Sore ini kembali saya bersama dengan anak-anak Sanggar Genius, kali ini di Kendalrejo, Durenan, Trenggalek. Ini perjalanan ke-8 yang sangat menyenangkan dan sangat memotivasi diri saya sendiri. Namun, sore ini saya mendapatkan pelajaran, sehingga saya harus merefleksi di sini.
| Bersama dengan anak-anak Sanggar Genius Kendalrejo dan guru pendampingnya, Bu Rini. Hari dimana saya belajar tentang terlalu percaya diri dan salah sasaran. (Foto: Asakita Ahmad) |
Biasanya, selama atau seusai sesi perkenalan, saya akan menyediakan cukup waktu untuk melakukan penggalian kedekatan aktivitas keseharian anak-anak. Dari hasil penggalian itu saya akan menentukan tema “belajar menulis untuk kali pertama” yang saya usung. Ide yang dekat dengan kehidupan mereka akan lebih mudah mereka ceritakan dibanding imajinasi, terutama jika mereka belum terbiasa “membaca”.
Sore tadi, sebenarnya mood saya juga sangat baik sekali. Ya, karena sebagai pendamping penulisan pada anak, kita harus punya mood yang sangat baik dan tidak boleh mudah terombang-ambing dengan kondisi pembelajaran atau diluar pembelajaran. Dan selama sesi pembelajaran, tidak ada perubahan mood.
Sore ini saya rasa telah melakukan kesalahan. Saya terlalu terburu-buru. Terlalu sempit waktu untuk memetakan hal terdekat dalam kehidupan keseharian mereka. Persoalannya karena justru saya terlalu yakin dengan ide yang telah saya siapkan secara matang sejak sebelum berangkat. Bahkan entah mengapa, ada kekhawatiran kalau tidak dengan tema ini, saya tidak akan bisa mengeksplorasi tema lainnya. Benar-benar saya bertanya pada diri sendiri, mengapa mendadak ada kekhawatiran yang tak biasa muncul di sesi pertama belajar menulis dengan anak-anak? Maka saya mengarahkan pada satu sesi pengalaman, yaitu pengalaman dalam mengaji, dengan asumsi itu adalah aktivitas keseharian yang hampir semua anak menjalaninya.
Saya baru menyadari, ketika ada Faiz yang ingin menulis kesukaannya bermain sepak bola, Zafin yang ingin menggambar pemandangan meski akhirnya menulis lagu, beberapa anak yang menuliskan nama saja. Meskipun saya juga menemukan Fiqqi, Wafiq, Nada, Fida yang benar-benar bercerita seputar pengalamannya mengaji.
Bagi anak-anak, banyak hal menarik yang mereka sukai dan selama ini mereka lakukan sehari-hari, seperti menjalani hobi dan dolanan bersama teman. Pengalaman-pengalaman itu pasti jauh lebih berkesan dibanding belajar dan mungkin juga mengaji bagi sebagian besar anak, karena bermain membuat hati mereka riang gembira, ada canda, tawa, tanpa perasaan terpaksa, meski terkadang diselingi perselisihan kecil antar teman. Mereka merasakan pengalaman-pengalaman baru yang kadangkala sensasional yang membuat mereka ketagihan. Pada pertemuan pertama sesi menulis, biasanya saya memilih topik ini sebagai sebuah pemanasan proses menulis.
Saat menyadari kesalahan saya, apa yang saya lakukan kemudian?
Setelah beberapa menit dalam ruang hening, akhirnya saya merangsang mereka dengan beberapa ide-ide yang sudah biasa saya lakukan jika bertemu di sesi pertama kelas menulis, dengan berusaha tidak merusak topik “belajar mengaji” mengingat beberapa anak sudah memulai proses menggali kenangan tentang “mengaji”. Tentu lebih sulit, karena akan berkonsekuensi mengganggu konsentrasi anak-anak yang sudah mulai menulis pengalaman mengajinya. Meskipun saya sadar, tidak harus semuanya berhasil menghancurkan kebekuan idenya. Bukankah ini sesi perkenalan dunia baru bagi mereka?
Ah… begitulah. Seorang pendamping seharusnya tetap menjadi teko kosong agar tidak salah sasaran. Saatnya terus belajar bersama dengan anak-anak.
Salam literasi.
Jum’at, 07/04/2017
#SanggarGenius
#DesaKendalrejo
#YayasanYatimMandiri
#TrenggalekMenulis
#KampungLiterasi
#GerakanLiterasiLokal
#GerakanIndonesiaMembaca
#GerakanIndonesiaMenulis
#RoadToFBM2017



Kerennn…. 😍
Belajar dari kesalahan…..