Seita… Terima Kasih!

Seita, anak Sekolah Menengah, berusaha bertahan untuk bisa melindungi adik perempuan satu-satunya, Setsuko yang masik berusia sekitar 5 tahun. Invasi Amerika ke Jepang pada perang dunia ke-2 telah meluluhlantakkan kediaman mereka. Tidak lagi tersisa jejak bahwa keduanya adalah anak orang berada, dari seorang ayah yang bekerja di Angkatan Laut Jepang. Ibunya pun harus meregang nyawa dan akhirnya meninggal akibat serangan udara saat itu.

Seita dengan penuh kasih sayang menjaga dan melindungi adiknya, membuat Setsuko selalu senang, bahagia dan nyaman. (Foto dari google)

Seita berusaha menutupi kematian ibunya dari Setsuko. Ia tak ingin adiknya berduka dan kehilangan kegembiraan. Seita selalu menjanjikan, nanti jika ibu sudah membaik, mereka akan mengunjunginya. Itu sangat menggembirakan Setsuko. Namun, tanpa sepengetahuan Seita, bibinya yang tidak menyukai keberadaan mereka di rumah bibinya, memberitahu Setsuko, kalau ibu mereka sudah meninggal. Ya, setelah kematian ibunya, mereka berdua tinggal bersama bibi mereka. Perang menjadi alasan mengapa bibi mereka sangat keberatan merawat mereka, hingga terpaksa peninggalan ibu Seita yang masih dipertahankan, akhirnya dilepaskan untuk membeli makanan pokok, atas desakan bibinya.

Seita mengetahui kalau adiknya telah tahu jika mereka piatu adalah saat Setsuko menguburkan kunang-kunang yang mati, setelah semalaman kunang-kunang ini menerangi tempat tidurnya di dalam gua di pinggir sebuah danau. Seita hancur hatinya. Kesedihan Setsuko adalah duka mendalam baginya. Padahal Seita memutuskan untuk meninggalkan rumah bibinya untuk menjaga agar adiknya tidak mendengar kata-kata yang menyakitkan, sehingga mereka tetap bisa bergembira dalam kondisi perang dan piatu.

Bahkan poster film ini dengan apik menggambarkan daya hangat ikatan antara kedua, Seita yang penuh kasih sayang, tanggung jawab dan keinginan besar untuk melindungi adiknya. Meskipun dalam benak anak kecil pasti ada rasa gentar berada di tempat rawan serangan udara. (Foto dari google)

Tanpa pekerjaan, Seita yang masih belia hanya mengandalkan tabungan ibunya. Tapi untuk ke kota, jaranya cukup jauh. Ia tidak tega meninggalkan adiknya. Sehingga untuk bertahan hidup, rela Seita mencuri hasil kebon warga hingga sempat ditangkap polisi. Dan saat terjadi serangan udara, saat para warga meninggalkan rumah, Seita justru memasuki rumah-rumah yang kosong penghuni untuk mencuri. Namun pada akhirnya ia dihadapkan pada kenyataan, sebagaimana yang diucapkan Seita saat melepas jenazah adiknya, sebelum dikremasi, permintaan maaf karena ternyata ia tak cukup baik untuk melindungi adik satu-satunya.

Cerita mengharukan yang ditulis Akiyuki Nosaka, Grave of The Fireflies, disajikan dalam bentuk anime oleh Isao Takahata tahun 1988. Alurnya cukup sederhana dan pelan, namun mampu menghadirkan momentum-momentum hangat sekaligus perih dari kehidupan sepasang anak yang piatu, meskipun pemirsa sudah dengan mudah menduga kalau mereka juga yatim, pada akhirnya. Film ini sudah dibuat dalam bentuk live-action juga pada tahun 2005 dengan judul yang sama. Namun bagi saya, sajian dalam bentuk animasi (durasi kurang dari 1,5 jam) ini lebih menarik dan menyentuh dibanding format life-action yang durasinya sekitar 2,5 jam.

Serangga ini sangat membantu mereka mendapatkan penerangan di dalam ruang gua yang gulita, mesti umur kumbang bercahaya ini sangatlah pendek. Setsuko antara senang dan sedih. (Foto dari google)

Berulang kali Setsuko kecil ini mengucapkan terima kasih kepada kakaknya, menghenyakkan sang kakak hingga kehilangan kata untuk mengimbanginya. Setsuko tahu, tanpa kakaknya banyak hal yang tak dapat dinikmati dalam situasi ini, situasi yang berbeda dibanding saat perang belum pecah. Ucapan itu bahkan masih Setsuko ucapkan ketika menjelang kematiannya.

“Mengapa kunang-kunang cepat sekali mati, kak?” pertanyaan Setsuko ketika menguburkan kunang-kunang bisa bermakna simbolik untuk kehidupan mereka berdua. Perang lebih menjanjikan hal ini kepada banyak keluarga dan kehidupan anak-anak.

Tak ada jawaban dari Seita. Sepertinya, jawabannya disampaikan secara simbolik oleh Akiyuki, yaitu kehidupan kedua anak ini yang bak kunang-kunang. Kehidupan yang tak selayaknya akhirnya merenggut mereka di usia yang sangat belia.

Film ini sebenarnya bagus untuk ditonton anak-anak, sebagaimana film Iran berjudul Children of Heaven (tahun 1998) yang mengambil sisi perjuangan dan kepahitan hidup anak-anak seusia mereka. Anak-anak akan melihat ada bagian hidup yang tak semuanya menyenangkan. Mengenali kesedihan dan semangat berjuang untuk sesuatu, adalah salah satu bagian dari menanamkan kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial.

Recommended!

[***]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *