Literasi Finansial Usik Perubahan Diri

Pertengahan
Februari, saya disadarkan oleh keadaan bahwa saya harus berubah. Ya… harus
berubah jika tak ingin membebani anak-anak saya dan tak meninggalkan warisan
apa-apa untuk mereka. Padahal, Allah dengan keras mengingatkan agar kita
sebagai orangtua jangan meninggalkan generasi yang lemah, meskipun ayat ini
diurai menjadi beragam makna.
Saya
sadar diri, kecintaan saya terhadap literasi dan semangat sosial saya selalu
menjadi tameng penolakan bagi saya ketika peluang-peluang untuk mengembangkan
diri lebih cerdas secara finansial berseliweran di hadapan saya. Saya katakan “tak
perlu”, “begini sudah cukup”, “lebih baik kaya amal dari pada kaya harta dan
lupa diri”, dst. Nyatanya, saya masih sering berada dalam kondisi kritis secara
ekonomi, apalagi bertanggungjawab terhadap 3 anak.
Perubahan itu sesuatu yang pasti terjadi.

Begitulah
hingga saya merasakan kondisi kesehatan yang semakin menurun. Kepada siapa saya
harus mengadu dan menyandarkan diri? Tuhan dan pasrah? Sementara anak-anak
semua masih dalam masa pendidikan.

Entah,
berapa waktu yang saya punya, saya harus berubah. Tepat 2 hari setelah milad
saya yang jelang setengah abad, saya memutuskan untuk belajar kecerdasan
finansial. Tidak menggunakan otot yang semakin melemah untuk bekerja
menghasilkan uang, tetapi bagaimana uang yang bekerja untuk saya. Bagaimana
mungkin sementara saat ini tipis sekali rupiah ada di dompet saya.
Begitulah.
Akhirnya proses belajar saya lalui. Satu demi satu saya saya menjalani
perubahan, menjalani wilayah baru dengan tetap memegang teguh cita-cita Pena
Ananda. Tahun ini, GEBYAR LITERASI SEKOLAH harus terlaksana di 100 sekolah. Itu
salah satunya. Dan saat kelak, perubahan saya ini telah mencapai hasil, maka
cita-cita lain inshaa Allah akan saya wujudkan selama hayat masih dikandung
badan.
Saya bermimpi bisa menyisihkan banyak uang untuk menerbitkan secara indie
(karena bakal rumit masuk ke mayor dan cari sponsor):

1. Karya anak² marjinal (pesisir, pegunungan, pelosok);
2. Karya anak² yatim;
3. Karya anak² dengan kehidupan khusus (anak BMI, yang hidup di lingkungan
prostitusi);
4. Perempuan dengan kebutuhan khusus (KDRT, dll);




Lalu hasil penjualannya diserahkan ke penulis²nya sbg apresiasi dan tabungan.
Pasti nominal yang mereka terima jauh lebih besar daripada dana penerbitan yg
harus saya keluarkan.
Pasti luka² batin mereka tereduksi setelah menulis.
Pasti rasa percaya diri mereka tumbuh setelah karyanya diapresiasi dalam
penerbitan dan dibaca banyak orang.
Pasti ada beberapa pembaca karya mereka yang peduli dan mengambil langkah sama
seperti yg saya lakukan, atau lebih baik dari yg saya lakukan.

Sungguh snowball effect kemanfaatannya.

Begitulah perubahan yang saya alami sebulan terakhir. Dengan
perubahan ini, saya harap mereduksi segala bentuk keluh kesah, yang dhahir
maupun batin, dan semakin bertambah dalam kesempatan beramal (meskipun tak
harus menunggu mampu untuk beramal) dan berlipat-lipat bersyukur.
Mengapa saya kisahkan? Karena saya tak pernah berfikir
sedikit pun bakal mengalami perubahan ini, bakal menekuni jalur ini, bakal
membincangkan topik yang semula asing bagi saya. Terlebih, perubahan di usia
yang tak lagi muda itu memang sesuatu banget. Semua fakta perubahan ini membuat
saya menerima cap sebagai “ANEH”, “GILA”, dan “MBELGEDHES”. Tapi… saya sangat
menikmatinya sampai sekarang.
Semangat pagi, kawan….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *