Character Building Dari Keluarga

(Catatan Tjut Zakiyah dari RNPK 2019)
Setelah melalui perjalanan yang unik, karena persoalan administrasi,
akhirnya saya bisa mengikuti Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan yang
diikuti oleh beberapa unsur meliputi dari pemerintah, dunia usaha dan industri,
dewan kesenian, organisasi profesi pendidikan dan kebudayaan, dan lainnya yang
total berjumlah 1232 sebagaimana yang disampaikan Sekjen Kemdikbud RI, Didik
Suhardi selaku ketua panitia.
Mendikbud RI saat menyampaikan pengarahan di hadapan 1240 peserta RNPK 2019 pada Senin (11/2/2019) malam di Gedung Garuda, Pusdiklat Pegawai Kemdikbud. (Foto: Dok. Panitia RNPK 2019)

Pembukaan secara resmi baru akan dilaksanakan hari ini oleh Presiden RI
pukul 10.30. Namun sejak kemari sore telah dilakukan soft opening Pameran RNPK
2019. Karena registrasi ulang saya sempat tertahan 4 jam, sehingga sore itu
cukup melelahkan bagi saya, saya melewatkan mengelilingi sekitar 70 stan hasil
kurasi tim internal dan eksternal Kemdikbud. Bahkan sebagaimana dilaporkan
Didik Suhardi, diluar itu masih banyak sekali yang memenuhi standart
kualifikasi, namun karena keterbatasan ruang yang ada, maka tak semua dapat
diakomodir dalam pameran.

Saya baru mengikuti acara pada malam hari, arahan teknis dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan sidang pleno pertama yang membahas tentang UN
dan PPDB. Banyak pernyataan dalam paparan Mendikbud dan narasumber di sidang
pleno yang sangat menggelitik saya untuk membuat catatan-catatan kecil.
Diantaranya ketika menteri sekilas mengluas tentang peran utama keluarga yang
kemudian menjadi landasan dalam beragam kebijakan, dan diantaranya menimbulkan
polemik di kalangan pendidik dan pengamat pendidikan.
Siapapun sepakat kalau keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi
anak. Peran itu kembali ditegaskan menteri tak dapat digantikan baik oleh
sekolah maupun masyarakat. Sementara, fenomena yang terjadi adalah banyak
sekali orangtua yang cukup ambisius memasukkan anaknya ke boarding school,
tentu dengan harapan lebih banyak mendapatkan ilmu pengetahuan dan juga
penguatan karakter positif, daripada waktu diluar sekolah yang diluar kemampuan
kontrol orangtua. Pandangan orangtua yang demikian tak bisa seratus persen
salah, namun menurut Mendikbud, bagi keluarga-keluarga “baik-baik”, dalam arti
memiliki tradisi nilai-nilai baik di keluarga, akan lebih baik kalau anak-anak
menghabiskan banyak waktu bersama keluarga. Beliau sangat menganjurkan untuk
tidak memasukkan anak-anak ini ke boarding school, agar lebih banyak mewarisi tradisi
baik keluarga dengan banyak waktu pula yang dilalui bersama keluarga.
Mendikbud mengilustrasikan bahwa setiap anak akan melewati 3 jenjang
pendidikan dalam kehidupannya: keluarga sebagai tempat pembentukan sikap dan
karakter, sekolah sebagai tempat transfer pengetahuan, dan masyarakat untuk
mengembangkan ketrampilan. Tentu saja satu sama lain saling berinterseksi,
namun demikian yang tersebut di atas memiliki porsi dominan yang sangat
menentukan.
Meski demikian, setiap orangtua memiliki pertimbangan yang berbeda
untuk anak-anak mereka. Menurut saya secara pribadi, selama pertimbangan itu
telah melibatkan pendapat dan suara anak, serta denga orientasi terbaik bagi
anak, ini adalah pilihan yang lebih baik dari lainnya, maka keputusan menyekolahkan
di boarding school atau reguler dapat ditetapkan. Tentu masing-masing dengan
konsekuensi dan kadarnya masing-masing. Namun setidaknya, apa yang disampaikan
Mendikbud kembali mengingatkan kita kembali tentang esensi dan peran utama orangtua
da keluarga.
Pusdiklat Pegawai Kemdikbud,
Selasa, 12/2/2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *