MENULIS BAGI ANAK DI ERA DIGITAL

Dua kali saya hadir dalam forum Literasi Digital. Pertama, bersama dengan PP IPPNU,
Kemenkominfo, dan PANDI di Festival Literasi Digital Pelajar 2018 yang dilaksanakan
di Aula PCNU Tulungagung, Minggu, 25/2, yang dihadiri seratus lebih perwakilan
PAC IPNU-IPPNU se Tulungagung dan umum.

Menulis bagi anak di era digital. Komunitas Penulis Pelajar, Meykarsa Saba, SMPN 1 Bandung Tulungagung saat menulis dan menyunting tulisannya di Pelatihan Gebyar Literasi Sekolah bersama Pena Ananda Club, 11-14 Desember 2017.

Kedua,
bersama dengan ICT Watch dan RTIK Kediri di ToT Literasi Digital Indonesia yang
dilaksanakan kemarin Selasa (27/2) di Rumah Makan Lombok Ijo Kediri. Forum
kedua ini dihadiri lintas stakeholder, diantaranya Dinas Kominfo, Dinas
Perpustakaan Daerah, Dinas Pendidikan, pustakawan sekolah dan perguruan tinggi,
Taman Bacaan Masyarakat (TBM), mahasiswa, media (koran dan radio).

Siapapun bisa menjalankan peran kerelawanan, terutama kampanye, edukasi, peningkatan kapasitas diri, tanpa harus bergabung dengan Relawan TIK. Namun dengan bergabung langkah dan peran kerelawanan menjai sangat kuat dalam sebuah gerakan bersama. Festival Literasi Digital Pelajar, PP IPPNU, Minggu (25/2/2018).

Sesi tanya jawab di ToT Literasi Digital Indonesia yang diselenggarakan ICT Watch dan RTIK Kediri, Selasa (27/2/2018)
Dua forum ini sangat luar biasa dinamis dengan dialog,
diskusi, pertanyaan-jawaban-pendapat yang bernas. Dinamika ini semakin
menguatkan betapa pentingnya literasi digital di tengah kondisi gegar digital
yang disebabkan literasi tradisional (membaca, menulis, mendengar, berbicara)
yang masih lemah. Kalau dikatakan budaya lesan kita yang dominan, belum serta
merta menunjukkan kualitas konten.
Topik terhangat di literasi digital adalah konten-konten
buruk (hoax, hate speach, bullying, foto
dan video kekerasan, kecelakaan, bullying,
dll) yang meluas melalui dunia maya, yang itu dibaca bahkan mungkin disebarkan
oleh anak-aak (penduduk berusia dibawah 18 tahun). Jika anak-anak sebagai
pembaca, penonton, maka mereka terpapar dan berpotensi terpenetrasi dan
membentuk karakter dan kebiasaan. Jika anak-anak sebagai penyebar, sudah
menjadi indikator yang patut diwaspadai dan diambil langkah penghentian hingga
rehabilitasi.
Di akhir sesi di kedua forum itu, saya sampaikan, ditengah upaya
penggencaran literasi digital, agar tetap memberi perhatian lebih pada literasi
tradisional
yang merupakan fondasi sangat penting bagi anak-anak untuk
mengenal konten-konten baik, menyampaikan-menyiarkan-menciptakan konten-konten
baik, proses berpikir kritis, mampu menempatkan gawai dan internet sebagai alat
bukan tujuan. Salah satunya dengan menggiatkan menulis.
Menulis bisa menjadi roadmap
serapan anak-anak terhadap perjalanan kehidupannya. Pengalamannya bergaul
dengan orang-orang di sekitarnya (orangtua, keluarga besar, guru, teman
sepermainan), menonton tayangan (tv, film layar lebar, youtube), games elektronik
(offline maupun online). Tentu saja, menuliskan hal ini harus dibawah bimbingan
untuk bisa mengeksplorasi secara bebas dan mendalam. Tidak sedikit orangtua dan
guru yang dibuat terkejut dengan tulisan yang merupakan suara terdalam
anak-anak. Tak sedikit pula orangtua dan guru yang tak mengetahui kalau
putra-putri mereka memainkan game,
menonton tayangan yang tak layak untuk usianya.
Menulis adalah membuka kotak pandora yang selama ini anak-anak
simpan secara rapat. Mereka tak bisa membincangkannya dengan orang dewasa (termasuk
orangtua) karena beberapa alasan: takut dimarahi lalu diberi banyak larangan
dan sanksi, tak bisa sefrekuensi (istilah anak-anak “gak nyambung”), tak peduli
yang penting mereka tidak mengganggu dan menyela waktu orang dewasa. Dengan
membaca tulisan anak-anak, kita juga akan tahu apa yang hendak mereka lakukan dengan
dunia digital yang saban hari disentuhnya. Membiasakan mereka menulis terlatih
(minimal 5-15 menit setiap hari tanpa jea), akan menanamkan dalam alam bawah
sadar mereka cara yang paling aman, nyaman, menarik, untuk mengeluarkan apa
yang tersimpan dalam pikiran dan hati mereka secara tertata apik dan santun.
Sehingga diharapkan ketika mereka melakukan hal yang sama di dunia maya, mereka
akan menyebarkan konten-konten yang positif, dan alam bawah sadar akan menolak
membaca, melihat, menonton konten-konten negatif. [**]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *