Nol Gadget, Mungkinkah?

Bisa dipastikan para orangtua muda saat ini memiliki minimal 1 gadget mobile. Belum lagi di rumah mereka, rata-rata memiliki televisi. Wajar jika bayi baru lahir pun, secara tidak sengaja sudah terpapar dengan gadget serta sajian-sajiannya. Dan ketika bayi-bayi ini mulai belajar motoriknya, tangannya bergerak meraih yang ada dihadapannya adalah gadget dalam genggaman ibu dan ayahnya. Saat pandanganya mulai belajar mengenali lingkungannya yang dilihatnya tayangan TV dan visual di smartphone. Mungkin saja mereka menyusu sedang ibunya sambil menonton TV atau beraktivitas dengan gadgetnya.

Para narasumber Semnar dan TFT Internet Baik, 1-3 November 2016 di Banyuwangi. (Foto: Siwi Sang)

Sebagai bunda yang digital immigrant dan sudah mulai ke taraf butuh berat (saya nggak bilang kecanduan ah), merasa geli kalau tangannya kosong dan jemarinya diam. Kalau dimasa saya masih jadi ibu muda dimana hanya ada pager (ketahuan jadul ah), dan rumah tanpa tivi, yang diraih ya buku. Kebetulan saat itu sudah punya serial EWOL (Early World of Learning) dari World Book. Tanpa kehadiran gadget, sebagai orangtua saya sering mencari-cari dan berusaha menemukan kegiatan yang menyenangkan (dan kreatif tentunya) untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak. Muncullah dolanan-dolanan aneh, cerita-cerita yang saya tulis sendiri (maklum, setelah berkeluarga terasa banget uang menjadi sangat berharga, dan sayang sekali, semua jejak itu harus lenyap ketika kembali ke Tulungagung).

Selain buku, saat ini pilihannya TV dan smartphone. Bahkan pilihan-pilihan terakhir terbilang sangat murah. Hanya dengan pulsa limapuluh ribu sebulan, pengguna smartphone dapat mengakses konten dalam jumlah banyak dan beragam. Sedang kalau dibelikan buku, hanya dapat 1-3 buku. Kalau kita intip infografis APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) 2016, diatas 90% pengguna internet Indonesia yang berjumlah 132,7 juta (usia diatas 10 tahun) memanfaatkannya untuk (secara berurutan) bermedia sosial, mendapatkan hiburan, mencari berita, pendidikan, komersial, layanan publik. Bagaimana dengan anak-anak dibawah usia 10 tahun yang tidak tersurvei oleh APJII?
Elemen visual yang dinamis dan menarik dari TV dan smartphone akan merangsang hormon Dopamin yang dapat merangsang kecanduan, bahkan dalam jumlah berlebih dapat memantik schizophrenia. Setidaknya ini menjawab rasa penasaran dari mana asal muasal anak-anak dengan mudah mengikuti tayangan TV dan game yang dikonsumsinya. Gadget terkadang juga menjadi pilihan para orangtua untuk membuat putra-putrinya tenang, anteng, diam, tidak merengek. Orangtua ada juga yang merasa senang melihat putra-putrinya eksresif senang, ceria, saat melihat tayangan TV atau di smartphone, bahkan tak merasa khawatir ketika putra-putrinya meniru ucapan, logat, sikap, perilaku, bahkan gerakan-gerakan yang menurut mereka sangat lucu. Kadangkala orangtua malah tertawa geli yang membuat anak-anak merasa lebih diperhatikan dan terangsang menalukan lagi dan lagi.

Kelas DIGITAL PARENTING yang dipandu oleh Yayasan Kita an Buah Hati (Foto: Siwi Sang)
Kelas DIGITAL LITERACY yang dipandu ICT Watch. (Foto: Siwi Sang)
Kelas DIGITAL CREATIVE yang dipandu KAKATU. (Foto: Siwi Sang)

Ketika narasumber seminar dan TFT Internet BAIK, Donny BU dan Hilman Al Madani menyarankan harusnya anak-anak usia balita harus “nol gadget”, dan baru boleh berkenalan dengan media sosial setelah usia 12 tahun, tentu memancing rasa gundah banyak peserta. Bagaimana bisa saran itu diterapkan? Itu artinya, sepanjang 5 tahun, orangtua tak boleh menunjukkan aktivitasnya dengan smartphone di hadapan anak-anak. Kalau dia punya kakak-kakak, maka para kakak juga harus mengikuti kesepakatan dan aturan “nol gadget”. Waduuuuh….. Belum lagi jika anak-anak sudah sekolah, meski dibuat cara dan kesepakatan tidak bermedsos di rumah, anak-anak dapat mengenalnya dari teman. Saat ini, tidak ada lingkungan yang benar-benar stiril dari gadget dan internet…..
Ya… kembali bahwa keputusan ini adalah pilihan. Jika memang berharap generasi digital native ini aman selama masa penting masa emas tumbuh kembangnya (golden years old), pilihan “nol gadget” tidak akan merugikan siapapun. Semua anggota keluarga kembali belajar untuk mengekang gebuan napsu, membuat ritme baru (berat diawal menjalankannya, pada akhirnya akan terbiasa), disiplin, toh mereka juga akan mengenal gadget dan internet pada masa yang tepat.
Tidak ada yang tidak mungkin selama niat dan komitmen kita kuat. [*****]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *