![]() |
| Stop stigma dan diskrimasi pada Orang Dengan Kusta (ODK) dan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) menuju Indonesia Bebas Kusta. | Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Pengetahuan tidak berhenti.
Terbatasnya
informasi dan pengetahuan tentang kesehatan yang sampai ke masyarakat,
menyebabkan sejumlah penyakit berbahaya dan berakibat fatal –jika tidak segera
mendapatkan penanganan medis– menjadi fenomena puncak gunung es, yaitu
penderita yang mendapatkan fasilitas pengobatan dan pendampingan serta tercatat
dalam data base kesehatan, jauh sangat sedikit dari fakta yang sesungguhnya.
Terlebih penyakit tersebut memiliki masa inkubasi yang cukup lama.
Lepra atau kusta
atau penyakit Hansen[1]
memiliki masa inkubasi antara 3-20 tahun, bahkan lebih. Ketika gejala-gejala
mulai muncul, penderita tidak merasa ada gangguan, seperti demam, gatal, atau
lainnya, sehingga dianggap penyakit ringan. Karena hal inilah, baik penderita
maupun keluarga tidak khawatir bahkan abai sampai gejala-gejala kusta muncul.
Sayangnya, ada juga keluarga yang merasa malu pada tetangga atau sesama pasien
di yankes, sehingga lebih memilih menyembunyikan ODK, sambil mengobatinya
secara tradisional, tanpa tahu nama penyakit yang diderita ODK.
![]() |
| Fenomena gunung es ODK salah satu penyebabnya adalah stigma dan diskriminasi. | Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Menurut perkiraan
saya, sebenarnya sudah banyak masyarakat yang mendengar dan mengetahui tentang
penyakit kusta. Seingat saya sendiri, saya pernah mempelajarinya di sekolah
(entah di jenjang berapa). Saya pun pernah melihat foto-foto dokumentasi para
penyandang kusta, atau Orang Dengan Kusta (ODK) yang sudah cacat permanen.
Namun, informasi dan pengetahuan yang tida rinci saya terima berhenti di sini
saja, tanpa penjelasan tentang masa inkubasi, cara bersikap dan bergaul dengan
mereka, seberapa berbahaya, cara penularannya. Saya bisa memaklumi karena
memang pengetahuan itu ditujukan bagi anak-anak. Mungkin saja, hal yang sama
dialami mayoritas masyarakat negeri ini, informasi tidak lengkap dan
terlupakan.
Saat siswa
menerima pengetahuan itu, tidak semua dari mereka berinisiatif menceritakannya
kepada orang tuanya. Dugaan saya, karena topik ini tidak terlalu menarik untuk
diceritakan. Dengan berjalannya waktu, setidaknya setelah dijadikan bahan
ulangan/ujian, informasi dan pengetahuan tentang kusta terlupakan. Sedangkan,
belum/tidak ada sosialisasi dan edukasi tentang kusta kepada orang tua siswa.
Akhirnya “kusta” hanya sebatas pengetahuan yang tidak meninggalkan jejak.
Ini cukup menjadi
landasan yang sangat kuat bagi stakeholder lintas sektor (terutama pemerintah,
bersama dengan institusi swasta, organisasi kemasyarakatan, LSM, media) untuk
melakukan sosialisasi, edukasi, penelusuran, dan pendampingan secara
terus-menerus ke masyarakat hingga mencapai eliminasi kusta.
Karena dengan
kemajuan penelitian, ilmu kedokteran, dan farmasi, penyakit kusta dapat
disembuhkan secara total, selama ODK masih stadium awal, belum sampai mengalami
kecacatan permanen. Sayangnya, karena pengetahuan masyarakat terlalu sedikit,
penderita baru memeriksakan diri saat kondisi sudah cukup parah.
Selain itu,
karena masa pengobatan memerlukan waktu yang lama, sekitar 6 bulan sampai 2
tahun, sehingga diperlukan dukungan keluarga, tetangga, bahkan pemerintah desa
setempat untuk mendampingi, memotivasi, dan menghilangkan stigma dan
diskriminasi pada ODK.
Orang Dengan Kusta (ODK) Dalam Angka.
Lepra atau lebih
dikenal dengan nama kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang juga disebut Basillus Hansen, merujuk nama penemunya
pada tahun 1873, yaitu Gerhard Hanrik Armauer Hansen, seorang ilmuwan Norwegia.
Bakteri ini menyerang bagian kulit, saraf tepi, dan mata. Temuan ini tidak
berarti bahwa penyait kusta baru dimulai tahun itu. Karena sesungguhnya sudah
ada sejak 4.000 tahun lalu (2000 SM), yang dikuatkan dengan penemuan kerangka
manusia di India dengan bukti arkeologis sebagai penderita kusta[2].
Berbeda dengan
mayoritas penyakit, kusta memiliki masa inkubasi yang sangat lama —masa sejak
masuknya bakteri hingga muncul gejala-gejalanya— yaitu antara 3-5 tahun bahkan
sampai 30 tahun kemudian. Setelah melalui masa inkubasi, gejala-gejala awal
yang muncul tampa sebagai bercak putih dan merah pada kulit (hampir mirip
panu), kesemutan dan mati rasa. Pada tahap awal ini, ODK dan keluarga masih
menganggap penyakit ringan, sekedar penyakit kulit biasa, seperti panu atau
herpes. Sebenarnya ada gejala khas yang membedakan dengan penyakit kulit pada
umumnya, yaitu kulitnya mengalami mati rasa atau baal. Baru setelah muncul
benjolan-benjolan di beberapa bagian tubuh terbuka, wajah, leher, dan lengan,
ODK bersedia menjalani pemeriksaan dan pengobatan.
Sebagai fenomena
gunung es, angka yang tertulis di sini adalah puncaknya gunung es. Artinya,
besar kemungkinan jumlah ODK lebih banyak bahkan berlipat ganda dari data yang
sudah dirilis Kementerian Kesehatan RI. Sepanjang tahun 2021 saja (dirilis awal
tahun 2022), menurut Kementerian Kesehatan RI, jumlah ODK dalam setahun
mencapai 7.201[3]
orang dari total 13.487[4]
se-Indonesia (dirilis 24 Januari 2022)[5],
dengan proporsi cacat mencapai 84,6%[6].
Angka ini menempatkan Indonesia di urutan ketiga setelah India (pertama) dan
Brasil (kedua)[7].
Menurut WHO, ketiga negara ini saja, sudah menyumbang 72,5% jumlah penderita
kusta di dunia[8].
Sebelumnya, pada
awal tahun 2021, Kemenkes RI merilis bahwa jumlah penderita kusta di Indonesia
mencapai 16.704 orang, 9,4% diantaranya adalah anak-anak[9]
yang meningkat di tahun 2021 menjadi 10,9%[10].
Sementara di
provinsi Jawa Timur, Dinas Kesehatan Jawa Timur pada tanggal 11 Januari 2019[11]
menyampaikan bahwa jumlah penderita kusta di Jatim sebanyak 2.610 orang. Salah
satu kabupaten (domisili penulis), yaitu Tulungagung, ODK yang tercatat pada
tahun 2018 ada 30 orang, sementara di tahun 2019 bertambah dua orang lagi.
Jumlah ini bertambah lagi di tahun 2021 sebanyak 10 ODK baru sepanjang
Januari–Mei 2021[12].
Mengapa jumlah
ODK Indonesia berada di rangking tiga?
![]() |
| Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah ODK di Indonesia. | Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Terdapat beberapa
faktor yang memberi pengaruh besar, pertama, adanya stigma dan diskriminasi yang
menyebabkan para ODK dan keluarga lebih memilih menyembunyikan diri, akibatnya
tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan sebagaimana mestinya. Kedua,
ODK yang sedang menjalani pengobatan, melakukan “putus obat” yaitu menghentikan
minum obat dan tidak lagi datang ke yankes dengan alasan lelabh berobat, bosan
dan jenuh. Ketiga,
tidak sampainya informasi –Baik dari tenaga yankes, pemerinta desa setempat,
atau media siber– tentang penyakit kusta karena keterbatasan infrastuktur
informasi dan komunikasi. Keempat, domisili ODK di daerah terpencil, jauh
jarak tempuh ke yankes, terlebih infrastuktur jalan yang buruk sehingga
memerlukan biaya yang tinggi untuk transportasinya.
Kelima, yang berkontribusi besar pada
tingginya jumlah ODK adalah lemahnya dan belum meratanya sistem dukungan (support system) bagi ODK dan keluarga.
Sistem dukungan ini bisa berbetuk komunitas peduli, yang beranggotakan
orang-orang dengan lintas profesi yang bisa mengerti, memahami, membantu
menemukan solusi permasalahan yang dihadapi ODK dan keluarga, memotivasi, dan
memastikan kesehatan mental pada ODK dan keluarga.
Jika menggunakan
sudut pandang lain, tingginya jumlah ODK menunjukkan besarnya kesadaran ODK,
keluarga, dan masyarakat untuk mendukung ODK dalam menjalani pengobatan hingga
tuntas, dan sekaligus memutuskan rantai penularan. Angka ODK yang tinggi
menunjukkan keberhasilan jangkauan yankes.
Stigma & Diskriminasi.
ODK termasuk
salah satu penderita yang lekat dengan stigma sebagaimana penyandang AIDS
(ODHA), lupus (Odapus), autoimun (ODAI), penyandang TB, dan lainnya. Bukan
hanya dinilai sebagai hukuman, namun juga kutukan. Sehingga mereka dijauhi
hingga diisolir, serta kehilangan banya hak-haknya. Kecuali TB,
penyakit-penyakit yang tersebut di atas tidak mudah menular, terlebih kusta.
Kusta tidak bisa ditularkan dengan bersentuhan kulit bahkan melalui hubungan
seksual, kecuali terjadi hubungan yang intens untuk jangka waktu lama dengan
ODK. Sedangkan autoimun bukanlah penyakit yang bisa ditularkan.
Stigma adalah
predikat buruk (mempermalukan dan menghancurkan citra diri) yang dilekatkan
pada seseorang yang dianggap berbeda dengan orang secara umum. Stigma muncul
karena adanya “standar normal” sangat subyektif yang direka, dibuat, diakui,
kemudian disebarluaskan ke masyarakat baik secara konvensional (dari mulut ke
mulut) maupun melalui ruang siber. Jika seseorang yang tumbuh, berkembang,
berbeda secara fisik, ekonomi, perilaku,
tidak sesuai dengan “standar normal” tersebut, maka dia adalah outsider dan bakal mendapat cap negatif
atau stigma.
Stigma-stigma
yang dihadapi para ODK diantaranya dengan memberi label: kena kutukan,
keturunan, kena guna-guna, orang miskin, jorok, menjijikkan, monster, penyebar
penyakit yang tidak bisa diobati, dan lainnya. Mirisnya, stigma kadang juga
datang dari anggota keluarga inti atau keluarga jauh. Keluarga yang seharusnya
mendukung ODK, malah turut melabeli ODK sebagai “orang yang membuat malu
keluarga”.
Beberapa
penderita kusta yang terlambat mendapatkan pengobatan secara tepat[13],
munculnya banyak benjolan di tubuh, beberapa bagian tubuh hilang (seperti pada
jari tangan, kaki, bahkan hidung), kelumpuhan, mengakibatkan ODK mengalami
cacat permanen. Bukan hanya stigma yang akan diterima ODK, melainkan juga
perundungan pengisolasian, dan diskriminasi, yang mana perlakuan tersebut akan
mempengaruhi kesehatan mental ODK.
Sedangkan
diskriminasi adalah perlakuan atau tindakan yang berbeda pada seseorang atau
sekelompok orang yang tidak sesuai dengan “standar” umum. Para penyandang
stigma sudah otomatis akan mendapat perlakuan diskriminatif.
Rundungan dan
diskrimasi pada ODK semakin buruk ketika ODK berasal dari keluarga miskin.
Alih-alih simpati dan empati, yang terjadi malah merundung, menyudutkan, dan
mengisolasi dengan alasan agar tidak menularkan penyakit itu. Jika kondisi
seperti ini berlangsung lama, dampaknya ODK (mungkin juga terjadi pada anggota
keluarganya) akan mengalami depresi, gangguan mental, dan berpotensi mengambil
keputusan fatal.
Stigma dan
diskriminasi ibarat dunia gelap yang membuat ODK dewasa tidak memiliki banyak
kesempatan untuk mengembangkan potensi diri, bekerja, berkarya, memperbaiki
kualitas hidup dirinya dan keluarganya, serta kehilangan beragam hak lainnya.
Bagi ODK anak, mereka kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan,
bermain, mengembangkan hobi, dan juga kehilangan banyak hak-hak sebagaimana
dalam UU Perlindungan Anak.
Upaya mengurangi stigma dan diskriminasi.
Selain upaya
mencapai eliminasi kusta secara nasional pada tahun 2024[14],
termasuk regional Jawa Timur, maupun lokal Tulungagung[15],
Kementerian Kesehatan mengajak semua pihak untuk menghapus stigma dan
diskriminasi pada ODK. Sebagaimana dilaporkan pada tahun 2016, Jawa Timur
pernah pada posisi teratas jumlah ODK-nya, yaitu 4.183 orang dari 17.000 secara
nasional.
Penyebutan
penyakit ini sebagai lepra atau kusta, menurut beberapa ilmuwan memberi
konotasi negatif yang menyulut stigma dan merembet ke tindakan perundungan,
pengucilan, dan diskriminasi. Karena itu, penyakit ini diperkenalkan dengan
nama baru yaitu penyakit
Hansen. Ini menjadi langkah pertama.
![]() |
| ODK dan OYMPK bangkit untuk berdaya dan berkarya. | Desain Canva oleh Tjut Zakiyah Anshari |
Kedua,
yaitu sosialisasi dan edukasi secara masif dan berkelanjutan dengan melibatkan
berbagai pihak, seperti beragam jenis media, lembaga kemasyarakat, lembaga
pendidikan, termasuk pekerja kreatif (penulis, seniman, dan lainnya). Jika
sosialisasi berhasil sehingga masyarakat menganggap kusta sebagaimana penyakit
“biasa”, maka stigma dan diskriminasi akan hilang[16].
Saat ini,
komunitas-komunitas penulis juga menekankan isu-isu inklusi menjadi salah satu
syarat dalam penulisan karya-karya fiksi, seperti buku bacaan anak-anak untuk
semua jenjang usia anak[17].
Karya-karya fiksi bisa menjadi media yang sangat efektif untuk menyampaikan
pesan-pesan inklusi. Bahkan orang dewasa pun lebih banyak membaca karya fiksi
terutama yang kisahnya berhubungan dengan dirinya.
Sebagai contoh,
buku bergambar (picture book) sangat
cocok untuk menyampaikan pesan inklusif pada pembaca anak-anak hingga kelas 3
SD, sedangkan cerpen/novel teenlit
untuk pembaca remaja, demikian pula penulis meramu isu kusta dan inklusifisme
untuk pembaca dewasa.
Ketiga,
sinergi lintas stakeholder untuk support system. Sebagai stakeholder utama, Kementerian Kesehatan
RI dan jajaran di bawahnya, bersinergi dan bekerja sama dengan banyak pihak,
selain dengan organisasi kemasyarakatan[18],
juga media, beragam komunitas (seperti komunitas seni, penulis, dan komunitas
kreatif lainnya) untuk memutuskan stigma dan diskriminasi melalui
program-program kreatif insklusif. Pemerintah memiliki sumber daya yang sangat
memadai untuk berkolaborasi dengan lintas institusi dan komunitas untuk
menjalankan program-program mulai dari jangkauan hingga pemberdayaan. Orang
Yang Pernah Menderita Kusta (OYPMK) dapat dilibatkan secara aktif untuk menjadi
tutor atau pendamping bagi ODK, keluarga, dan lingkungan ODK/OYPMK. Dengan
demikian ODK dapat mengakses pendidikan, ketrampilan, pekerjaan, dan hak-haknya
sebagai manusia dan warga negara Indonesia.
Keempat,
komunitas ODK yang bertujuan untuk saling berbagi semangat, wadah untuk
berkreasi bersama, menemukan solusi dari persoalan-persoalan yang ditemui ODK,
memberdayakan diri melalui pelatihan-pelatihan sesuai dengan potensi
masing-masing, melek digital, dan lainnya. Ketika ODK/OYMPK dapat meningkat
kapasitas dan kapabilitasnya, mereka akhirnya memiliki daya tawar yang dapat
mematahkan stigma dan diskriminatif, serta perlakuan tidak manusiawi lainnya
yang diterima ODK/OYMPK dan keluarganya.
Kelima,
pemberdayaan ekonomi ODK dan keluarganya melalui program-program pendampingan
sebaiknya menjadi agenda utama. Selain dapat meningkatkan rasa percaya diri
ODK, juga ODK berlatih untuk mandiri secara ekonomi, sehingga perlahan tapi
pasti, ODK dapat membangun citra positif dan branding yang akan mengikis dan menghilangkan stigma atau perlakuan
negatif kepadanya selama ini.
Salah satu contoh
adalah para ibu OYPMK warga Sitanala, Tangerang yang memproduksi jilbab kreasi
untuk dijual. Mereka juga mendapat pelatihan pembuatan pola desain, penjahitan, pengepakan hingga
pemasaran produk.[19]
Teknologi digital
dan internet saat ini sudah nyaris merata di sepenjuru Indonesia. Karena itu
sudah selayaknya ODK/OYMPK dapat menggunakan secara cerdas dan kreatif untuk
kemandirian ekonomi dan berkarya. Terlebih, diantara ODK terdapat sekitar 10%
anak-anak yang pasti memiliki harapan masa depan terbaik bagi mereka.
ODK/OYMPK memiliki
hak-hak eksistensi dan menghargai dirinya sendiri, dengan terus mengembangkan
kapasitas dan kapabilitas untuk belajar, berlatih, bekerja, dan berkarya di era
digital. Sebagaimana kita ketahui, fasilitas-fasilitas terus dikembangkan
dengan prinsip ramah difabel. Demikian juga teknologi-teknologi digital,
demikian pula semakin banyak produk teknologi diciptakan secara khusus untuk
para penyandang disabilitas.
Epilog.
Posisi Indonesia
di rangking ketiga jumlah ODK memang bukan suatu yang bisa dibanggakan. Namun,
ternyata angka ini juga menunjukkan kesadaran masyarakat untuk menjalani
pengobatan, sembuh, sehingga menjadi pribadi yang berdaya dan mandiri, dan
kembali menata kehidupan yang lebih baik dan produktif, terlibat aktif dalam
pembangunan Indonesia.
Setiap hari
Minggu terakhir di bulan Januari[20],
seluruh dunia memperingati Hari Penderita Kusta Sedunia untuk membuka kesadaran
masyarakat dunia terhadap keberadaan ODK, bukan untuk dikasihani, melainkan
ditempatkan selayaknya manusia dengan hak-hak yang sama. [***]
#SUKA #NLRxKBR #LombaNLRxKBR #IndonesiaBebasKusta #menulisuntukkusta #SuaraUntukIndonesiaBebasKusta #janganlupakankusta #hinggakitabebasdarikusta
Disclaimer:
Semua gambar/ilustrasi dalam tulisan
ini, penulis buat dengan menggunakan Canva. Penulis sengaja tidak melampirkan
gambar atau foto ODK/OYPMK. Jika pembaca ingin tahu, dipersilakan untuk
menemukan di laman-laman daring atau situs berbagi video. Terima kasih.
[1] Sumber: https://dinkes.kalbarprov.go.id/penyakit-kusta-dan-sejarahnya/, diakses 14/10/2022; 11:23 WIB. Dalam
tulisan ini saya tetap menggunakan nama penyebutan “kusta” karena lebih familiar bagi
pembaca.
[2] Sumber: https://dinkes.kalbarprov.go.id/penyakit-kusta-dan-sejarahnya/, diakses 14/10/2022; 11:23 WIB.
[3] ~idem~
[4] Sumber: https://samleinad.com/kusta-dan-disabilitas-identik-dengan-kemiskinan/, diakses 14/10/2022; 15:29 WIB.
[5] Sumber lain menuliskan ada 17.500 ODK di
tahun 2020. https://news.unair.ac.id/2021/10/08/stigma-sosial-terhadap-penyakit-kusta, diakses 13/10/2022; 20:39 WIB
[6] Sumber: https://dinkes.kalbarprov.go.id/penyakit-kusta-dan-sejarahnya/, diakses 14/10/2022; 11:23 WIB.
[7] Sumber: https://metro.tempo.co/read/461169/penderita-kusta-indonesia-tertinggi-ketiga-dunia, diakses 13/10/2022; 20:43 WIB
[8] Sumber: https://www.kompas.com/sains/read/2022/06/26/180300823/kasus-kusta-masih-tinggi-indonesia-berada-di-urutan-tiga-teratas-dunia, diakses 14/10/2022; 09:37 WIB.
[9] Sumber: https://www.republika.co.id/berita/qnp767284/kemenkes-kasus-baru-kusta-pada-anak-cenderung-tinggi,
diakses 14/10/2022; 13:19 WIB.
[10] Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2675561/kemenkes-temukan-7201-penyakit-kusta-baru-sepanjang-2021, diakses 14/10/2022; 08:42 WIB.
[11] Data terakhir yang dipublikasi ke media.
[12] Sumber https://surabaya.tribunnews.com/2021/05/23/penanganan-kusta-di-tulungagung-terhambat-selama-pandemi-5-bulan-di-2021-ditemukan-10-pasien,
diakses 15/10/2022; 10:41 WIB.
[13] Karena ada yang berobat ke dukun, dan pengobatan
tradisional. Meskipun banyak obat-obat herbal bisa menyembuhkan, namun
penggunaannya harus didukung oleh penelitian farmasi yang dapat dipertanggung
jawabkan. Bagi ODK yang mengonsumsi obat herbal, jika tidak ada perkembangan
membaik, sebaiknya segera periksa ke dokter.
[14] Sumber: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220203/2839247/menuju-eliminasi-2024-kemenkes-ajak-masyarakat-hapus-stigma-dan-diskriminasi-kusta/, 16/10/2022; 29:57 WIB.
[15] Penulis mengambil sampel Tulungagung, karena penulis
berdomisili di Tulungagung, Jawa Timur.
[16] Pernyataan Prof. Dr. Klaus M. Leisinger, sumber: https://jermanesia.com/normalisasi-lepra-sekarang-untuk-indonesia-bebas-kusta/, diakses
17/10/2022; 06:36 WIB.
[17] Jenis dan tampilan karya fiksi berbeda, disesuaikan
dengan jenjang baca yang ditetapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset
dan Teknologi.
[18] Sumber: https://www.antaranews.com/berita/1700786/kemenkes-gandeng-organisasi-masyarakat-hilangkan-diskriminasi-kusta, diakses 14/10/2022; 12:49 WIB.
[19] Sumber: https://www.liputan6.com/news/read/378166/mantan-penderita-kusta-yang-mandiri-dan-produktif, diakses 17/10/2022; 07:37 WIB.
[20] Tanggal tidak selalu sama pada tiap
tahunnya.




