sahabat literat Gerakan Literasi Tulungagung.
ya…
fantastik sekali, NGOPI LITERASI #1
kami bertiga (saya, Riyanto, dan Herlina) tetap melangsungkan “ngobrol dan
ngolah pikir” seputar literasi. Tidak hanya saat saya merilis wara-wara NGOPI LITERASI #1, bahkan kami bertiga
pun merembugkan tentang perlu tidaknya tema dalam setiap NGOPI LITERASI.
Yang namanya ngopi sih dalam bayangan saya cukup
santai tapi ya serius, ngobrol ngalor ngidul dalam koridor literasi. Sersan, serius dan santai. Saling
curhat, sampai kita menemukan topik paling menarik dari curhatan tadi untuk
kita bahas mendalam.
kami bertiga, sampailah terbetik topik yang cukup menarik, dan tampaknya masih
jarang menjadi topik bahasan (atau kami bertiga yang belum tahu ya?), yaitu:
wilayah pendidikan formal, dan bagaimana menginisiasi literasi sebagai salah
satu alternatif solusi dalam meminimalisir stigma dan diskriminasi.
adalah bagian yang saling kami curhatkan, berdasarkan pengalaman dan
pengamatan. Jangan ditanya bagaimana memulai percakapanya. Yaaa… seperti
layaknya ngopi, pasti kenalan dulu, ngomongin kok yang datang hanya berdua, susahnya
mengajak orang lain untuk rembugan (ogah mikir berat-berat), hingga sampai pada
kerumitan memahami literasi sampai pada pengalaman-pengalaman praktik yang tak
semuanya semulus konsep dan teori.
tambahi beberapa fakta yang saya dapatkan dari media ya):
ini diperseksi dengan Gerakan Literasi
Sekolah (GLS) dan pendidikan nonformal-informal dengan keutuhan Gerakan Literasi Nasional (GLN), dimana
GLS menjadi bagian dari GLN. Isu literasi yang seksi dibicarakan ini rupanya
tak terlalu cantik untuk diterapkan di semua lini, baik formal maupun
nonformal-informal. Berbicara kendala memang tak akan ada habisnya, bahkan
disinyalir menjadi salah satu cara untuk lari dari tanggung jawab bersama.
bertiga setidaknya menemukan, bahwa literasi dengan pilihan yang tepat bisa
menjadi alternatif membangkitkan rasa percaya diri pada pelajar dan sekolah
yang terstigma sebagai “pelajar
pas-pasan” dan “sekolah buangan”.
merujukkan sekolah-sekolah diluar itu sebagai non favorit, bahkan ada istilah “sekolah buangan” untuk beberapa
sekolah. Sekolah yang tersebut terakir biasanya memiliki ciri: semuanya
serba pas-pasan kalau gak disebut minus.
memberi predikat itu hingga kemudian menjadi stigma, bahkan kalau mau jujur, tidak akan ada orangtua dan anak
yang mau daftar ke sekolah dengan predikat itu? Tapi apa mau dikata, daripada
tidak sekolah, hanya sekolah itulah yang mau menerimanya sebagai siswa. Stigma
itu tanpa masyarakat sadari sangat membekas menjadi cap bukan hanya pada
sekolah tapi juga pada siswa-siswanya. Tidak hanya itu, tetapi guru-guru pun
akhirnya lebih banyak “pas juga, yaitu pasrah” setelah
menghadapi banyak tantangan untuk memotivasi dan menghidupkan semangat belajar,
berprestasi, apalagi berkarya bagi siswa-siswanya.
budaya literasi disekolah tersebut, sungguh pertarungan yang luar biasa. Bukan
hanya persoalan tidak tersedianya buku bacaan yang memadai, tapi mendorong
siswa untuk membaca saja perlu energi berlipat. Ternyata diskusi menemukan, ada
satu aktivitas literasi yang bisa diterima siswa, yaitu “menonton film dan
mendiskusikannya”. Menurut saya, inilah solusi awalnya. Film sebagai pintu
untuk mengenali asikya literasi. Mendiskusikan film secara verbal, tanpa
aktivitas menulis (karena itu tantangan terbesar), sudah point untuk
menempatkan diri bukan sekedar konsumen film, menelan mentah tanpa menggunakan pisau
kritis kreatif.
merupakan gagasan saja, perlu uji coba sampai terumuskan pengalaman yang bisa
dibagikan ke sekolah-sekolah yang dilabel sama oleh masyarakat. Langkah
tersebut adalah:
Tonton 2-3 kali film dengan tema yang sama.
Film pertama, fasilitasi diskusi seputar film
tersebut. Sederhana saja, seputar pesan film yang tertangkap penonton, tentang
pemain, mungkin berbincang tentang pengambilan gambar, dsb yang ingin dibahas oleh siswa.
Pada film kedua, selain mendiskusikan film ke-2, juga mulai difasilitasi
membandingkan dengan film ke-1. Begitu juga dengan film ke-3, mulai
membandingkan dengan film ke-1 dan ke-2.
Tontonan ke-4 mulai pilih film yang ada
bukunya, misal “Ayat-Ayat Cinta”, “Harry Potter”, dsb. Fasilitasi mereka untuk
mengenali bahwa kisah yang tertulis dibuku banyak yang dialihmediakan menjadi
film. Pancing bahw setiap pengalihmediaan selalu menghasilkan film yang tak
sama persis dengan cerita dalam buku. Tanyakan: ada yang ingin membaca bukunya?
Jika tak ada, jangan berkecil hati.
Lakukan nobar ke-5 hingga ke-sekian, yang kini
berbasis alihmedia dari buku.
Siswa dan warga sekolah mulai tertarik dengan
kegiatan beraroma literasi, menemukan keasikan, karena itu aktivitas yang tak
jauh dari mereka. “Menonton Film” itu hanya salah satu pilihan saja, bisa
diubah sesuai dengan keminatan mayoritas siswa.
Mulai mengenalkan hubungan antara buku dan
keminatan mereka, bahwa buku sumber segalanya. Tentu disisipi motivasi bahwa
“kita tak hanya bisa sebagai konsumen, tapi perlahan beralih sebagai prosumer
(produsen dan customer)”.
panjang sekali ya tulisan saya, hehehe… Mohon dimaafkan.
menjadi bahan diskusi lebih lanjut. Jika ada yang bersedia menerapkan, mungkin
bulan Februari dapat mulai kita diskusikan hasil-hasilnya, dan kita resepkan
bersama sebagai *_”resep cespleng bagi sekolah terstigma”_*.
nikmat banget NGOPI LITERASI #1 pagi
ini.
menginspirasi…
kami yang hadir pagi ini: Riyanto,
Herlina, Bunda Zaky.
literasi.
Zakiyah Anshari (Bunda Zakyzahra Tuga)
26/11/2017

Kereeen tulisan yang sangat menginspirasi
Makasih mbak Rully.
Yo melanjutkan NGOPI LITERASI…. hehehe