![]() |
| Dukungan sangat diperlukan untuk menjamin kesehatan mental pada ODK/OYPMK | Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Mengingat Kembali Makna Sehat
Benar rupanya,
seseorang baru merasakan nikmatnya sehat tatkala ia pernah sakit. Namun,
setelah kembali sehat, kadangkala ia lupa untuk merawatnya dengan pola hidup
sehat yang tidak hanya difokuskan bagi fisik saja. Karena menurut WHO, sehat
diartikan sebagai kondisi individu terbebas dari gangguan (sakit) secara fisik,
sosial, dan mental. Sementara, Kementerian Kesehatan RI menambahkan kesehatan
spiritual.
Terdapat satu
fakta bahwa empat unsur sehat itu saling mempengaruhi. Jika seseorang sakit
secara fisik, maka mental, sosial, dan spiritual akan menerima imbasnya. Begitu
pula sebaliknya.
Mungkin ada di
antara sahabat yang pernah mendengar ungkapan bahwa “ODGJ yang berkeliaran di
jalan itu (terlihat) sehat”. Tentu sahabat tidak bakal percaya begitu saja. Arti
“terlihat” itu bukan menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Terlebih jika sahabat
menonton sejumlah video komunitas/individu yang peduli pada ODGJ di platform
berbagi video, ternyata hampir semua ODGJ terkena penyakit fisik.
![]() |
| Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Walaupun
seharusnya keempat unsur sehat mendapatkan porsi perhatian yang sama, sehat
secara mental dan spiritual adalah kunci utama dan terpenting yang menentukan
kualitas hidup setiap orang. Ada banyak fakta, sakit fisik juga penyandang
disabilitas pada seseorang, selama mental dan spiritualnya sehat, ia tetap bisa
berkarya, memberdayakan, dan menginspirasi banyak orang. Kita ambil contoh
saja, K.H. Abdurrahman Wahid atau yang kita kenal dengan sapaan Gus Dur.
Mental Adalah Sang Pengendali
Perubahan sikap,
perilaku, ucapan[1],
serta cara merespon keadaan, situasi, dan persoalan yang dihadapi, menjadi
cermin seberapa sehat mental seseorang. Setiap perubahan dipicu oleh sesuatu
dari dalam maupun dari luar dirinya. Sebagaimana yang dialami ODK, ketika
gejala-gejala kusta menyebabkan terjadinya perubahan pada fisik, sedikit sekali
ODK yang bisa menerima.
Respon ODK mulai
dari rasa malu, sensitif terhadap pertanyaan orang yang ingin tahu kondisi dan
penyakitnya. Respon berikutnya mulai menarik dari dari pergaulan hingga
mengurung diri.[2]
Kesensitifan perlahan akan meningkat melalui ucapan dan perbuatan yang
menunjukkan ketersinggungan atau ketidaksukaan. Jika keluarga tidak memahami,
tidak tahu cara memberi dukungan, karena tidak tahu pemicu perubahan perilaku
ODK, maka ODK makin merasa tersisihkan. Sebenarnya yang memperburuk keadaan di
keluarga ODK, karena tidak ada anggota keluarga yang memiliki informasi dan
pengetahuan tentang kusta dan bentuk-bentuk dukungan pada ODK.
Fakta ini
melatarbelakangi pentingnya sosialisasi dan edukasi pada keluarga OYPMK,
masyarakat, serta stakeholder di wilayah domisili OYPMK. Akan lebih mudah bagi
OYPMK menjalani pengobatan –yang memerlukan waktu lama, antara 6 bulan hingga 2
tahun– jika berada di lingkungan yang kaya dukungan, yang menyehatkan
mentalnya.
Mental yang sehat
memberikan pengaruh luar biasa dalam proses penyembuhan sakit fisik. Telah
banyak penelitian yang menunjukkan hasil, bahwa beberapa aktivitas yang
memberikan dampak positif secara psikis, menyehatkan mental, juga memberi dampa
yang besar dalam proses penyembuhan sakit fisik. Salah satunya adalah aktivitas
membaca dan menulis.
![]() |
| Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Guncangan Mental Pertama
Penyakit kusta
mempunyai gejala-gejala laten, yaitu tidak merasakan sakit, bahkan mati rasa
terutama pada bercak-bercak putih dan merah yang muncul di kulit. Bercak pada
kulit, mati rasa, adalah gejala unik penyakit kusta dan harus dibuktikan dengan
uji laboratorium. Sedangkan beberapa gejala lain menyaru penyakit lain. Seperti
lemah pada lengan dan kaki, nyeri sendi, ini juga gejala yang muncul pada
penyait radang sendi, kerusakan pada saraf tepi, dan lain sebagainya. Jadi,
untuk menentukan jenis penyakit dengan tepat, penderita harus menjalani
pemeriksaan medis.
Apakah hal berikut
ini juga sahabat alami?
Ketika badan
menunjukkan gejala-gejala sakit, sesegera mungkin memeriksakan diri ke faskes?
Atau menunggu beberapa hari lagi, jika dengan meminum obat bebas, kesehatan
tidak membaik, baru pergi ke faskes? Atau biarpun sudah berlangsung
berbulan-bulan, selama masih bisa beraktivitas, memutuskan belum perlu
memeriksakan diri?
Ada beberapa
alasan OYPMK memilih untuk tidak pergi ke fasilitas kesehatan meskipun sudah
muncul gejala-gejala atau perubahan di tubuh yang dianggap aneh, seperti
munculnya bercak merah atau putih, makin melebar, tidak gatal, juga kehilangan
sensasi rasa di daerah bercak tersebut.
Pertama, OYPMK yakin kalau sakitnya ringan,
tidak berbahaya, dan akan segera sembuh dengan banyak istirahat dan minum obat
yang dijual bebas atau ramuan tradisional. Kedua, jauhnya jarak
tempuh ke faskes, kondisi jalan yang buruk, tidak punya kendaraan, tidak ada
sarana trasportasi umum, harus mengeluarkan biaya besar untuk transportasi. Ketiga, proses yang harus dilalui di faskes atau rumah
sakit sangat lama, bagi beberapa OYPMK beresiko kehilangan pendapatan kerja di
hari itu. Keempat, masih ada OYPMK yang belum memiliki
BPJS, sehingga belum pernah periksa dan berobat.
Kelima, OYPMK tidak siap mental (takut)
mendengar hasil diagnosis dokter tentang penyakitnya. Terlebih jika ternyata
sakit yang dialami mempunyai nama yang terdengar asing, seperti gagal ginjal,
parkinson, kanker, alzheimer, lupus, autoimun, kusta, HIV-AIDS, Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis (CIPA, yaitu suatu
kondisi seseorang yang tidak bisa merasakan rasa sakit disaat dia sebenarnya
sedang sakit), atau lainnya. Karena itulah diperlukan dukungan keluarga atau
pendamping saat OYPMK mengalami guncangan mental setelah mendengar hasil
diagnosisnya.
![]() |
| Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Stigma dan Diskriminasi Memperparah Gangguan Mental
Sebelum ODK
menerima stigma dari lingkungannya, sebenarnya ODK
mengalami kesulitan untuk menerima fakta tentang dirinya. Mereka harus berjuang
keras untuk bisa menerimanya. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Mereka
kian terpuruk setelah mendapat perlakuan diskriminatif. Ada ODK yang masih usia
produktif harus menerima kenyataan dikeluarkan dari tempat kerja, diasingkan
oleh masyarakat bahkan keluarganya sendiri, orang-orang menampakkan wajah jijik
dan takut padanya, dan masih ada perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi lainnya.
Baca juga: ODK dan OYPMK TERBEBAS DARI STIGMA
![]() |
| Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Para penyedia kerja menolak mempekerjakan
mereka. Jika mereka memproduksi barang apalagi makanan, tidak ada yang akan
membeli, karena khawatir akan tertular penyakit “kutukan” itu. Kalau ada OYPMK
yang bisa memberi layanan jasa (seperti memberi les mata pelajaran), tidak ada
orang tua yang mengizinkan anaknya dibimbing oleh mereka.[3]
Pada akhirnya mereka menyalahkan diri karena menjadi beban keluarga,
dikucilkan, dengan terpaksa harus mengubur impiannya, mengakibatkan satu demi
satu gejala stres, depresi, dan gangguan mental muncul dan berpotensi parah.
Aku Tidak Baik-Baik Saja
Mungkin kita
pernah mendengar satu nasihat yang bisa menyelamatkan diri kita namun terasa
berat dan besar tantangannya, yaitu penerimaan diri. Artinya, apapun yang ada
pada diri kita, baik itu kelebihan atau kekurangan, termasuk penyakit, kita dengan sadar bisa
menerima dengan lapang dada, tidak membenci, menyesali, atau menyalahkan diri
sendiri. Apapun yang orang lain katakan tentang dia, stigma, dan diskriminasi,
kita mengakui bahwa ucapan mereka sudah menyakiti hati dan nilai diri kita, dan
kita akan tetap menerima serta mencintai diri kita.
Penerimaan itu
dimulai dengan sebuah pengakuan bahwa “aku sedang tidak baik-baik saja”. Pengakuan
itu bukan keluh-kesah. Perbedaannya selain pada kalimat ungkapannya, juga sikap
dan tindakan yang akan dilakukan setelah pengakuan atau keluh-kesah. Pengakuan
dengan kesadaran diri mendorongnya untuk mendapatkan solusi yang mengubahnya
menjadi “saya secepatnya akan baik-baik saja”.
Masih sedikit
OYPMK atau penyandang gangguan kesehatan lainnya yang bisa motivasi diri
sendiri. Ini akan membuat mereka sangat bergantung pada motivasi yang diberikan
orang lain. OYPMK akan sulit bangkit dan terpuruk lebih dalam, bahkan
memungkinkan untuk mengambil tindakan ekstrem, jika tidak ada yang memberinya
motivasi dan dukungan.
Dari beberapa
cara yang bisa digunakan OYPMK untuk melakukan pengakuan dan penerimaan. Saya
menyarankan dilakukan dengan membaca dan menulis. Mengapa? Karena saat membaca,
OYPMK akan menemukan informasi dan pengalaman yang berhubungan dengan dirinya
hingga mereka merasa mendapatkan teman
yang memiliki beberapa kesamaan dengan situasi dan kondisi yang mereka hadapi
saat ini. OYPMK juga akan mendapat banyak wawasan yang menginspirasi
solusi-solusi dari bacaan tersebut.
Sementara dengan
menulis, mereka bisa mencurahkan segala hal yang dipikirkan, dirasakan,
diharapkan, hal-hal yang ingin dilakukan, dengan siapa mereka akan
melakukannya, dan lainnya. Ini adalah proses katarsis, mengeluarkan beban
(sampah) batin dan pikiran. OYPMK juga leluasa menuliskan kesedihannya,
kekesalan dan kemarahannya, kebahagian dan kedamainnya saat berkumpul dengan
sesama OYPMK, kedamaiannya setelah membaca sebuah buku yang dinilai mengubah
cara pandangnya terhadap dirinya sendiri, permasalahan hidupnya, dan lainnya.
Temukan Dukungan Untuk Kesehatan Mental OYPMK
Dalam tulisan saya sebelumnya, saya urai
hal-hal yang bisa kita, pihak-pihak yang memiliki kepedulian pada ODK/OYPMK,
dan ODK/OYPMK lakukan, secara bersinergi
atau individu[4]
untuk mengurangi bahkan menghilangkan stigma pada ODK/OYPMK. Jika wacana
tersebut dapat diwujudkan, maka akan berpengaruh pada perubahan perilaku
orang-orang di sekitar ODK/OYPMK dari stigmatis menjadi dukungan-dukungan yang
akan berpengaruh pada kesehatan mental ODK/OYPMK dan percepatan proses
kesembuhannya.
Selain hal
tersebut di atas, ada beberapa dukungan yang dapat dilakukan untuk menjaga
kesehatan mental ODK/OYPMK, antara lain:
Pertama, adanya Kelompok Dukungan Sebaya
(KDS) atau Peer Group. Dukungan
Sebaya adalah dukungan yang diberikan dan diterima oleh orang-orang yang
memiliki permasalahan (sakit) yang sama. Pertama kali saya mengetahui
keberadaan dan peran penting KDS di tahun 2000-an awal, yaitu terbentuknya KDS
untuk dukungan bagi ODHA dan OHIDA[5].
Setiap individu
memiliki pengalaman-pengalaman yang berbeda dan unik dalam melihat, menilai,
menyikapi, dan merespon sebuah masalah. Perbedaan dan keunikan ini akan menjadi
pengetahuan dan pengalaman bagi yang lain[6].
KDS untuk
ODK/OYPMK adalah tempat bertemu sesama OYPMK, berbagi pengalaman, saling
menyemangati, memotivasi, menambah wawasan yang mengubah cara pandang mereka
tentang diri sendiri menjadi lebih baik, menghargai, menerima, dan mencintai.
Karena belum
banyak orang (termasuk OYPMK dan keluarga) yang mengetahui pentingnya KDS, maka
pembentukan KDS bisa diinisiasi oleh orang-orang atau pihak-pihak yang peduli
pada OYPMK. Anggotanya juga bukan hanya OYPMK, tapi juga keluarga OYPMK,
orang-orang yang peduli[7]
pada OYPMK yang bersama-sama memberi dukungan pada ODK/OYPMK untuk kualitas
hidup yang lebih sehat (mental, spiritual, sosial dan fisik) dan baik[8].
Melalui KDS,
mereka juga dapat melakukan berbagai kegiatan yang ditujukan pada anggota KDS (internal),
maupun orang-orang di luar KDS. Partisipasi aktif ODK/OYPMK dalam KDS akan
berdampak pada penguatan mental dan rasa percaya diri melakukan sosialisasi dan
edukasi masyarakat untuk mengurangi stigma dan diskriminasi, serta dapat
meningkatkan kapasitas, kapabilitas, dan kreativitas berkarya bagi mereka.
![]() |
| Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Kedua, rehabilitasi mental. Hal ini
disampaikan oleh Dr dr Sri Linuwih Menaldi,
SpKK(K), Ketua Divisi Dermatologi Infeksi Tropik, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia – RS Cipto Mangunkusumo, bahwa rehabilitasi fisik dan
mental sama pentingnya sehingga harus dilakukan bersamaan[9].
Jika gangguan pada mental ODK sudah mulai membahayakan bagi dirinya sendiri
atau orang lain, keluarga sebaiknya mengupayakan ODK melakukan rehabilitasi
mental.
Epilog
Sejatinya,
manusia yang sehat secara fisik, sosial, mental, dan spiritual, mereka memiliki
empati yang tinggi, menghormati hak-hak setiap orang yang sehat atau memiliki
gangguan kesehatan, serta tidak melakukan penstigmaan dan diskriminasi. Ketika
ada warga masih sering memberi stigma dan melakukan diskriminasi, sudah
selayaknya kesehatan (sosial, mental, dan spiritual) mereka perlu
dipertanyakan. Siapa yang sebenarnya “sakit”? [***]
[1] “Ucapan” yang dimaksud di sini lebih menunjukkan pada
konten dan cara penyampaian yang masih bisa ditolelir secara umum, dan tidak
mengarah pada dialek dan kebiasaan dalam masyarakat tertentu. Semisal kata
“cuk” yang kerap kita dengar saat perbincangan dengan arek Suroboyoan, tidak
bisa dikategorikan cermin kesehatan mental.
[2] Berdasarkan sejumlah video cerita (pengakuan) para
penderita kusta, https://www.youtube.com/results?search_query=pengakuan+penderita+kusta, diakses 22/10/2022; 12:50 WIB.
[3] Silakan ditonton dokumentasi berita sejumlah televisi
yang dapat pembaca akses di kanal berbagi video (youtube) tentang kehidupan
OYPMK.
[4] Sebagaimana tulisan ini, tulisan-tulisan dari para
narablog, karya foto dan video, yang dibuat secara individual, dapat mendorong
dan menginspirasi pembaca, penyaksi, penonton, baik secara individual, sinergi
lintas pihak, membuat kebijakan atau dukungan bagi ODK/OYPMK.
[5] ODHA adalah orang dengan HIV-AIDS, sedang OHIDA
adalah orang yang hidup bersama orang pengidap HIV-AIDS.
[6] Maksudnya, dengan mengetahui pengalaman orang lain,
tantangan dan konsekuensi pengalaman tersebut, seseorang bisa mempelajari
pengalaman tersebut dan terhindar dari pengalaman buruk orang lain tersebut.
[7] Mereka bisa saja memiliki perbedaan latar belakang
profesi, potensi dan kepemilikan sumber daya, dan lainnya, sehingga dapat
membantu ODK/OYPMK secara lebih beragam dan sesuai dengan kebutuhan ODK/OYPMK
saat itu.
[8] Dengan cara menghargai, menerima, dan mencintai diri
mereka sendiri, sebagai langkah pertama, sehingga dengan demikian ODK/OYPMK
terhindar dari gangguan mental.
[9] Sumber: https://health.okezone.com/read/2016/01/30/481/1300783/penderita-kusta-perlu-penanganan-mental, diakses 20/10/2022; 08:23 WIB.





