![]() |
| (Desain: Zakyzahra Tuga) |
Sesungguhnya pula, ini bukanlah hal yang baru. Para ulama dan sutadz sudah berulangkali mengingatkan. Jatahkan saya hanya menyampaikan menggunakan bahasa saya, menyerap makna dari beberapa nash tentang bagaimana melokalisir kemarahan sehingga tidak merugikan diri sendiri. Loh, kan kemarahan itu juga bisa berdampak kerugian pada orang lain? Ya, tapi apa iya orang yang marah memikirkan nasib orang lain. Orang yang marah itu adalah orang yang paling egois, yang dipikirkannya hanya diri sendiri, seakan-akan diri sendirinyalah yang “menjadi korban” sehingga ia patut dan mendapat ijin dari alam untuk marah. 🙂
Seperti baru saja saya alami, saya merasa marah pada netbook yang mendadak lemot lipat 100. Mau saya, dia baik-baik saja sehingga mempercepat tulisan saya selesai. Sampai saya gunakan waktu untuk sarapan, mencuci, dan perlu 100 menit lebih hingga bisa saya gunakan kembali saat ini. Kalau netbook bisa ngomong, dia pasti protes: “Itu kan maumu. APa kamu benar-benar tahu apa yang terjadi padaku?” Dan saya hanya bisa menertawakan diri sendiri atas keegoisan saya.
Jujur… siapa yang tidak pernah marah?
Siapa yang bisa mengendalikan marah sehingga marahnya sedemikian eksotis?
Lebih ekstrim lagi, marahnya menjadi sesuatu yang menumbuhkan kerinduan orang lain padanya?
Yang pasti, orang lain merindukan seseorang yang penyabar dan bisa memahami orang lain. 🙂
Ini dalam hubungan dengan manusia saja, tanpa disadari kemarahan membangun benteng pemisah antar manusia. Tanpa disadari pula, sesungguhnya benteng pemisah itu menghancurkan, menyakiti, dan merugikan seseorang yang marah itu. Karena, belum tentu kemarahannya berpengaruh negatif secara kuat pada orang lain. Bisa saja orang lain terus beraktivitas, dan bahkan dengan kemarahannya dia memacu memperbaiki dirinya, membuka pintu-pintu peluang baru, berlari sekencang kilat meninggalkan pengalaman tak mengenakkan. Sementara sang pemarah masih duduk menikmati kekesalannya yang seakan tiada pernah habis.
Sayangnya, kemarahan kita kepada sesama manusia, kita limpahkan pula kepada mahluk lain, bahkan terkadang pada Tuhan. Kekesalan yang berubah menjadi daya rusak dan daya musnah. Kebencian yang menjadi daya kufur dari ketentuan-ketentuan Tuhan.
Apa iya?
Dari pada kesulitan mencari contoh, kita simak saja kabar di infotainment. Tanpa harus saya sebutkan namanya, dan semoga tidak menjadi rantai ghibah, melainkan pelajaran semata, ketika perceraian terjadi, akhirnya buka hijab, bahkan lebih berpenampilan berani. Okelah, ada berberapa ragam alasan yang tujuannya untuk dipahami dan dimaklumi. Itulah yang sebenarnya kita pahami sebagai egoisme. Egois terhadap Tuhan.
Marah, kesal, hingga merasa berhak menghambur-hamburkan untuk untuk menenggak minuman keras, makan berlebih, dan piknik yang kesemuanya ternyata tak mampu menyembuhkan.
“Ya kan uang-uang saya sendiri, ribet amat dengan urusan orang lain.”
“Ah, gak usah khawatir, yang untuk fakir miskin dan anak yatim sudah ada jatah sendiri.”
Jika sesuatu dilakukan lillaahi ta’ala, sudah menjadi janji Allah akan menghadirnya ketenangan, jiwa yang tenang, jiwa yang damai. Kalau masih galau, berarti ada yang tidak beres dengan amalan itu. Jika beramal iya, menghamburkan dana untuk bersenang-senang semata, iya, perlu sedikit waktu untuk mengambil benggala dan bercermin. Sedikiiiiiit saja kita sisihkan waktu kita yang dipadati dengan segala acara hidup.
Karena yang sesungguhnya kita perlukan bukan menghentikan marah, karena 100% dijamin tak ada seorang pun yang mampu menghentikan kemarahan, bahkan Rasulullaah saw sendiri. Ingat saat beliau pernah marah dan mendiamkan istri-istrinya karena kecemburuan istrinya yang melewati batas. Yang diperlukan adalah kemampuan untuk melokalisir kemarahan.
Pertama, urusan marah-marah, cukuplah dengan pihak yang memang berhubungan langsung dengan persoalan tersebut. Tentunya, marah adalah batas akhir ketika seluruh rumus komunikasi, tumpukan argumentasi, sudah tidak sanggup berkompromi dengan tekanan di amigdala dan merangsang sistem limbik otak. Cukuplah energi negatif tidak lari kemana-mana sehingga menciptakan suasana tidak nyaman semakin meluas.
Kedua, kita perlu segera mengembalikan kesadaran agar tidak lebih banyak kehilangan energi. Berpalinglah dari orang yang membuatmu marah, meskipun kamu berada dalam satu ruangan. Keluar dari ruangan, ambil air wudlu. Masih juga eungap? Cari tempat dan hamparkan kain, sujudlah. Di sebuah artikel disebutkan, sujud dapat memaksimalkan vaskularisasi amigdala hingga berefek lancarnya peredaran darah otang dan menimbulkan ketenangan.
Ketiga, jika ketenangan sudah dicapai, kembalilah, temui dia yang membuat kita menunjukkan egoisme kita. Jika belum sempat berbicara, cukup lemparkan senyum. Tebar energi positifmu, sekecil apapun. Biar alam yang akan memroses, sehingga seisi ruangan akan memantulkan energi positif hingga menjadi besar.
Keempat, selalu ada solusi untuk sebuah niatan baik. Selesaikanlah masalah yang dianggap mengganjal.
Beruntunglah jika ternyata kita mampu melakukan pekerjaan berat ini, melokalisir amarah, bukan menghentikannya, apalagi sampai mencari kambing hitam dan korban baru kemarahan kita. Semoga selalu ada energi untuk belajar dan berubah ke arah yang lebih baik.
Aamiiin……
