GUNUNG BUDHEG: PENDAKIAN LITERASI, LITERASI PENDAKIAN [1]

CATATAN SEORANG IBU SETENGAH ABAD
DARI PUNCAK GUNUNG BUDHEG
(340 mdpl, 1700 meter dari kaki gunung)
Bunda Zakyzahra Tuga
——————————————————-
Menaiki bukit Gunung Budheg yang dengan ketinggian 340 mdpl bagi seseorang yang belum pernah “membukit” apalagi “menggunung” merupakan sebuah tantangan yang sangat luar biasa. Paru-paru yang belum terlatih bagus, otot tubuh (bukan hanya kaki, tapi juga tangan dan seluruh bagian tubuh), dan yang paling penting adalah “otot mental”, pasti lebih memilih berada di lereng yang tak jauh dari kaki bukit sambil menikmati keindahan ciptaan Allah yang tiada akan pernah mampu tertandingi.
Saat perjalanan pulang, baru tahu, inilah track yang kami lalui di gelap malam semalam. Tali ini sangat membantu saya saat menanjak dan menurun, apalagi saya tak mengunakan syarat pendakian yang aman, termasuk seharusnya menggunakan minmal sandal gunung sedang saya hanya sandal jepit biasa. (Foto: Endrita Agung)


KITA BERHASIL…..

CITA-CITA KITA TERCAPAI…..
BANGOAN KAMPUNG LITERASI SUKSES…..
FESTIVAL BONOROWO MENULIS II GEMILANG…..
ALLAH BERSAMA KITA…..
Perasaan itu juga sesaat muncul pada malam itu, Minggu (26/2) pukul 01.30 ketika kantuk menyerang, sedang menuju puncak sudah kami putuskan spontan seusai pelepasan lampion perdamaian. Saya, Asakita Ahmad, Bikjam (teman Asakita), dan om Endrita Agung. Saat memutuskan itu, saya punya keyakinan karena bersama dengan 3 orang lelaki yang sudah pengalaman berulang kali mencapai puncak Gunung Budheg.
Kegalauan juga sempat menyerang ketika hendak naik, tak mendapati Asakita dan Bikjam (yang ternyata tidur di dekat gerbang masuk dekat pos utama). Om Endrita meyakinkan semua akan baik-baik, dan pasti akan bertemu dengan pendaki lain. Maka naiklah kami, dan ternyata benar, kami bertemu dengan 2 orang, Bakti dan Doni sat istirahat karena stamina Doni yang tidak terlalu fit, maka pendakian ini berlanjut lengkap 4 orang sebagaimana rencana semula.
5-6 kali kami berhenti, mengatur nafas. Selalu yang memutuskan jeda kalau tidak saya, ya Doni, dan kedua teman lainnya menuruti. Bakti menjadi pemandu, berada di paling depan dan mencarikan jalan, memberi informasi kondisi jalan yang akan kami jejak (licin, menanjak curam, dll), memberi sinyal aman jika ada tali untuk pegangan (terutama di track yang curam dan licin karena tanah liat tanpa kecikil apalagi sempit). Om Endrita di paling belakang yang memastikan kami semua (utamanya saya yang dibelakang Bakdti dan Doni yang didepan om Endrita langsung) baik-baik dan aman-aman saja. Bahkan dari om Endrita lah saya mendapatkan cerita tentang pendakian Doni, karena saya tak mungkin melihat ke belakang, tidak sebagaimana Bakti yang sering melihat ke belakang sambil mengarahkan lampu senternya, memastikan Doni sahabatnya aman-aman saja.
Dan…. ketika asampai di puncak utama (puncak dengan tower dan yoni replika), saya sangat bersyukur, lega, sambil berseru lirih diantara puluhan pendaki lain yang terpulas di pelataran kecil puncak Gunung Budheg….

Dan om Endrita hanya tersenyum sambil mengingatkan saya untuk menahan suara.
Kami berdua di titik ini, sementara Bakti dan Doni memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak kedua, puncak yang lebih tinggi, 10 menit dari puncak utama, sebagaimana beberapa pendaki lain yang kami kenal dan sempat menyapa kami berdua (komunitas KOMPAS, rombongan tamu dari Paris yang ditemani Bintang, anak-anak Komunitas Walikukun, dll)
Pendakian kecil ini memberikan refleksi yang sangat luar biasa bagi saya…. dalam dunia gerakan literasi…..
Pertama, Cita-cita dan impian setinggi apapun, hanya akan tercapai jika memiliki keyakinan untuk mencapainya.

Kedua, Keyakinan untuk mencapai ibarat pemandu utama, yang akan mempertemukan kita dengan potensi positif dan peluang dalam berbagai wujud, termasuk teman seperjuangan dan pertolongan.
Ketiga, Pengalaman orang lain adalah penguat keyakinan, meminimalisir keluputan yang potensi kita lakukan, menghemat banyak potenai (energi, waktu, dll). Tapi bagaimana pun juga, mendaki itu tetap harus dimulai dari kaki bukit. Kalaupun engkau punya helikopter yang bisa membantu meletakkanmu di tengah perjalanan bakan ke puncak tujuan, itu tak akan membuatmu disebut sebagai pendaki, sebagai “pejuang”. Jadi tetaplah mulai dari nol… from zero to hero…
Keempat, Silakan untuk jeda, atur nafas. Tapi saat kesempatan jeda itu, hindari kalimat keluhan, tetap tersenyum dan ungkapkan kalimat keyakinan, sembari ajak sahabat seperjalanan untuk rleks dengan candaan yang berisi spirit perjuangan. Inipun kita perlukan dalam gerakan literasi kita….
Kelima, Fokus. Jika memang sudah ada jejak jalan yang dilalui sebagian banyak orang, sebenarnya itu adalah cara yang paling mudah bagi kita untuk mencapai puncak. Terkadang kita akan menemukan percabangan jalan yang harus kita pilih. Kita tinggal fokus saja pada jalan yang sudah kita putuskan dan pilih, tanpa harus memikirkan “jika mengambil jalan lain tadi akan bagaimana ya”. Karena kita tak mungkin turun kembali untuk kemudian naik melalui jalur yang membuat kita penasaran.
Keenam, Pengalaman pertama itu penting sekali, dia akan menjadi kunci gerbang untuk menemukan kunci bilik-bilik kekayaan potensi lainnya. Jadi lakukan apa yang memang harus dilakukan untuk mencapai cita-cita, impian, tujuan, sesulit apapun jalan yang akan kita lalui.
Ketujuh, Semakin sulit jalan yang dilalui, akan menempa jiwa SPORTIVITAS, menghargai setiap anggota tim, bahkan para pendahulu yang sudah menunjukkan jalan secara pasti. Bagi seorang PEGIAT LITERASI dan PENULIS serta PENCIPTA KARYA apapun, SPORTIVITAS ini menjadi bahan baku penting dalam MENTALTAS BERKARYA, salah satunya MENJAUH SEJAUH-JAUHNYA DARI MENTAL PLAGIATOR dan PENCURI IDE, tetapi mengedepankan KOLABORASI dan SINERGI, utamanya dengan para penggagas, setidaknya mengakui, itu bukan asli darinya.
Kedelapan, Dalam perjalanan sangat mungkin akan bertemu teman seperjuangan yang dapat menjadi teman sinergi dan kolaborasi. Sangat mungkin pula menemukan bantuan-bantuan ibarat tali-tali yang kami temukan di track berbahaya sepanjang menuju puncak Gunung Budheg, manfaatkan jika memang sangat diperlukan. Saya melihat Bakti tidak terlalu membutuhkan tali ini, tidak sebagaimana saya dan Doni.


(bersambung)
#KemahBudaya #KemahBudayaTulungagung #FestivalGunungBudheg #KampungLiterasi #GerakanIndonesiaMembaca #TulungagungMembaca #TulungagungMenulis #PenaAnanda #Tulungagung #GunungBudheg #KomunitasWalikukun #RoadToFBM2017 #FestivalBonorowoMenulis #BangoanKampungLiterasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *