AKHIRNYA

Disaat semua daya dan upaya bertolak belakang dengan harapan, kepasrahan menjadi begitu dekat dengan putus asa. Takdir. Kata itu yang kuulang dalam hati untuk membuatku tidak lebih menistakan diri. Inilah yang memang pantas Tuhan berikan padaku. Aku sangat pantas menerimanya. Teguran yang teramat keras. Mungkin, beginilah jalan Tuhan untuk mengampuniku. Tidak dengan memberiku kemudahan untuk memperbaiki semuanya begitu saja.


Di hari aku bertekad bulat mengakhiri semuanya, memilih satu diantara keduanya, menyempurnakan penderitaan pada keduanya, menyempurnakan ketidaksempurnaanku, Tuhan masih mengembalikan aku diantara istri dan anak-anakku. Malu aku mengiba. Saat itu, motor yang kukendarai terpelanting nyaris lebur di tepi jurang. Itulah tenggang yang diberikan untukku, kala ketidaksempurnaanku bukan sekedar keyakinan, namun mereka menyaksikan diantara belas kasih dan kebencian.

Sekarang ini, dengan kaki pincangku, jalan yang kutapaki terasa panjang, jauh dan makin menjauh dari tujuan. Indraku serasa kebas. Kutak melihat ada pohon, rumput, binatang-binatang atau bangunan apapun. Tanpa batas jalan. Kutak rasakan hembusan angin dan terpaan bulir debu. Kutak mendengar suara kehidupan apapun. Oh, bahkan kurasa matahari dan bintang enggan menjadi penunjuk arah bagiku.

Padahal dulu, alam ini sering menjadi rumahku. Tempatku bernaung kala hati dilanda gundah dan kepenatan hidup. Ia selalu menghadirkan keteduhan, keramahan dan kedamaian yang mengurai kekusutan pikiranku. Mengajariku dan meyakinkanku, tidak ada persoalan hidup yang tak dapat diselesaikan. Berada dalam dekapannya bagai berenang dalam sumber air optimistik. Selalu segar, sejuk, jernih.

Kini, alam pun seperti ikut murka. Menolakku setelah istriku lebih memilih membesarkan keempat anak kami sendirian. Bukan tanpa alasan. Semua orang tua dan sanak saudara kami berucap “tabik” pada tuntutan dan keputusan istriku. Mata anak-anak yang kukira tak mengerti apa-apa, kini menatapku seakan aku begitu asing bagi mereka. Aura yang begitu tajam telah memisahkan diriku dengan orang-orang yang masih tetap aku cintai.

Ini karena salahku. Berbulan-bulan aku turut merasakan kepenatan istriku yang teramat sarat. Setiap kucoba mengurangi kepenatannya, akibatnya justru ibarat bara yang disiram minyak. Api kemarahan, kegamangan, kecemburuan kembali berkobar. Lalu bertubi-tubi pertanyaan itu kembali dilontarkan. Tiada bosan. Pertanyaan yang itu lagi…… itu lagi. Dan jawabanku pun itu lagi…… itu lagi. Ia pun seakan tak bosan mendengarnya.

Tak puas dengan penjelasanku. Begitu yakin masih banyak hal yang aku sembunyikan. Tuhan, apa sebenarnya yang ada dalam pikiran dan hatinya? Apa dia menduga aku bisa mengetahuinya. Lalu memberikan jawaban-jawaban yang bisa memuaskan semua itu.
Maafkan bapak, kalau ada yang bapak sembunyikan, semua demi kebaikan ibu juga. 

Biarlah yang tersembunyi ini menjadi hal yang aku pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, seberat apapun akibatnya. Aku masih mempunyai keyakinan yang begitu besar, Tuhan pasti akan mengampuniku. Beban berat lahir batin yang sekarang menggelayut sarat di diriku, kuyakini sebagai cinta kasihNya agar terkurangi beban hisabku kelak.

Pengakuanku, permintaan maafku, sumpah dan janjiku seakan sudah tak ada artinya bagi istriku. Hanya sekedar lips service baginya. Luka hatinya telah menutup pintu segala alasan rasionalitas. Memang tak mudah menyembuhkan luka dan mengembalikan semua sesempurna semula.
Ya, kebohongan demi kebohongan yang kulakukan selama aku hidup dengan perempuanku, membuatnya sulit mempercayai kata-kataku saat ini.

Pembohong tetaplah pembohong. Pendusta tetaplah pendusta. Aku terima.
Aku tak seperti laki-laki lain yang selalu merasa kuat. Aku justru selalu merasa lemah. Aku yang selalu merasa tidak sempurna. Semakin aku melihat apa yang terjadi pada istriku dan anak-anak, semakin menguatkan keyakinan akan kebenaran penilaian diriku.

Mereka lebih kuat dariku. Mereka sanggup bertahan dalam keadaan serba kurang, sedangkan mereka adalah tanggung jawabku. Inilah awal mulanya. Aku juga merasa ketidaksempurnaanku tidak membahagiakannya secara utuh. Tapi ia hanya membisu. Menghindar setiap kali aku merajuk mencari tahu. Aku merasa semakin tertekan, bersalah, lemah dan tidak sempurna. Aku terus mencari jalan untuk keluar dari penilaian nisbiku.

Hingga takdir mempertemukanku dengan perempuanku. Perempuan yang begitu tegar. Dia lah alamku yang kedua, sumber air optimistikku selanjutnya. Dia bantu mengurai setiap kekusutan yang terjadi padaku. Hingga egoku terstimuli. Aku ingin menjadikannya bagian dari kehidupanku. Aku tidak tidak akan melepaskannya. Begitu yakinnya aku, bersamanya aku pun bisa menjadikan keluargaku juga lebih baik. Selama aku bisa menjaga antara keduanya.

Waktu seakan berpihak padaku. Pernikahan di bawah tangan berlangsung dengan sederhana. Setahun setengah kemudian, bujang cilik ini selalu membuatku betah tinggal di pondok mungil tempat perempuanku tinggal. Celotehnya penuh gairah mewarisi dengan sempurna jiwa ibunya. Hatiku terkadang kubiarkan bertempur dengan egoku. Dimana aku menemukan kelebihan dari masing-masing perempuanku untuk menjadikanku lebih sempurna.

Berdiri di atas kebohongan memang takkan pernah kekal. Aku kembali menemukan betapa diriku begitu lemah. Perempuanku kurasa makin menambah bebanku. Seiring persoalan-persoalan yang tiada henti dari istri dan anak-anak. Semuanya membuatku bagai di ruang sempit tanpa lubang udara walau sekecil jarum. Membuatku sesak dan didera sakit kepala yang berkepanjangan.

Kabar tentang aku dan perempuanku pun sampai di telinga istriku. Sesuatu yang sangat aku khawatirkan, tidak pernah aku persiapkan kemungkinan ini sematang mungkin. Aku pun selalu berfikir, ah gimana nantilah. Sesungguhnya aku tidak pernah mempersiapkan diri untuk memilih. Karena aku yakin, baik istriku maupun perempuanku, mereka pasti tak menginginkan aku memilih satu diantara mereka. Tiada bedanya, aku pun tidak ingin memilih satu diantara mereka. Mendapatkan mereka berdua, atau tidak kedua-duanya. Sungguh melo…… memang.

Penjelasanku tidak lagi berarti. Tidak ada celah untuk menerima alasanku, apapun  itu. Aku telah menyakiti hatinya dengan telak. Tidak ada lagi citra laki-laki sebagai pemimpin bagiku. Itu pantas kuterima. Tapi egoku tetap menolak. Disaat semuanya dipertanyakan, tiba-tiba aku sangat takut kehilangan mereka. Istriku…… anak-anakku. Tiba-tiba ketakutanku memaksaku untuk memilih. Sekian belas tahun bersama mereka, meyakinkanku bahwa mereka lah yang harus kupilih.

Bagaimana dengan perempuanku? Kejujuran yang membuatku mencabik perempuan lain yang ada dalam kesadaran cintaku jauh ke tong sampah kehidupan. Perempuan yang dengan kesadaranku kupinang. Dengan kesadaranku, kubangun jurang diantara keduanya.

Tuhan yang tahu, betapa kukuburkan egoku ketika kusungkurkan hati dan jasadku memohon ampunanNya. Sekaligus aku hanya bisa bermohon, untuk menitipkan dia dan buah hati kami padaNya. Tuhan pasti akan menjaga mereka seperti dijagaNya Hajar dan Ismail. Meski ini tak akan pernah sama, bahkan jauh dari kepantasan dianggap serupa. Aku sadar, aku biadab.

Sekarang, kesadaran itu harus kuingkari demi menebus seluruh kesalahanku pada istri dan anak-anakku. Tekadku sudah cukup bulat untuk berjuang memperbaiki semuanya. Keyakinanku yang tinggal seujung kuku, kupaksakan untuk menopang seluruh rasa bersalah yang tak hilang seumur hidup. Rasa malu dan bersalahku pada istri dan Tuhan.

Disini, jauh dari perempuanku, aku terus berjuang untuk menutup lubang-lubang luka yang menganga lebar di hati istri dan anak-anakku. Aku harus membayar semuanya dengan seluruh sisa usiaku. Berulangkali aku meyakinkan diri, ini memang pantas kudapatkan setelah semua yang kulakukan padanya. Ini balasan yang setimpal. Kemarahannya. Kebenciannya. Makiannya. Pertanyaannya yang bagai membombardir hingga acap kali menghancurkan benteng kesabaranku.

 “Maafkan ibu, pak. Ibu sudah tak sanggup lagi. Setiap melihat bapak, mendengar suara bapak, saat bapak mencumbu ibu…… oh, sungguh…… bayangan-bayangan itu selalu datang,” isaknya di suatu pagi saat anak-anak sudah berangkat sekolah. Si kecil yang berumur 4 bulan  sepertinya cukup mengerti kalimat istriku. Ia begitu gelisah dalam gendongannya.

Aku tak ingin bertanya apapun. Kukunci mati bayang-bayang yang menakutkanku di ruang sempit dalam otak dan hatiku. Kalimatnya seakan mengisyaratkan sesuatu yang siap menggelegar di ruang langit. Membuatku tak kalah gelisahnya dengan Nesya, si mungil yang pasti merasakan setiap getaran jiwa istriku, mendengar setiap detak jantungnya yang tak beraturan.

“Ibu sudah istikharah……” Suaranya begitu lemah tertahan oleh sesuatu. Aku hanya mendengarkannya saja. Setiap kata yang diucapkannya, seakan merentangkanku pada tanah lapang. Perlahan-lahan semua yang ada disekitarku menjauh…… menjauh…… dan terus menjauh……

“Ibu berharap bapak ikhlas. Ibu sudah berusaha sekuat tenaga dan berusaha tawakal, pak. Tapi…… ibu tidak bisa membohongi perasaan ibu. Segala yang ibu lakukan menjadi serba tidak ikhlas. Kini juga ibu sadari, anak-anak turut menanggung beban yang seharusnya ibu sendiri yang menanggungnya.”

Tangisnya yang ditahan memaksaku menajamkan pendengaranku. Tidak seperti ketika ia mengorek seluruh perbuatanku, tangisnya masih menampakkan ketegaran. Ketika ia memintaku memberi keyakinan, semua yang ada dalam pikirannya, hatinya adalah benar. Intinya, ia bagai jaksa yang siap menjatuhkan vonis terberat dalam hidup kami.

“Ibu berharap…… bapak ikhlas,” ulangnya. Hatiku meraba. Tapi aku takut menduga. Hatiku meraba dan ingin kumenjerit jika tak terjebak dalam ego kelaki-lakianku. Lalu…… saat itu langit benar-benar bergetar sedemikian hebat…… Runtuh dan meratakan semua keindahan alam dan bumi. Saking keras dentumannya, telinga ini tiba-tiba tuli……

“Ceraikan ibu…… pak,” ucapnya lirih nyaris tak terdengar olehku. Tandas sudah……

Tuhan…… Sejak awal, ketika pengakuanku atas pengkhianatan yang kulakukan, aku sudah menduga ini bakal terjadi. Bukan sebuah kebetulan ia mengetahui semuanya. Ujian demi ujian yang memaksa kesadaranku untuk mengakui semuanya.

Kini apa yang aku hajatkan dalam hatiku saat perempuanku bersamaku,”Aku ingin memiliki kedua-duanya atau tidak kedua-duanya,” benar-benar menembus langit. Bisikku kala itu benar-benar tak berhijab.
Aku terus menapaki jalan yang semakin tiada ramah padaku. Tiada kemana-mana. Tidak juga ke pondok kecil dimana perempuanku dan bujang cilikku pasti bertanya dimana ayahnya berada. Menghilang bak ditelan bumi. Ya…… aku memang tengah merasa hancur dilebur magma jauh di jantung bumi.

Dengan cara ini kah Tuhan, aku bisa mencapai agungnya ampunanMu………?

Bangoan, Desember 2008

Draft: Sabtu, 27/12/2008 17:20:31 s.d. 19:04:03
Revisi I : Minggu, 28/12/2008 6:16:24 s.d. 7:44:25
Revisi II : Minggu, 28/12/2008 20:01:51 s.d. 20:54:38
(dipersembahkan untuk Kopdar Klub ke-I dalam rangka menyambut hadirnya Tahun Baru Hijriah, Senin, 29 Desember 2008 tepat 1 Muharram 1430 Hijriah)
Revisi IV : Senin, 30/12/2008 4:48:37 s.d. 5:34:46 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *