Allah itu tak akan berubah sepanjang waktu, demikian juga sumpahnya terhdap
waktu, “Demi waktu” akan pula abadi. Sepanjang waktu pula, meski tak kita
sadari, perubahan selalu terjadi, dan yang tak bisa dipungkiri adalah jasad
yang kian beranjak menua.
Ketika
K13 digulirkan, banyak guru dan orangtua yang terbebani dengan perubahan,
dengan berat hati berubah, namun ada yang menolaknya dan tetap ingin
mempertahankan cara lama. Tapi kita tak menolak pebhan-perubahan kebiasaan,
budaya, tradisi, bahkan di dalam keluarga kita melalui perilaku pemanfaatan
teknologi. Ya semisal kalau sebelum demam gawai dalam keluarga, anggota
keluarga masih sering ngobrol bareng, saling menatap hangat dan menceritakan
pengalaman keseharian, sekarang kebiasaan itu menyusut bahkan hilang, dan
berubah bercerita di linimassa.
Tak ada
yang permanen kecuali perubahan.
~Heraclitus
(filosof Yunani)~
baru saat ini semakin cepat bermunculan, hadir sebagai peluang sekaligus
tantangan. Dalam peluang selalu ada tantangan, pun dalam tantangan juga
terselip peluang. Secara alamiah, kecenderung setiap orang akan berpihak pada “peluang”,
dan berpikir sekian kali terhadap “tantangan”. Bahkan mendengar kata “tantangan”
saja yang muncul dalam pikiran adalah deretan “penghambat” yang tervisualisasi
sebagai batu besar, dinding, bahkan gunung. Respon mental pasti mengerut dan
mendadak melihat diri sedemikian kecil dan otomatis ada energi untuk menolak.
perubahan atau kemunculan hal-hal baru, yang oleh Heraclitus (filosof Yunani)
dituliskan “tak ada yang permanen kecuali perubahan”. Terhadap respon pada
perubahan, Charles Darwin (dokter dan ahli biologi Inggris) mencatatkan,“Bukanlah spesies yang paling kuat atau paling cerdas
yang mampu survive, tapi mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap
perubahan.”
“Bukanlah spesies yang paling kuat atau paling cerdas
yang mampu survive, tapi mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap
perubahan.”
~Charles Darwin (dokter dan ahli biologi Inggris)~
terus mencoba, maka itu pula yang sebenarnya harus kita lakukan. Hal-hal baru
atau perubahan-perubahan itu memang menempatkan kita sebagai “anak kecil” yang baru
memasuki dunia dan kehidupan baru. Dengan mencoba, kita akan menemukan cara
yang kemudian paling tepat, nyaman, aman, menyenangkan, menggairahkan,
menjalani hal baru itu. Bukan tidak mungkin kita bakal kecanduan, sebagaimana
kita kini kecanduan “bermain gawai”. Semakin sering menggunakan seiring waktu,
tanpa sadar kita tak bisa dilepaskan darinya.
manusia yang lebih literat? Akankah kita juga menolak waktu yang menunjukkan
eksistensi bahwa kita hidup?
