![]() |
| Keluarga bahagia tanpa rokok menjadi perlindungan terbaik bagi kesehatan dan masa depan anak. | Desain ilustrasi menggunakan Canva. |
Mereka
Masih Anak-Anak
Ayah, Bunda…
Barangkali kita masih ingat sosok bocah bernama Ilham
yang sempat viral di media mainstream antara tahun 2012 sampai 2014
silam. Tanpa tedeng aling-aling, media memberitakan anak berusia 8 tahun di tahun 2012 ini telah kecanduan berat
terhadap rokok. Diberitakan, dalam sehari ia menghabiskan 2 pak rokok dan 5
gelas kopi[1].
Permasalahan tidak sesederhana yang kita perkirakan.
Kecanduan rokok juga memberinya efek emosional pada Ilham. Ia akan marah dan
merusak benda yang ada di dekatnya jika keinginan untuk membeli rokok tidak
dipenuhi. Perilakunya sangat meresahkan keluarga. Dengan bertambahnya kesulitan
orang tua untuk meloloskan permintaannya, Ilham mencuri sehingga meresahkan
warga.
Ilham diketahui mulai merokok pada usia 4 tahun.
Semula, orang tua dan warga tidak banyak tahu bahwa kebiasaan Ilham itu akan berpengaruh
buruk dalam jangka pendek apalagi masa depannya. Kecuali karena keterbatasan
ekonomi keluarga sehingga tida bisa selalu memenuhi kecanduan Ilham terhadap
rokok, pada akhirnya orang tua Ilham mengetahui bahwa ternyata paru-paru
anaknya telah terdampa oleh rokok diusia sebelia itu.
Upaya rehabilitasi telah dilakukan oleh Komisi
Nasional Perlindungan Anak untuk melepaskan Ilham dari kecanduan rokok, namun
gagal. Pada tahun 2014, kembali media memberitakan kondisi Ilham yang masih
kecanduan rokok walaupun tidak separah sebelum rehabilitasi[2].
Selain Ilham, media pernah menyorot bocah berusia 2,5
tahun yang memiliki kebiasaan merokok. Video itu memperlihatkan anak bertubuh
gemuk ini sedang merokok layaknya orang dewasa.
Ilham kembali diberitakan oleh media lokal, Sukabumi
Update Dot Com[3], 5
Oktober 2019, kali ini tentang perlakuan warga setempat terhadap Ilham yang dinilai
mengganggu warga. Jenis gangguannya dianggap tidak bisa diterima, yaitu mencuri
HP dan menjualnya untuk membeli rokok. Akibatnya, warga mendesak orang tua
Ilham untuk memasungnya. Terlihat jelas, betapa lemahnya perlindungan untuk Ilham
yang masih anak-anak, mulai dari bahaya rokok yang sudah berdampak pada kesehatan
paru-parunya, ekspos oleh media, dipukuli warga, hingga dipasung dan
ditempatkan di kandang kambing.
Ilham dan jutaan anak yang sudah “terlanjur” bergantung
pada rokok, tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Seberat apapun dampak yang
dirasakan orang tua, lingkungan, bahkan negara, fakta ini menunjukkan rendahnya
kepedulian terhadap keberadaan mereka, minimal dari lingkungan terdekat. Fakta lain,
bahwa mayoritas perokok anak berasal dari keluarga menengah ke bawah, yang
menunjukkan korelasi antara rendahnya pengetahuan baik tentang hak-hak anak dan
bahaya rokok bagi kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.
![]() |
| Darurat perokok anak. | Desain ilustrasi menggunakan Canva. |
Indonesia Darurat Perokok Anak
Ayah, Bunda…
Ilham hanya 1 dari jutaan anak (usia di bawah 18
tahun) Indonesia yang merokok. Mengutip laman Kementerian Kesehatan RI[4]
yang diterbitkan pada tanggal 29 Juli 2022, menuliskan bahwa:
Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM
menyebutkan ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.
Prevalensi perokok anak terus
naik setiap tahunnya, pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20%,
kemudian naik menjadi 8,80% tahun 2016, 9,10% tahun 2018, 10,70% tahun 2019.
Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16% di
tahun 2030.
Kedaruratan Indonesia terhadap perokok anak, sebenarnya sudah mulai
dipublikasikan sejak tahun 2017. Peningkatan jumlah perokok anak bukan hanya
merujuk pada konsumsi rokok batangan, namun juga vape. Saat ini vape
lebih tren di kalangan anak-anak dan remaja. Adanya anggapan bahwa vape
“bukan rokok”, tidak berbahaya dibanding rokok bakar, lebih bergengsi, mudah
didapatkan dari marketplace (karena konsumen yang masih anak-anak tidak
harus bertemu langsung dengan penjual), menjadi alasan bagi anak-anak untuk
memakainya. Pada kenyataannya, vape memiliki tingkat bahaya yang sama
bahkan lebih dibanding rokok batangan[5].
![]() |
| Darurat perokok anak, dengan angka perokok anak yang berpotensi menerima resiko penyakit kronis. | Sumber infografis: FCTC Untuk Indonesia. |
Memang benar, edukasi dan kampanye saja tidak cukup untuk
menurunkan status darurat perokok anak[6] yang
sebenarnya ditargetkan menjadi sekitar 5,4% di tahun 2019 lalu. Begitu pula,
peran keluarga dan lingkungan juga bukan
satu-satunya akar persoalan bertambahnya angka perokok anak.
Sebenarnya besar desakan
untuk revisi terhadap PP Nomor 109 Tahun
2012 harus segera diagendakan untuk menghambat pertambahan jumlah perokok anak. Namun, tulisan ini berfokus pada sisi lain, karena ranah-ranah yang tidak bisa dijangkau dengan mudah dengan edukasi dan kampanye,
diserahkan sepenuhnya pada pemerintah melalui kekuatan hukum dengan memastikan
hadirnya kebijakan menyeluruh untuk perlindungan terbaik bagi anak-anak.
Di tengah kita menyongsong era bonus demografi untuk diisi oleh
generasi produktif yang sehat, baik secara fisik, mental, sosial, dan
spiritual, jutaan perokok anak menjadi tantangan yang sangat besar dan berat. Jika
prevalensi perokok anak benar-benar mencapai 16% pada tahun 2030, artinya puluhan
juta generasi produktif berada dalam kondisi lemah, bahkan sangat mungkin akan menjadi beban
keluarga, masyarakat, dan negara. Karena itu, keterlibatan keluarga dan
masyarakat untuk merespon situasi darurat perokok anak mulai saat
ini, menjadi kontribusi yang besar agar keluarga, masyarakat, dan negara
terhindar dari kerugian yang sangat besar.
![]() |
| Angka yang sangat tinggi untuk perokok anak. Darurat perokok anak. | Sumber infografis: FCTC Untuk Indonesia. |
Secara preventif, negara harus memastikan terjadinya pemutusan
rantai distribusi rokok sehingga sulit diakses anak, dan secara kuratif, negara
harus menyediakan sumber daya untuk rehabilitasi jutaan perokok anak.
Kecil
Yang Berpengaruh Besar
Dari mana anak-anak mengenal rokok?
Ayah, Bunda, jika mau jujur, anak-anak mengenal dan mempelajari
sikap dan perilaku bermula dari lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga dan media yang diakses keluarga. Tulisan
ini bukan dimaksud untuk menyudutkan pihak-pihak terdekat dalam kehidupan anak
atau membenarkan maraknya iklan rokok, warung dan toko yang menjual rokok, atau
industri rokok, melainkan untuk menemukan formulasi yang bisa kita (sebagai bagian utama dari keluarga dan masyarakat) lakukan
sebagai pihak yang terdekat dengan anak-anak, baik untuk tujuan preventif
maupun kuratif.
Keluarga kecil maupun besar. Absolut,
keluarga menjadi lingkaran terkecil terjadinya interaksi sosial secara intens,
berkelanjutan, dan kuat pada lima tahun awal usia anak. Keluarga memberi
kontribusi terkuat dan menentukan pada kehidupan masa depan anak adalah
keluarga.
Di era sekarang ini, kita semakin jarang melihat anak tumbuh dan
berkembang di lingkungan keluarga besar, dimana ada kakek nenek, bibi paman dan
anak-anaknya, dalam satu atap. Dengan demikian, saat ini yang dimaksud dengan
keluarga adalah keluarga kecil, hanya ada anak bersama kedua orang tuanya,
saudara-saudaranya, dan mungkin ada satu atau lebih pekerja rumah tangga.
Orang-orang dewasa dalam satu rumah secara disadari atau tidak
menjadi pembentuk karakter, kebiasaan, dan perilaku anak, termasuk kebiasaan
merokok pada orang tua atau orang dewasa. Apa saja yang anak pelajari dari
paparan orang tua/dewasa yang merokok di rumahnya?
·
Merokok itu boleh dilakukan, karena orang
tuaku (atau orang dewasa yang ada di rumah itu) merokok. Aku bisa melakukan!
·
Merokok itu menyenangkan, karena dilakukan
orang tua/dewasa berulang-ulang, lagi dan lagi, tidak cukup sekali dari pagi
hingga malam. Aku juga ingin senang dan bisa melakukan!
·
Membeli rokok itu gampang dan dekat, karena
orang tua/dewasa pernah menyuruhnya untuk membeli rokok di warung/toko dekat
rumah. Aku tahu itu mudah asal ada uang dan aku bisa melakukan!
Orang-orang dewasa diluar keluarga
yang dekat dengan anak. Delapan belas tahun lalu, ketika saya masih
tergabung di Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten Tulungagung, para pekerja anak
memiliki potensi besar berperilaku buruk yang akan mencederai mereka sendiri,
baik fisik, mental, sosial, dan juga spiritual. Pekerja anak ini tidak peduli
meskipun jenis dan tempat kerjanya beresiko terhadap keselamatannya. Dan, merokok
adalah salah satu perilaku yang anak-anak pelajari dari lingkungan kerjanya
selain ujaran kotor.
Uang yang mereka dapatkan dari pekerjaannya, sebagian diberikan
kepada orang tuanya, dan sebagian lagi mereka gunakan untuk membeli rokok. Para
pekerja dewasa tidak terlalu mempermasalahkan anak-anak yang merokok. Bahkan,
salah satu motivasi anak-anak merokok adalah agar mereka lebih diterima oleh
para pekerja dewasa.
Lingkungan bermain dan aktivitas
setara bermain. Nasihat “pilihlah teman mainmu” dalam
konteks ini bukan berarti diskriminatif. Karena dalam pertemanan sangat
memungkinkan terbentuknya perilaku kolektif, perlaku yang sama. Jika ada satu
saja perokok anak dalam kelompok bermain anak, bukan mustahil memunculkan
perokok-perokok anak dari kelompok itu. Semuanya bisa dimulai dengan coba
menghisap satu rokok secara bergantian, dan selanjutnya anak-anak itu akan
mencoba satu batang untuk dirnya sendiri.
Media yang mudah diakses anak. Di era
digital ini, internet mempermudah anak untuk mengakses beragam media, mulai
dari gambar hingga video. Sebagaimana yang kita ketahui, paparan visual lebih
banyak diakses anak-anak karena lebih variatif, menyenangkan, dan mudah dicerna
dengan kebebasan persepsinya. Ketika telivisi dan internet menjadi bagian dari
keluarga, media ini memiliki kesempatan yang sama besar, bahkan lebih, untuk
mengintervensi anak-anak dan mendapatkan kepercayaan besar dari anak-anak bahwa
yang ditampilkan di media-media itu adalah benar dan cocok bagi mereka.
Apa saja yang ditampilkan? Tentu saja di antaranya adalah iklan
rokok, marketplace yang memudahkan anak-ana membeli rokok atau vape tanpa harus
beranja dari tempat duduk serta tanpa menimbulkan kecurigaan orang tua.
![]() |
| Di mana keluarga dan masyarakat bisa mengambil peran aktif? | Sumber infografis: FCTC Untuk Indonesia. |
Anak
Itu Berbeda
Ayah, Bunda… Sebagaimana yang kita tahu, anak (terutama di usia keemasan) memiliki
keistimewaan-keistimewaan berikut:
Peniru yang handal. Benar
sekali ketika mengibaratkan anak layaknya spon yang menyerap cairan bersih dan
kotor yang ada di sekitarnya tanpa penyaring apapun. Bagi anak-anak, jika perbuatan
itu boleh dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, berarti juga boleh dilakukannya.
Dibanding ucapan orang dewasa, perilaku orang dewasa (visual) yang dilakukan berulang
kali lebih kuat dalam ingatan anak dan ditirukannya.
Anak belum mengenal nilai-nilai yang digunakan untuk mempertimbangkan baik buruk, benar salah, terhadap perilaku yang dilihatnya. Meniru adalah respon yang paling sederhana bisa dilakukan anak tanpa mempertimbangkan respon orang tua/dewasa terhadap perilakunya. Anak akan mengalami kebingungan ketika perilakunya disalahkan, sementara orang tua/dewasa boleh melakukannya.
Sayangnya, ada beberapa orang dewasa (tua) saat melihat anak
merokok, memberi komentar positif, alih-alih menghentikannya, seperti “Wah,
kecil-kecil sudah merokok. Hebat!”, “Anak dan bapak sama saja, sama-sama kayak
kereta api!”, dan lain sebagainya.
Tingginya rasa ingin tahu dan keinginan mencoba. Secara alamiah, anak memiliki sifat yang melekat pada dirinya, yaitu eksploratif dan berani mencoba
hal baru tanpa peduli akibatnya. Hal ini berhubungan dengan pertumbuhan maksimal otak
anak di usia lima tahun pertama kehidupannya. Fase ini berpengaruh besar terhadap daya
serap dan daya simpan beragam stimulus dari
sekitarnya, baik berupa peristiwa, perilaku, semua stimulan yang tertangkap
oleh panca inderanya. Setiap aktivitas dan perilaku orang dewasa menjadi stimuli yang ditangkap inderanya dan memantik rasa ingin tahu dan keinginan untuk melakukan hal yang sama, termasuk merokok.
Tidak kenal jera. Pasti
kita pernah melihat anak-anak yang tersandung dan terjatuh saat berlari, dengan segera ia
akan bangkit dan berlari lagi tanpa ragu. Ia jatuh saat berlatih naik sepeda,
ia pun akan bangkit lagi lalu belajar mengayuh lagi. Bukan karena anak-anak ini
sudah mengenal kalimat motivasi untuk pantang menyerah, melainkan secara
naluriah memang mereka tidak kenal jera sampai berhasil mencapai hal yang diinginkan. Apa yang diinginkannya? Melakukan sebagaimana yang orang dewasa lakukan.
Belum mengenal nilai baik dan buruk. Walaupun
orang tua mengatakan “anak kecil gak boleh merokok, nanti saja kalau sudah
besar dan bisa cari duit sendiri”, sedangkan anak lebih
sering melihat orang tua/dewasa merokok dengan wajah gembira, anak akan
mengasosiasikan bahwa “merokok itu menggembirakan”. Maka anak lebih memilih mencoba
merokok agar gembira sebagaimana orang tua/dewasa saat merokok.
![]() |
| Anak peniru yang handal. | Desain ilustrasi menggunakan Canva. |
Aksi
Bersama
Diluar isu kebijakan dan perundang-undangan, keluarga dan
masyarakat sangat bisa memberi pengaruh kuat untuk mengurangi sebanyak mungkin perokok anak. Sebagaimana yang kita ketahui
bersama, perubahan perilaku memerlukan waktu yang lama. Namun, ada beberapa
langkah yang bisa dilakukan dengan keterlibatan aktif para orang tua/dewasa (baik keluarga
yang seluruh anggotanya tidak merokok maupun ada anggota yang merokok). Catatannya, menjadi
tantangan yang besar saat mengajak keluarga yang memiliki anggota keluarga perokok
(ayah, ibu, atau anak).
Komunitas Keluarga Tanpa Rokok. Prinsip
pertama yang sebaiknya disepakati dalam komunitas ini adalah inklusif, yaitu
anggotanya bukan hanya keluarga dengan anggota bukan perokok, namun keluarga
perokok juga bisa bergabung dalam komunitas ini. Seperti yang saya tulis di paragraf
sebelum ini, pelibatan keluarga perokok memiliki tantangan tersendiri.
Sebagaimana komunitas-komunitas lain yang bertujuan untuk perubahan
perilaku, komunitas ini sebaiknya dilengkapi dengan beberapa hal berikut:
·
Ada konselor atau pendamping yang bisa
membantu komunitas untuk mendesain dan menjalankan aktivitas-aktivitas
perubahan perilaku. Pendamping atau konselor ini bisa berasal dari anggota
sendiri, mengingat ketrampilan konseling bisa dipelajari dan dilatih.
Pendamping/konselor ini juga dapat membantu anggota komunitas yang masih
merokok untuk terlepas dari kecanduannya, meskipun faktanya seorang perokok
bisa berhenti merokok tidak ditentukan dari pihak lain, melainkan kesadaran dan
keputusannya sendiri yang diambil secara sadar.
·
Peran koordinator dan tim (struktur
kepengurusan) lebih sebagai penggerak dan fungsi administratif,
memastikan dinamika komunitas terdokumentasi dengan apik. Usia kepengurusan
sebaiknya tidak lama, misalnya berganti setiap 2 tahun sekali, dengan tujuan
untuk pemerataan pengalaman dan meningkatkan tanggung jawab serta rasa memiliki.
·
Memiliki agenda pertemuan rutin baik secara
langsung (luring) maupun daring jika komunitas ini terbuka bagi keluarga lintas
wilayah. Disamping untuk mengeratkan anggota kelompok, membangun kepercayaan
antar anggota, mendiskusikan persoalan yang anggota hadapi terkait dengan
kebiasaan merokok, berbagi pengalaman keluarga terkait dengan pengurangan
kebiasaan merokok, pertemuan juga harus memastikan bahwa anak-anak di
lingkungan mereka terhindar dari paparan rokok baik sebagai perokok pasif
maupun aktif. Lengkapi, secara berkala mengadakan gathering untuk menguatkan ikatan komunitas.
·
Membangun jaringan, terutama dengan
lembaga-lembaga yang berfokus pada perlindungan anak baik dari pemerintah
maupun swasta seperti Lembaga Perlindungan Anak yang ada di tingkat Kabupaten/Kota, Yayasan Lentera Anak, FCTC (Framework
Convention on Tobacco Control) Untuk Indonesia, dan lainnya. Akan lebih baik lagi
jika komunitas juga berjejaring dengan media baik cetak, elektronik (radio dan
televisi), dan daring.
·
Mengembangkan media edukasi dan kampanye
menggunakan beragam media. Konten dan desain edukasi dan kampanye disesuaikan
dengan kelompok sasaran berdasarkan usia. Semisal edutainment untuk
sasaran anak dan remaja.
Peer Group Remaja Tanpa Rokok. Strategi
ini —mendorong keberadaan kelompok teman sebaya atau peer group—
bukanlah hal baru. Ada peer group anak dan remaja yang terbentuk secara
alamiah dan lebih serupa dengan geng, namun ada juga yang dibentuk dengan
sengaja untuk tujuan tertentu. Peer group yang kita bahas di sini bertujuan
untuk menumbuhkan kesadaran bersama untuk bebas dari darurat perokok anak. Peran orang dewasa
(inisiator) lebih sebagai pendamping dan memastikan kelompok berlangsung
dinamis.
Peer group ini bisa dibentuk di lingkungan terdekat anak/remaja,
misalnya RT/RW/Desa dan juga sekolah. Kelengkapan peer group tidak jauh
berbeda dengan komunitas keluarga di atas.
Memastikan isu “hidup tanpa rokok” sebagai
salah satu bahasan penting di kelompok dan forum anak (yang
telah ada) sebagaimana isu “sehat dan produktif tanpa narkoba”. Terlebih sebagaimana yang
kita ketahui, kebiasaan merokok dapat memicu anak pada kebiasaan lebih lanjut,
yaitu minum minuman keras dan kecanduan narkoba.
Seiring dengan upaya terciptanya Kabupaten/Kota Layak Anak,
keberadaan forum-forum anak menjadi keharusan untuk memastikan partisipasi anak
dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak, salah satunya adalah hak hidup dalam
lingkungan tumbuh kembang yang sehat dan aman.
Gerakan literasi untuk anak dan
remaja bertema Sehat, Bahagia, dan Sukses Tanpa Rokok.
Sebagaimana beberapa lembaga (seperti KPK, Ditjen Pajak, dan lembaga-lembaga lainnya)
telah berupaya untuk menghadirkan bacaan-bacaan anak yang mengusung isu-isu khusus
seperti anti korupsi, pentingnya pajak, dan lainnya, bekerjasama dengan lembaga
literasi, para penulis cerita anak, dan ilustrator profesional.
![]() |
| Komunitas menjadi kekuatan penting dan kuat untuk melakukan perubahan perilaku. |
| | Desain ilustrasi menggunakan Canva. |
Gagasan-gagasan di atas memang tidak bisa dianggap hal yang baru,
karena beberapa sudah pernah terbentuk dan mengalami pasang surut. Maka,
tulisan ini merupakan harapan yang besar dan pemantik untuk melakukan
revitalisasi pada kelompok-kelompok yang bersinggungan langsung dengan anak dan
keluarga. Sebagaimana upaya perubahan perilaku lainnya yang memerlukan waktu
lama, demikian pula yang akan terjadi pada perokok anak, terlebih juga
diperlukan rehabilitasi bagi mereka yang pasti memerlukan dana besar karena
harus dilakukan oleh lembaga profesional yang ditunjuk, juga perlu dukungan
keluarga yang berkomitmen menjadi “keluarga sehat dan bahagia tanpa rokok”.
[1]
Sumber https://www.merdeka.com/peristiwa/ilham-usia-8-tahun-2-pak-rokok-5-gelas-kopi-sehari.html,
diakses 2 Agustus 2022; 16.00 WIB.
[2]
Sumber https://www.suara.com/news/2014/03/30/112625/ilham-bocah-10-tahun-itu-kembali-kecanduan-rokok,
diakses 2 Agustus 2022; 16:15 WIB.
[3]
Sumber https://sukabumiupdate.com/posts/59390/dipasung-hingga-dikandang-domba-kabar-terkini-ilham-bocah-perokok-asal-karawang-sukabumi,
diakses 2 Agustus 2022; 16:32 WIB.
[4]
Sumber: https://www.kemkes.go.id/article/view/22073000001/perokok-anak-masih-banyak-revisi-pp-tembakau-diperlukan.html,
diakses 1 Agustus 2022; 07:34 WIB.
[5]
Sumber: https://hellosehat.com/hidup-sehat/berhenti-merokok/bahaya-vape/,
diakses 4 Agustus 2022; 13:22 WIB.
[6]
Sumber: https://www.lenteraanak.org/content/berita_terkini/darurat_perokok_anak_serbuan_iklan_rokok_dan_regulasi_yang_lemah,
diakses 1 Agustus 2022; 07:09 WIB.






