Cangkrukan di Setiap Desa

Mengenalkan buku dan membaca kepada warga itu memang sebuah tantangan tersendiri. Meskipun di tempat terdekat sudah ada perpustakaan atau sejenisnya, belum tentu warga merasa perlu untuk datang dan meluangkan waktu memilih buku, meminjam, dan membacanya. Apalagi warga dengan usia yang sudah diatas 18 tahun, sudah tidak menyandang gelar pelajar, apalagi anak-anak, pikirannya lebih banyak dicurahkan diluar kebutuhan belajar.
Dari membaca hingga berkarya yang sangat menyenangkan bagi anak-anak, bahkan para orangtua dan gurunya. (Dokumentasi Cangkruk Baca dan Kreasi, Minggu 8/11/2015, Foto: Pena Ananda Club)

Perpustakaan lama-lama akan mati, jika sepi pengunjung. Sebagaimana yang beberapa kali penulis amati di perpustakaan-perpustakaan desa yang ada di Balai Desa. Telah tersedia ruang khusus, perlengkapan ada (mulai dari rak buku, meja, dan karpet), koleksi buku pun tersedia (terlepas apakah tema buku diminati warga desa), tapi kenyataannya lebih banyak menjadi ruang hening tanpa pengunjung.
Jemput bola. Istilah yang sudah tidak asing lagi.
Keberhasilan kawan-kawan relawan dan pegiat budaya baca di beberapa daerah salah satunya adalah melalui kegiatan aktif, kreatif, rekreatif, berupa jemput bola. Macam-macam bentuknya. Mulai dari perpustakaan keliling bersamaan dengan menjual jamu, menjual es, dan ada yang memang dengan khusus berkeliling menawarkan buku-buku untuk dibaca warga. Selalu muncul pertanyaan: mengapa mereka mau melakukan pekerjaan yang tidak berbayar itu? Passion… memang sesuatu yang sulit dijelaskan dengan menggunakan akal sehat, hanya bisa dianalisa menggunakan dalil kegilaan.
Saya sendiri akan berpikir beberapa kali untuk melakukan hal semacam itu, tentunya dengan beberapa pertimbangan:
  1. Seberapa lama saya akan bertahan? Fisik seseorang, semakin lama akan semakin berkurang kemampuannya. Belum lagi kesehatan yang dapat dipengaruhi oleh beragam hal, dapat saja terganggu sewaktu-waktu.
  2. Bagaimana kalau sesuatu penyebab mengharuskan kegiatan itu tiba-tiba berhenti? Misalnya pindah domisili, mendapatkan pekerjaan yang menuntut sebagian besar waktunya untuk pekerjaan itu, dan penyebab lainnya.
  3. Dari segi pemberdayaan, berarti meninggalkan potensi-potensi lain yang besar kemungkinan dapat dikelola untuk menjamin kesinambungan pola “jemput bola” untuk budaya baca.
Dengan pertimbangan itulah, saya memilih untuk mengembangkan model Cangkruk Baca dan Kreasi dengan memilh satu tempat publik saja tanpa harus berpindah-pindah. Pena Ananda Club juga hanya melakukan pada hari Minggu pagi, pukul 07.00 – 12.00. Dengan begitu, warga memastikan, bahwa setiap Minggu pagi ada Cangkruk Baca dan Kreasi di aloon-aloon Tulungagung. Bahkan kegiatan seminggu sekali itupun mengalami beberapa kendala, seperti saat kami berhalangan karena sakit atau keluar kota, dan juga ketika Minggu pagi hujan atau ada kegiatan yang menggunakan ruang publik itu.
Mengapa Cangkruk Baca dan Kreasi ini saya anggap sebagai sebuah model?
Karena lebih memungkinkan untuk ditiru oleh siapa saja, dimana saja, bahkan sampai ke desa-desa. Jauh lebih menghemat tenaga, bahkan bisa melakukan kegiatan kreatif lainnya di tempat cangkrukan, seperti mewarna dan menggambar bagi anak-anak, mendongeng, membuat pekerjaan tangan, parenting, ngrumpi literasi, dan lain sebagainya.
Dengan kemudahan ini, kami berharap, akan lebih banyak orang dan komunitas yang meniru, menjalankannya, tentunya dengan inovasi-inovasi berbeda disesuaikan dengan potensi di tempat masing-masing. Dengan cara ini, budaya baca akan lebih mudah tersebarluas, tanpa harus tangan dan kaki kita yang bergerak, tapi gagasan kita yang merambah jauh melampaui batas ruang dan waktu.
Lalu mengapa sekarang Pena Ananda Club masuk ke wilayah pegunungan dan pesisir?
Karena informasi yang selama ini kami sebarkan melalui media-media sosial belum sampai ke mereka. Butuh pendekatan lain untuk mengenalkannya, dan bukan menjalankannya. Learning by doing, itulah Cangkruk Baca an Kreasi yang kami jalankan di daerah-daerah tersebut. Melihat, mendengarkan, terlibat, dan kemudian dapat melanjutkan sendiri dengan ragam kreasi baru yang pasti takkan sama dengan kami. Termasuk, bagaimana gaya cangkrukan ini juga dapat dijalankan sebagai salah satu strategi mengebaldekatkan buku dan membaca kepada warga sekitar. Sehingga, selain ada perpustakaan masyarakat di setiap desa, juga perpustakaan desa, bagaimana perpustakaan-perpustakaan yang ada itu menggelar wisata baca seperti cangkruk baca yang dikelola secara bergilir. 
Setiap desa ada Cangkruk Baca dan Kreasi? Mengapa tidak…
Salam literasi.
#Bangoan, Selasa, 19/1/2016; 23:07

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *