Ditengah hari santai saya (Senin adalah hari libur bagi saya), senyampang spirit nobar masih melekat dan menghangat, buru-buru saya menuliskannya. Satu tulisan sudah tuntas, kini tinggal saya menumpahkan segenap perjalanan nobar film IQRO’ di Tulungagung.
Awal Februari, sahabat lama saya, Buroqi Tarich, menghubungi melalui WA, menanyakan, bisa nggak mengoordinir nobar film IQRO’? Lalu dia menceritakan tentang film yang diproduksi oleh kawan-kawan Salman ITB, tepatnya Salman Film Academy. Respon spontan saya, ragu. Sulit membayangkan diri sanggup mengelola nobar ini mengingat tidak punya pengalaman sama sekali berhubungan dengan manajemen perbioskopan. Belum lagi mengoordinir calon penonton, meskipun sudah terbayang, kepada siapa saja saya akan menawarkan kemitraan. Terus terang, pengalaman saya mengajarkan tingkat resistensi yang tinggi dari lembaga-lembaga pendidikan (yang terbayang bakal menjadi mitra) di Tulungagung, sebagaimana saran Buroqi. Meskipun lembaga pendidikan swasta berbasis keislaman, tidak semuanya mudah sebagaimana harapan.
Setelah saya menonton cuplikan film ini di youtube, saya mulai share gagasan nobar ini ke beberapa teman, awalnya di WAG Relawan FBM 2017, dan no responses. Buroqi menyadari kegamangan saya. Maka dia menawarkan 3 tiket gratis untuk saya dan tim nobar di Mandala Malang, 19 Maret. Berangkatlah saya dengan Asakita dan om Endrita, bergabung bersama lebih dari 100 anak yatim dari Darul Jundi untuk nobar IQRO’. Dari sinilah, energi dan keberanian itu berkobar-kobar. “Harus bisa!” Kami bertiga bertekad bulat.
| Nobar film IQRO’ di Mandala Theater Malang. (Foto: EndritaAgung) |
Tim kecil terbentuk, mitra pertama (Yayasan Yatim Mandiri Tulungagung) tergandeng meskipun secara informal. Tugas pun mulai didistribusikan. Target pun mulai dicanangkan. 600 anak yatim dan dhu’afa. Rincian kebutuhan anggaran menempatkan angka 45 juta sebagai target normal untuk memenuhi kebutuhan tiket, cindera mata, snack, dan transportasi 600 anak, 30-35 pendamping, 10 (kali 2) relawan. Donasi itu harus tercukupi dalam tempo 2 minggu saja dengan awal rilis 30 Maret 2017. Semua dimulai dengan basmalah dan keyakinan, Allah pasti memudahkannya.
| Pertemuan pertama merencanakan nobar, Minggu (28/3) di Pena Ananda Club. (Foto: Asakita) |
Fundraising kami publikasikan beriklan di fanpage FB, bagikan lewat WAG, Google+, IG, dan tak luput surat-surat ke sejumlah SKPD dan pengusaha (terutama batik). Dan upaya pengumpulan donasi sebagaimana yang kami sampaikan lewat link blog resmi Pena Ananda Club.
Sampai tanggal 10 April pagi hari, masih terkumpul sektar 3 jutaan. Jujur, saya mulai khawatir. Maka secara pribadi saya putuskan untuk memublikasikan penggalangan dana ini ke personal. Sejak Senin (10/4) pagi sampai Rabu (12/4) saya memublikasikan ke setiap anggota WAG yang saya ikuti, satu demi satu, dari yang beranggotakan dibawah 100 sampai diatas 200, dari yang sudah tersimpan dan bernama di list friends saya sampai yang masih bertuliskan nomor saja, yang sudah kenal sampai yang belum kenal. Saya tidak peduli, toh niat saya baik. Kalau ada yang melaporkan saya sebagai penipu, penyebar spam, saya sudah siap. Bismillaah tawakalna billah… Hanya ini cara alternatif lainnya yang bisa saya pikirkan untuk bisa mencapai impian itu. Yang terbayang di benak saya adalah bagaimana tidak ada satu anak pun yang kecewa karena keteledoran kita.
| Meet up internal, Kamis, 13/4, memastikan seluruh data anak yatim sudah tidak ada perubahan, demikian juga pergerakan donasi untuk membiayai seluruh anak yatim yang terdata. (Foto: Asakita) |
| Meet up dengan pendamping anak yatim, Yayasan Yatim Mandiri dan Panti Asuhan, Jum”at (14/4). (Foto: Tanaqiya) |
Di sisi lain, saya meminta semua tim pendata untuk tidak melewatkan satu anak pun dalam pendataan. Data harus masuk ke database Pena Ananda Club untuk dipastikan tidak ada rangkap data (yang berdampak adanya kursi yang sudah dibeli menjadi kosong, mubadzir). Karena jumlah sedemikian banyak, maka saya sejak awal membatasi waktu, data terakhir harus dimasukkan hari Rabu (12/4) dan kemudian saya undur menjadi Kamis (13/4) jam 12.00. Dengan tegas saya sampaikan, diluar waktu itu, data tidak diterima. Penegasan itu bukan tanpa alasan. Karena donasi yang terkumpul tidak sesuai target, maka plan B atau rencana darurat harus dihitung sesuai dengan data donasi dan anak yang terakhir. Penghitungan memerlukan waktu. Penataan snack dan transportasi demikian juga. Seandainya semua pihak memahami kekompleksan aktivitas ini, maka saya sangat yakin, semuanya akan legawa. Ning… ya begitulah, ada saja yang tutup mata dan telinga dan mengumbar kekecewaan.
Kamis sore, tim nobar meet up internal. Disambung meet up bersama mitra dan pendamping anak yatim pada hari Jum’at pagi. Dana untuk snack dan transportasi sangat jauh dari mencukupi. Tapi alhamdulillah, ada donasi 2 mobil dari pak Prih, dan 2 bus dari Dinas Perhubungan (tepat di hari terakhir persiapan). Yayasan Yatim Mandiri pun mengambil kebijakan: snack khusus untuk anak yatim disediakan Yayasan Yatim Mandiri, 50% dana transport dialihkan ke dana tiket dan cinderamata agar anak yang sudah terdata tetap dapat nobar. Kebijakan yang kemudian kami sepakati bersama, sama-sama ikhlas, sama-sama legawan. Semua anak-anak yang berdomisili dalam kecamatan kota atau tak jauh jaraknya dari Golden Thater, diputuskan mengupayakan transportasi sendiri. Dana transportasi yang terbatas akan diprioritaskan untuk antar jemput anak-anak yang domisilinya jauh.
| Lebih dari 270 penonton di Golden 1, hampir seluruhnya anak yatim. (Foto: EndritaAgung) |
| Golden 2 juga dipenuhi lebih dari 270 penonton, lebih dari separohnya adalah anak yatim. Ini suasana sebelum pemutaran, sambil menunggu seluruh penonton memasuki ruangan. (Foto: Asakita) |
Sebelumnya, pada hari Sabtu, nobar juga kami gelar untuk keluarga besar SDIT Nurul Fikri dan beberapa orangtua. SDIT Nurul Fikri adalah satu-satunya SDI dari 6 yang kami kirimi surat penawaran nobar. Anak-anak, guru dan orangtua juga tampak antusias luar biasa.
Begitu proses yang tidak sederhana, dan jika tak memahami pasti akan meninggalkan komentar “wong gitu aja kok susah“. Dan semua seni menuju nobar ini akhirnya menjadi gumpalan airmata dan buncahan rasa haru di hari Minggu menyaksikan semangat adik-adik dan pendamping nobar film IQRO’. Untuk menghapus rasa bimbang tentang pemanfaatan donasi, kami juga telah menyampaikannya melalui blog resmi Pena Ananda Club.
Semua perjalanan ini tak lepas dari sahabat-sahabat relawan Pena Ananda Club yang super keren, beib Yul yang membantu fundraising dengan kepiawaiannya, silaturrahimnya, kehangatannya, dan tentunya ketulusannya. Om Endrita yang piawai dalam mendesain flyer dan blogging. Rini yang dibuat puyeng dengan pendataan donasi serta data anak yatim dan dhu’afa dari Yatim Mandiri dan beberapa panti asuhan. Asakita yang mengurir hampir 50 surat ke Bupati, Wakil Bupati, Sekda, dan sejumlah SKPD. Nikita dan Niken yang harus memantau dan melaporkan pergerakan donasi. Anis dan Ika yang membantu di hari pelaksanaan, Minggu (16/4).
Bagi saya secara pribadi, nobar ini juga menjadi bagian dari gerakan literasi. Gerakan yang harus menggunakan beragam strategi dan pendekatan, kreativitas-kreativitas, dan melibatkan banyak pihak. Ini juga pembelajaran baru yang membuat saya semakin bersyukur. Dan mulai cemas, karena ada bibit-bibit ketagihan… hehehe
Salam hangat selalu.
Salam literasi.