Efek Domino Kesadaran Dari Gerakan Literasi

Geluduk sambung bersahut menanda hujan akan menyapa, begitu biasanya. Geluduk dan mendung tak berarti hujan, seperti kemarin (Kamis, 27/2/2015) siang di sesi-sesi terakhir Pelatihan Penulisan Cerpen Berbasis Kearifan Lokal yang dilaksanakan Balai Bahasa Jawa Timur bekejasama dengan Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB, Tulungagung.
Geluduk siang ini tak memberi pertanda demikian. Sambil menikmatinya, saya membaca SMS yang baru saja masuk. Dari seorang pelajar yang dengan antusias mengatakan kalau ia dan teman satu sekolahnya bertekat untuk menghidupkan jurnalistik di sekolahnya. Mereka sepakat untuk sesering mungkin bisa berkonsultasi dengan saya agar dapat menguasai ilmu jurnalistik dengan teman-temannya.

Bagi yang sudah berpengalaman pasti tahu, mempelajari teori jurnaistik itu tak cukup 1 hari, apalagi hanya beberapa jam saja. Katakanlah sehari 2 jam, pasti diperlukan beberapa hari untuk menguasai dasarnya saja. Maka saya sarankan untuk berkomunikasi dengan sekolah agar dapat diselenggarakan pelatihan jurnalistik. Dengan demikian tidak hanya mereka berdua, bertiga, atau berempat saja, tapi bisa satu tim besar jurnalistik sekolah yang berjumlah minimal 10 orang, misalnya.

Namun rupanya, semangat besar anak-anak ini terkendala dengan alasan di sekolah tidak ada yang menguasai dengan baik pengetahuan, ilu, dan ketrampilan jurnalistik. Anak-anak yang haus ini disarankan untuk mencarinya diluar sekolah.
Bagi PENA ANANDA, tentu saja siap untuk menjadi pendamping mereka. Namun dapat dibayangkan, jika cita-cita mereka untuk menghidupkan jurnalistik di lingkungan sekolah, menghidupkan media-media sekolah, tetapi tak disambut dengan baik oleh sekolah, apa yang akan terjadi. Siapa yang akan membiayai media sekolah? Katakanlah sesedehana apapun Majalah Dinding, pasti memerlukan biaya.
Sesungguhnya anak-anak bisa saja tak peduli dengan sekolah mereka. Mereka tahu, media publikasi dapat mereka cipta sendiri, ya dengan blog misalnya. Tapi coba kita renungkan, anak se kecil itu memikirkan sekolahnya, bagaimana mungkin bapak ibu guru dapat bersikap abai pada cita-cita ini. Bukankah bapak ibu guru juga ada dalam lingkungan sekolah dan digaji dengan uang negara, uang rakyat, dan uang mereka juga tentunya.
Anak-anak ini bisa menuliskan: “Bun semua orang memandang dunia tulis-menulis itu remeh, Bun. bla..bla..bla… Kalau saya sendiri tetap bertahan di dunia tulis-menulis karena sejak …. saya suka menulis puisi maupun geguritan. Kalau cerpen nyobanya ya awal masuk … (jenjang sekolah lebih tinggi, red) hingga sekarang.”
Mengapa PENA ANANDA CLUB gigih memperjuangkan Gebyar Literasi Sekolah dan bertekad menggelar Festival Bonorowo Menulis 2015 yang juga akan melibatkan sekolah-sekolah di Tulungagung? Inilah potret yang memrihatinkan kami. Siswa yang seharusnya memiliki kemerdekaan dan didukung cita-cita dan potensinya, harus berjuang sendiri meski kelak jika berhasil, nama baik sekolah yang juga akan harum.
Kita bisa saksikan, semangat yang diusung dari kegiatan-kegiatan literasi tak semata hanya untuk diri sendiri. Anak-anak menjadi jauh lebih melek, bukan hanya pada potensi diri, tapi juga potensi yang ada di sekita mereka. Apakah kita akan berdiam diri saja? Atau kita tunda merealisasikan cita-cita anak-anak semacam mereka sampai ada dana? Sampai para guru menguasai ketrampilan jurnalistik baru akan direalisasikan? Kapankah itu?
Salam literasi…
#Bangoan, Jum’at, 27/2/2015; 14:03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *