Sekitar setahun silam, beredar video viral seorang anak SD tidak bisa menghafal dengan tepat Pancasila. Saya yakin, hampir sebagian besar penonton video itu pasti terpingkal-pingkal. Tentunya bukan karena ketidakhafalan itu, melainkan ekspresi dan tampilan bocah polos yang berusaha susah payah untuk menyampaikan dengan benar terlihat lucu.
Pancasila hanya sekedar untuk dihafalkan? Dan hanya dengan cara seperti itukah anak-anak di negeri ini mengenal dan memahami Pancasila untuk menjadi Pancasilais? Saya yakin sepenuhnya, hampir sebagian besar pelaku kriminal dalam tahanan negara hafal Pancasila dengan baik. Dan saya yakin pula, mereka, dari anak-anak sampai kaki-nini yang tidak hafal Pancasila, lebih berperilaku dan bersikap Pancasiliais ketimbang mereka yang dibui.
Bagi saya, Pancasila itu bukan sekedar sila-sila didalam batok kepala. Bukan pula barisan kata dan kalimat yang dengan mudah diucap melalui kata dan suara. Tapi Pancasila adalah nilai, ruh, yang menyatu dalam nadi dan tumbuh berkembang menjadi pribadi dan karakter.
Saya juga tidak melihat bahwa antara satu sila dengan sila lain harus dipisah-pisahkan. Ketika seseorang melakukan perilaku A, berarti dia telah menunjukkan sila ke sekian. Tidak. Kelimanya adalah satu kesatuan yang utuh. Dan sikap ini dapat tercermin ketika seseorang berada dalam lingkungan sosial dan melakukan interaksi sosial.
 |
| Lintas komunitas duduk bersama berbagi pengalaman dan merumuskan aktivitas literasi yang telah, sedang, dan akan dilakukan di dalam komunitasnya, untuk internal dan eksternal. Talkshow Komunitas dan Gerakan Literasi ini bagian dari kegiatan FESTIVAL BONOROWO MENULIS 2015 yang dilaksanakan Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB, Tulungagung (9-11 Oktober 2015). |
Dalam ranah kehidupan yang luas, saya sangat tertarik melihat geliat kehidupan bersama dalam komunitas.
Hidup berkelompok dan memutuskan untuk menjadi sebuah komunitas adalah sebuah keniscayaan yang lahir dari kebutuhan, kepentingan, dan potensi bersama. Banyak sudah komunitas bertebaran di sekeliling kita. Semuanya memiliki kepedulian terhadap sesuatu yang spesifik. Komunitas literasi, komunitas sosial kemanusiaan yang selalu terpanggih jika ada orang yang kesusahan, miskin, bencana, komunitas seni dan budaya, komunitas lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Bahkan masing-masing jenis komunitas itu pun bisa terdiri dari lebih dari satu dengan mengembangkan ciri khas masing-masing komunitas. Contoh saja, komunitas penulis di Tulungagung ada lebih dari 2, selain Tri Wida (sastra Jawa) dan komunitas-komunitas yang dilahirkan oleh Pena Ananda Club.
Jelas saja ciri khas ini menunjukkan adanya perbedaan, baik dengan tujuan yang sama atau mungkin memang berbeda cita. Sikap saling menghargai, menghormati, menciptakan suasana nyaman bagi sekitar akan menjadi nilai lebih yang menimbulkan rasa simpati siapapun termasuk pihak-pihak dari luar komunitas. Tidak mudah, karena bisa jadi ciri yang dikembangkan satu kelompok bertentangan dengan kelompok lain, namun sejatinya masing-masing itu sama-sama dibutuhkan masyarakat, sama-sama akan memberi manfaat.
Sikap yang ditampakkan keluar, sesungguhnya juga merupakan kristalisasi sikap yang sama dan sudah dikembangkan secara internal di komunitas mereka sendiri. Apakah itu sikap saling menghargai menghormai, meringankan satu sama lain, menguatkan, berbagi dan belajar bersama, atau sebaliknya dari semua itu.
Di era digital yang semuanya berproses sedemikian cepat, pergesekan nilai berlangsung tanpa bisa dikendalikan secara pasti, maka komunitas menjadi sebuah harapan besar agar nilai-nilai luhur Pancasila terserap dan termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Komunitas menjadi wahana berproses untuk internalisasi nilai-nilai, yang diharapkan adalah nilai-nilai luhur, nilai-nilai Pancasila. Komunitas tidak berhenti sebagai cerminan sila ke-4 saja, melainkan keseluruhan sila, meskipun kata Pancasila tidak tercantum secara eksplisit dalam AD/ARTnya.
Di tingkat lokal, komunitas adalah potensi lokal, sekaligus mitra dan pelaku pembangunan yang tidak dapat diabaikan. Melibatkannya secara aktif berarti menguatkan pilar-pilar good governance dan juga menjadi bagian topik bahasan di Festival HAM 2016. Dengan demikian sudah selayaknya pemerintah daerah memfasilitasi dan mendukung secara konkrit pertumbuhan, perkembangan, dan dinamika komunitas sebagai bagian penting dari potensi lokal.
Salam literasi.