbangkannya dengan matang dan membuat perencanaan produksi hingga pemasarannya, terutama saat ia mengimel sahabat lamanya untuk meminjam modal. Tentunya semuanya dengan pengetahuan yang sangat sederhana, dan ia pun menyadari, ia sama sekali tidak memiliki ‘minat’ apalagi ‘bakat’ dalam bisnis. Tapi apalagi pilihannya, agar ia bisa menghasilkan uang dengan tetap mengurus ketiga insane yang dikasihinya.
Setelah menghabiskan uang beberapa ribu rupiah untuk bisa berhubungan dan berdiskusi dengan sahabatnya, akhirnya ia mendapatkan kepercayaan untuk peminjaman modal yang dalam kondisinya sekarang ini terbilang sangat besar. Ia sudah berjanji akan mengembalikan dalam waktu setahun, sebagaimana cashflow yang ia imelkan ke sahabatnya.
Maka mulailah hari yang sibuk dengan semangat baru dan harapan yang sangat luar biasa. Ia membeli peralatannya dan meletakkannya di sisi rumah mungil mereka. Ia sengaja meletakkannya sedemikian rupa, agar saat bekerja ia masih bisa melihat suami dan anak-anaknya yang ‘belajar’ bersama. Ya, kini suaminya mengambil jatah untuk menjadi teman belajar bagi kedua bidadari mereka. Itu semakin memacu semangatnya.
Ia membuat jadwal, kapan harus memesan bahan baku, lalu mengantar semua hasil kerajinannya ke pembuat batu batu yang berjarak 17 km dari rumahnya untuk ‘numpang’ membakarnya dan kemudian diantar ke pasar. Sebulan… dua bulan… tiga bulan… ia menerima uang dari hasil penjualan. Awalnya ia hanya mengambil bagian keuntungan penjualan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Tapi di bulan ke empat, penjualan menurun bertepatan dengan semua harga naik. Bukan hanya itu, gerabah-gerabah yang dihasilkannya tidaklah terlalu beragam, dan mungkin saja para pembelinya cukup awet menggunakannya. Entahlah. Sedangkan ia tetap harus membuatnya setiap hari, dengan harapan: laku… laku… laku…
Ditengah asa yang terus dipupuknya, ia terpaksa mengambil uang modal untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar saja. Tidak untuk macam-macam, membeli kosmetik, baju, memanjakan lidah dengan beragam snack, mengisi pulsa, internetan, ow… tidak. Tapi begitulah… Hari demi hari terus memaksanya untuk menggerogoti dana modal hingga di masa ia benar-benar kehabisan dana itu.
Apa yang dia lakukan?
Ia tak lagi bisa memroduksi. Ia sendiri akhirnya ke pasar, mendatangi tempat kelontong yang menjual tembikar karyanya. Lalu ia meminta ijin untuk menjualnya dari rumah ke rumah. Akhirnya, itulah yang ia lakukan setiap pagi saat kedua putrinya bersekolah. Hasilnya pun hanya cukup untuk makan mereka berempat dan sedikit ia sisihkan untuk obat suaminya dan biaya bulanan sekolah kedua anaknya. Ia tak lagi berpikir modal dan bagaimana menggulirkan usahanya. Ia terperangkap pada kondisi yang mengeruhkan pikiran kreatifnya.
Hingga tiba masa dimana sahabatnya menagih janjinya untuk mengembalikan modal-modal itu. Seperti dibangunkan dari keterlelapan, tergeragap dan sadarlah bahwa ia harus melunasi semuanya itu sesuai dengan janjinya. Tapi bagaimana caranya? Dengan kesendiriannya, apakah ia mampu dalam waktu seminggu melunasi dalam jumlah yang sedemikian besar. Bagaimana caranya? Bagaimana dengan kehidupan mereka?
Ia mencoba melakukan kompromi dengan sahabatnya. Ia ceritakan semuanya. Dan hanya Tuhanlah yang ia yakini bisa melunakkan hati sahabatnya. Benar adanya, akhirnya ia mendapat tempo tiga bulan untuk bisa melunasinya.
