Omah Gajah: Batik dan Museum Desa

Menatapi bangunan ini dari depan, tak bisa ditolak menghadirkan aura kuno dengan model bangunan berbeda dari yang sering kita temui saat ini (apalagi bangunan ala perumahan). Usia bangunan ini telah melebihi satu abad, sebagaimana angka yang tertera di dindig atap depan, 1916. Dibawahnya terdapat tulisan dan gambar 2 gajah yang saling berhadapan mengapit lubang angin-angin berjeruji besi. Karena gambar dua gajah itu, (mungkin) bangunan ini kemudian dikenal dengan sebutan Omah Gajah, karena tidak ada tulisan di bangunan itu yang menyebutnya Rumah Gajah.

Penampakan depan Omah Gajah. Tulisan “Selain Panitia dan Tamu Undangan Dilarang Masuk” menunjukkan bahwa ini foto terbaru yang diambil tim Pena Ananda Club (bagian dari panitia) pada hari Minggu, 24/2/2019, saat pelaksanaan Festival Permainan Rakyat.

Bangunan ini menjadi perhatian khusus pada hari Minggu (24/2/2019) lalu, bukan hanya bagi masyarakat sekitar Desa Simo, Kedungwaru, Tulungagung, tapi lebih luas hingga pemerintah RI melalui Direktorat Jendral Kebudayaan Kemdikbud RI. Dirjen Kebudayaan, bapak Hilmar Farid, selain memberikan apresiasi terhadap penyelenggaraan Festival Permainan Rakyat juga tampak sangat menikmati dan apresiatif pada sajian di Omah Gajah, diantaranya adalah produk-produk batik tulis yang menunjukkan citra dari Omah Gajah.

Tradisi batik tulis masih ada di beberapa desa di Kecamatan Kedungwaru, termasuk Simo dan Majan. (Foto Dok. Pena Ananda club)

Sebagaimana hasil penelusuran yang dilakukan IJIR (Institute for Javanese Islam Reasearch) jelang pelaksanaan Festival Permainan Rakyat, bangunan ini didirikan oleh pengusaha batik lokal (sumber lain menyebutnya Cina turunan) bernama bapak Arjokhoir pada tahun 1916. Saya tertarik dengan sumber (tidak teridentifikasi dengan baik) yang menyatakan bahwa pendirinya adalah Cina turunan. Jika melihat gambar 2 gajah, secara simbolik bermakna “kekuasaan”. Gambar simbolik smacam ini lebih banyak digunakan dalam tradisi Cina.

Perbincangan Dirjen Kebudayaan di Omah Gajah bersama stakeholder kecamatan, desa, yang juga disaksikan dari kabupaten dan propinsi, sebagaimana dirilis ketua panitia Kemah Budaya:

Omah
Gajah—spot yang digunakan Festival Permainan Tradisional didorong untuk ditetapkan
sebagai cagar budaya. Dirjen sudah memerintahkan BPJB Jatim untuk menampung
proses pengajuannya, akan tetapi prosedurnya harus tetap melalui Pemda
Tulungagung untuk mengeluarkan SK Tim Cagar Budaya. 

Dialog lintas stakeholder bersama Dirjen Kebudayaan Kemdikbud RI di Omah Gajah, Minggu, 24/2/2019. (Foto Dok. Pena Ananda Club)
Jika menjadi cagar budaya, akan semakin lengkap nilai kesejarahannya jika diintegrasi sebagai Museum Batik. Ada beberapa hal yang melandasi gagasan ini:

Pertama, pada malam sebelumnya di acara Dialog Kemah Kebangsaan, muncul wacana untuk lebih memperbanyak museum sebagai sumber pembelajaran pengethuan kesejarahan dan kebudayaan. Andreanto, salah satu peserta, yang menyampaikan kegelisahannya terkait minimnya fasilitas dan sumber yang disediakan untuk generasi muda, sehingga lebih banyak anak muda yang tak mengenali kesenian dan budaya lokal, nasional, tetapi acapkali dinilai miring ketika tidak dekat dengan kebudayaan sendiri.

Kedua, Omah Gajah didirikan oleh pengusaha batik. Maka sudah sewajarnya jejak itu tetap dapat dimunculkan di ruang ini. Sehingga pengunjung langsung mendapatkan kesan dan pesan dasar terkait Omah Gajah ketika memasuki areanya.

Ketiga, museum ini bisa menjadi salah satu sumber penghasilan desa, dikelola oleh BUMDes sehingga lebih menguatkan citra sebagai Desa Wisata Sejarah. Dengan demikian, Omah Gajah akan terjamin keterawatannya.

Momentum Festival Permainan Rakyat telah memberikan pesan yang sangat luar biasa bagi semua stakeholder mulai dari desa hingga pusat. Sekiranya dapat terwujud, maka akan semakin menguatkan pendidikan kita, terutama juga di jalur nonformal-informal.
Salam literasi.

2 thoughts on “Omah Gajah: Batik dan Museum Desa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *