Setelah bulan Desember 2018 lalu saya beserta 8 relawan Pena Ananda Club ke Klaten, tepatnya ke Desa Jimus, Kec. Polanharjo, untuk bersama merayakan Green Literacy Camp I (yang dikenal dengan Jimus Literacy Camp 2018), bulan Februari ini saya kembali ke Klaten. Kali ini ke Desa Ponggok, masih di Kecamatan Polanharjo, yang akan menjadi tuan rumah Green Literacy Camp II yang akan diselenggarakan tanggal 4 – 10 Juli 2019 yang akan datang.
![]() |
| Workshop Belajar Mendongeg yang diikuti 34 peserta dari unsur PKK dan PAUD/TK dengan semangat keberlanjutan untuk Ponggok Menggagas Omah Kojah. (Foto, Dok. Pena Ananda Club) |
Kedatangan saya kali ini untuk memenuhi undangan sahabat-sahabat panitia GLC ’19 untuk mengisi acara Pra GLC ’19, Workshop Belajar Mendongeng yang diagendakan tanggal 21 Februari. Tanggal 19 senja saya sampai di Klaten dan sungguh berbangga disambut ketua GLC ’19, mas Joko Winarno yang juga Direktur BUMDes Ponggok di Cafe Bara yang bersebelahan dengan stasiun Klaten.
Kali ini, peserta sudah teridentifikasi dan disiapkan sejak awal, yaitu ibu-ibu PKK dan guru PAUD/TK di Desa Ponggok. Kami menggunakan lokasi Pendopo Umbulsari yang dikenal bernama “Goeboege Mbah Moekinoe” yang terbuka dan sangat nyaman. Ada sekitar 34 ibu-ibu tergabung, selain panitia yang kesemuanya juga ibu-ibu, mengikuti workshop hari kedua ini (hari pertama tentang parenting milenial bersama mbak Maya Lestari). Saya terus berpikir bagaimana pun kegiatan hari ini harus ada tindak lanjut dengan semangat lokalitas untuk Nusantara dan keberlanjutan, sebagaimana spirit GLC yang mengusung tema “Menulis di Atas Air”.
Saya memulai dengan paparan yang saya nilai akan mengembalikan spirit mendongeng, yang merupakan budaya kuno sebelum aksara dikuasai dengan baik terutama oleh kelompok jelata. Budaya mendongeng juga digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang kemudian menjadi bagian dari kearifan lokal, nasehat dan petuah, bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga para orang dewasa. Peserta sepakat bahwa mendongeng, bercerita, sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pesan kepada pendengar, terutama anak-anak dalam peran peserta sebagai orangtua dan guru.
Usai ice breaking yang dipandu 2 relawan (Nisa dan Nikita) yang seru, dengan menulis di udara dengan anggota tubuh selain tangan, saya melanjutkan bagaimana membuat materi cerita sendiri dengan nilai-nilai potensi lokal. Sebagaimana yang publik ketahui, Ponggok memiliki kekayaan sumber air (umbul) yang luar biasa, dan telah dikelola sebagai pusat-pusat wisata yang mengubah kehidupan ekonomi warga. Lazimnya, kebiasaan yang menyertai peningkatan ekonomi adalah eksploitatif dan konsumtif dan kita berharap, kedua kebiasaan itu tidak tumbuh dan berkembang menjadi budaya yang dapat berpotensi mengancam keseimbangan dan kesinambungan kehidupan yang seimbang, termasuk potensi umbul dan air yang ada di Ponggok. Cerita-cerita yang diharapkan dicipta oleh para peserta dapat mencerminkan kekayaan Ponggok dan kecintaan anak-anak, warga, dan para penikmat (pengunjung wisata) terhadap potensi ini dengan menjaga dan memberdayakannya dengan benar.
Saya mengilustrasikan melalui contoh dongeng berjudul “Monster Sampah”. Ide kisah ini sebenarnya berasal dari para relawan Pena Ananda, namun saya olah sendiri dengan menyesuaikan potensi dan nuansa Ponggok. Dengan durasi sekitar 5 menit, kisah sang monster sampah yang hidup di aliran sungai dan si Dina terjadi. Kisah singkat ini menekankan untuk membuang sampah di tempat sampah, supaya aliran air dari umbul tetap bersih dan tidak menimbulkan bencana.
Sebelum makan siang, para peserta membagi dirinya ke dalam 7 kelompok. Masing-masing kelompok merumuskan cerita apa yang akan didongengkan. Pasti, sebagaimana yang disampaikan beberapa peserta, mengawali merumuskan cerita menjadi sebuah tantangan. Tapi akhirnya, tak ada kelompok yang tak menuntaskannya.
Beginilah suasana diskusi kelompok untuk mencipta kisah dan rancangan dongengnya:
Namun akhirnya 5 kelompok yang siap mempraktekkan dongeng dengan kisah seputar kekayaan dunia air. Menyimak kelima kisah ini, saya yakin sekali, masih banyak ide yang tersembunyi dan menanti untuk didudah dan disajikan kepada anak-anak, orangtua, dan masyarakat dalam bentuk cerita tutur. Jika terus dirangsang, maka kisah tutur ini akan kembali hidup subur, dan bukan tidak mungkin dikelola sebagai salah satu destinasi wisata, melengkapi yang sudah berkembang di Ponggok. Ya, ketika saya lontarkan gagasan Rumah Dongeng, ibu-ibu mengerutkan kening, tengok kanan-kiri, mungkin berpikir apa yang mungkin, bagaimana itu bentuknya. Sekilas saya bongkar ide mendadak ini, tentu dengan rancangan ibu-ibu peserta akan menjadi bagian penting (seperti: menjadi para pendongeng di ruang ini), akhirnya justru ibu-ibulah yang kemudian menghadirkan istilah “Omah Kojah” yang artinya sama dengan Rumah Dongeng dalam istilah lokal.
Bukan hanya itu. Bukan tidak mungkin pada acara GLC ’19 bulan Juli yang akan datang, para peserta ini akan memberikan tampilan dongeng yang sangat menarik bagi para tamu. Semoga….
Salam literasi….