Kini ia berfikir tidak akan lagi memroduksi tembikar. Ia akan fokus menjual tembikar yang masih menumpuk di beberapa titik pasar. Tak peduli meskipun ia harus mengambilnya, membagi keuntungan setelah ia sendiri yang menjualnya secara keliling. Ini adalah keputusan yang akan sangat melelahkan baginya. Tapi tak ada pilihan lain. Maka mulailah ia melakukannya di bulan pertama.
Ternyata bukan hal yang mudah untuk meyakinkan setiap orang yang ditemuinya hingga mau memutuskan untuk membeli gerabahnya. Meskipun yang ia temui adalah orang-orang yang pernah menolongnya saat setelah kecelakaan yang menimpa suaminya, mereka mengatakan tidak membutuhkan gerabah itu. Ia tetap mengukur jalan dengan kakinya yang mulai merapuh, dan ketika menjelang tengah hari, ia ahrus berlari pulang setelah mampir ke warung untuk membeli beras, sekedar sayur mentah dan tempe atau tahu untuk makan siang, malam dan keesokan hari mereka. Ia harus berpikir ekstra keras untuk menjadikan sepotong tempe bisa cukup untuk sekali makan mereka berempat. Lalu ia akan menyajikannya dengan mengucapkan sepatah dua kata yang membesarkan hati orang-orang yang selalu ada dalam hati mereka. Ia akan menahan gejolak di hatinya dan rebakan di matanya melihat keterdiaman mereka, senyum yang tulus dan keikhlasan mereka menerima jerih payahnya.
Setiap hari dan setiap hari….. masih juga belum berubah seperti yang diharapkannya.
Waktu menelan semuanya. Hingga detik yang dijanjikan pada sahabatnya tiba.
Kali ini, ia tidak lagi mampu bernegosiasi dengannya. Sahabatnya marah, menganggapnya tidak serius bekerja, bermain-main dengan kepercayaan yang sudah diberikannya. Sahabatnya mengatakan betapa kecewanya ia telah membantunya, membantu orang yang tidak tepat, orang yang malas, orang yang hanya menumpukan harapan tapi tidak cerdas, dan semua kata-kata pedas itu ia telah tanpa sempat dikunyahnya. Ia menerima beragam ancaman dari sosok yang dulu adalah sahabatnya.
Ketika suaminya menatapnya dengan sedemikian cemas, mata anak-anaknya tak mampu menyembunyikan bendungan air mata, ia hanya tersenyum dan mengatakan,
“Kita sudah bisa menjalani hidup seperti ini tanpa ada rasa takur sedikit pun. Lalu mengapa sekarang kita harus bersedih. Tuhan telah menolong kita hari-hari lalu, sehingga kita tidak mati kelaparan dan kalian masih tetap bisa sekolah. Apakah keyakinan itu pudar? Esok kita akan menerima keajaiban lagi. Entah apa bentuk dan rupanya.”
Lalu ia memdekap anak-anak kesayangannya dan diciumnya kening suaminya, sementara di luar dua orang Polisi tengah menunggunya. [*****]
ehmmm………………………..
Selamat ya aq suka catatan anda/cerpen anda.
sarat pesan. hidup memang realita.
aku suka cerpenmu. salam hangat dari Tuban.
terima kasih atas deheman sarat makna Pag Noe…..
terima kasih juga pak Nonot karena sudah menyukainya… aku sedang ingin menuliskan apa yang kita hadiri bersama malam itu di Sendang. base on Jaranan….. masih menggumpal dalam kepalaku dan hatiku, entah bagaimana mengalirkannya…. 🙂
saya terima dengan kehangat serupa, salam Tubannya kang Rakai.
aku ingin menjadi pembelajar sejati…. dari kehidupan sebagai suhuku…. 🙂
Dua polisi yang menunggu di luar menjadi tanda tanya besar. Kira2 mau ngapain ya… Hehehe
Mau beli produk? Bisa…..