karena kebanyakan guru2 tdk punya passion & pengetahuan ttg menulis,
tulisan murid tidak pernah diberi feedback untuk edit-revisi-rewrite.”
Ungkapan ini dituliskan Dr. Sofie Dewayani, pakar literasi di sebuah grup WA. Ketika saya share ke beberapa teman guru, ada diantara mereka yang meminta saya membagikannya secara lebih luas.
Saya jadi ingat beberapa tahun silam ketika Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB diundang dalam forum guru bahasa untuk mengenaldekatkan budaya baca dan menulis yang menjadi perhatian sanggar. Pertanyaan baku yang diarahkan ke saya adalah “dari jurusan bahasa dan sastra mana?”. Seakan-akan, kemampuan berbahasa, membaca dan menulis hanyalah wilayah studi bahasa yang boleh digarap oleh para sarjana sastra dan bahasa. Bersamaan dengan pengetahuan mereka bahwa saya bukan berlatar bahasa dan sastra, maka sampai saat ini, hanya Bapak Budi Harsono lah yang masih secara intens berdiskusi dengan saya perihal budaya literasi yang juga menjadi perhatian besarnya.
![]() |
| Karya pelajar SD yang mendorong mereka semakin rajin membaca dan menulis, bahkan membaca ilmu-ilmu pengetahuan dari buku-buku pelajarannya. |
Melewati waktu dua tahun, sampai akhirnya sebuah sekolah dasar swasta secara berani meminta saya menandatangai sebuah kontrak langsung 3 tahun untuk menghidupkan budaya tulis di sekolah. Klub Penulis, demikian kala itu dibuat bagi santri-santri yang berminat, ikut-ikutan teman-temannya, dan juga dikondisikan untuk ikut, beraktivitas disetiap Sabtu pagi lewat kelas menulisnya. Perlu waktu minimal 3 bulan untuk sampai pada mengenal dan memulai untuk mencintai dunia menulis, hingga merembet ke membaca, lalu berkarya. Perjalanan ini, menjadi kisah panjang yang sangat seru, hingga melahirkan para juara dan semangat menulis hingga mereka memasuki jenjang belajar berikutnya.
Sebuah sekolah negeri pernah pula membuka ekstra kurikuler menulis selama satu semester. Dari karya yang digoreskan anak-anak, sesungguhnya besar kesempatan untuk membuat mereka berhasil mengukir karya-karyanya dalam sejarah literasi nusantara.
Beberapa tahun silam, saya pun pernah berdiskusi dengan guru Bahasa Indonesia SMA yang menunjukkan segebok karya anak-anak hasil penugasan mata pelajaran Bahasa Indonesia. “Tidak terlalu banyak waktu yang tersedia untuk membacanya, mbak,” demikian ungkapnya dengan harapan saya bersedia membaca, menyeleksi, dan kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku. Waaaah….. gagasan kami saling bersambut. Namun, keputusan demikian haruslah didukung oleh kebijakan sekolah (bahkan Dinas Pendidikan, lantaran sekolah tak memiliki kekuatan kebijakan tanpa dukungan dari dinas) yang ternyata masih belum sebagaimana yang kami harapkan.
Mengevaluasi perjalanan sekian tahun ini, tahun lalu, Sanggar Kepenulisan Pena Ananda Club mulai mengubah strategi. Kunci paling penting dalam pembudayaan literasi di sekolah tiada lain adalah warga sekolah itu sendiri. Ketika sekolah bermitra dengan pihak diluar institusi sekolah, semata-mata hanyalah stimulan saja. Karena, masyarakat sekolah memiliki intensitas interaksi yang lebih kuat dibanding dengan pihak mitra. Ini catatan penting ketika Pena Ananda menerima ajakan kemitraan dari sekolah.
Pada akhirnya, sekolah akan menjalankan dinamika pembudayaan literasi oleh sosialita sekolah itu sendiri.
Ketika mengajak para guru untuk memulai dan menjadi tauladan bagi para siswa dan masyarakat sekolah, bukan bermaksud menyisihkan peran guru selama ini dalam pembiasaan berliterasi, atau secara lebih sarkastik “menempatkan guru pada posisi salah”. Jelas bukan demikian. Apalagi saya bukan bagian dari guru formal, sehingga yang bisa saya lakukan adalah menjiplak pernyataan-pernyataan para guru sendiri yang dapat kita gunakan bersama sebagai bahan evaluasi, dengan tujuan ada gerakan literasi sekolah yang lebih baik.
Dari sekian catatan untuk pembudayaan literasi sekolah yang perlu untuk dionceki dan menemukan solusi terkeren, saya hanya ingin kembali pada pernyataan Dr. Sofie Dewayani dan guru BI SMA yang pernah berdiskusi tentang review karya pelajar dan langkah-langkah yang diambil selanjutnya. Meskipun sesungguhnya, menulis dan membaca bukan hanya tanggung jawab guru bahasa, namun pengembangan dan penguatan ketrampilan keduanya memang menjadi spesifikasi studi bahasa.
Sebaiknya juga mulai dipikirkan mendalam, bagaimana mengevaluasi karya anak-anak yang sekaligus juga menjadi indikator kinerja guru dalam aspek keliterasian. Dan output yang paling dapat dipertanggungjawabkan adalah penerbitan buku karya siswa sekolah. (bersambung)
#PenaAnandaClub #Bangoan, 28/12/2015; 09:22
