Memrasastikan Perjalanan Hidup

Kebahagiaan dan kebanggaan seorang penulis adalah ketika berhasil menerbitkan sebuah buku solo, sesederhana apapun itu. Saya yakin, itupun yang dirasakan Robin, meskipun saat saya minta izin untuk membaca bukunya, ia selalu mengatakan kalau buku-bukunya hanyalah curhatan semata. Jujur, dia lebih keren ketimbang saya yang masih bisa menerbitkan tulisan dalam wujud antologi, pecahan tulisan di blog (seperti ini), Kompasiana, website Tulungagung (sebagai Juranlis Warga), atau hanya status-status (gak penting, tanpa mengurangi apresiasi saya terhadap kawan-kawan yang menyampaikan sikap apresiatif terhadap tulisan dan status saya) di FB.
Robin dengan kedua bukunya saat di Cangkruk Baca dan Kreasi, Mingu, 19/9. (foto: Siwi Sang)

Akhirnya, dua buku karya Robin pun, hari ini (Minggu, 20/9) berada di tangan saya untuk saya baca.

“Kalau buku Negeri Di Atas Awan tinggal satu itu, sedang buku Berlayar, masih dua. Itu bisa untuk bunda,” katanya. O, tidak, saya hanya akan membacanya saja.
Buku Negeri Di Atas Awan adalah buku ketiga setelah Indonesia Hari Esok (esainya yang masuk nominasi esai nasional) dan Berlayar. Buku setebal 105 halaman ini merupakan memoar dari perjalanannya bersama dengan 20 rekan sekampus dalam Kuliah Kerja Nyata, dimulai 2 Juli 2013 lalu selama 2 bulan di dataran tinggi Dieng, Banjarnegara.
Pria kelahiran Kalituri, sebuah dusun penghasil tembakau di Desa Waung (Kec. Boyolangu, Tulungagung), 25 tahun silam ini mencintai dunia menulis yang menurutnya (dalam buku ketiganya ini) telah mengantarnya pada dunia baru. Karena alasan itu pula, begitu heran plus senangnya saat bertemu Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB. Lebih kaget lagi, ternyata sanggar ini telah berusia lebih dari 7 tahun.
“Kemana saya selama ini, kok sampai tidak tahu kalau ada ini (maksudnya Pena Ananda Club)?” tanyanya seakan ditujukan pada dirinya sendiri. Maklumlah, media publikasi kami memang lebih banyak di dunia maya, disamping masih asingnya isu literasi, isu membaca, isu menulis digunakan sebagai keyword saat berselancar di mesin pencari.
Buku Negeri Di Atas Awan yang diakui Robin sebagai buku curhatan, adalah catatan ringannya selama menjalani KKN, yang disajikan sangat alami dengan gaya penyampaian yang sederhana, nikmat dibaca, tidak berbeli-belit. Layaknya catatan harian, Robin menuliskannya tidak berpanjang lebar. Terasa sekali, dia menuliskannya dengan sepenuh hati, sehingga siapapun yang membaca sekan tersedot dalam suasana batinnya saat itu.
Ini bukan sekedar curhatan. Robin mengenalkan keeksotisan dan kekayaan budaya-tradisi Dieng sebagai bagian dari pengalamannya yang tak terlupakan. Menurutnya, ia menuliskannya agar kenangan itu tidak lenyap, tidak hanya dari gilasan memori yang bakal tumpuk-bertumpuk, namun juga dari ruang kenangan rekan-rekannya.
Menulis Butuh Keberanian

Sekiranya, diantara mahasiswa KKN memiliki keyakinan dan keberanian sebagaimana Robin, untuk merekam jejak pengalamannya selama 1-2 bulan di tanah asing, pastilah saat ini ada sejumlah buku inspiratif tersebar di setiap penjuru kampus. Minimal demikian.
Menulis memang memerlukan keberanian melawan ketidakpercayaan pada diri, terutama untuk memulainya. Menulis juga memerlukan keberanian untuk menerima kritik diluar pujian yang selalu pasti ada. Keberanian juga diperlukan untuk memutuskan, dengan media apa tulisan itu akan dipublikasikannya. Memang ada pilihan media tanpa bayar, seperti blog dan media sosial, yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang dapat mengakses jaringan internet, namun ada juga media cetak, yang harus melewati satu tahap penting, yaitu seleksi pra terbit.
Tapi ada juga pilihan yang saat ini semakin digemari, sebagaimana pilihan Robin, diterbitkan secara indie. Konsekuensinya, penulis harus mengeluarkan dana sendiri untuk proses penerbitan, mulai dari perancangan sampul, tata letak, mengurus ISBN (yang sebenarnya gratis berdasarkan ketentuan Perpusnas), dan pencetakannya. Biasanya, penulis memiliki pilihan, berapa banyak bukunya akan dicetak. Setelahnya, penulis juga harus membangun pasar sendiri.
Bagi penulis, apalagi yang baru saja menerbitkan buku, belum punya branding nama, proses ini menjadi sebuah tantangan. Tapi mengapa semakin banyak penulis memilih jalur ini? Jawabannya sama seperti yang Robin sampaikan ke saya: agar pengalaman dan gagasan tidak hilang begitu saja. Artinya, untuk mengikatnya memang tidak cuma-cuma.
Maka, teruslah bergerak Robin. Kualitas karya akan sangat dipengaruhi seberapa besar daya juang dan daya gerakmu, melalui konsistensi dan upaya-upaya lain yang dapat kamu lakukan, sendiri atau bersama komunitas.
Satu demi satu prasasti kehidupan sedang kamu torehkan. Sebagaimana ungkapa Pramoedya Ananta Toer yang kamu juga torehkan di awal buku ini:

Orang-orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Berterima kasihlah pada segala yang memberi kehidupan.


Demikian juga kita semua, kamu semua, para mahasiswa dimana saja berada, tepis ungkapan “Ah, mahasiswa jaman sekarang beda etosnya dari yang dulu.” dengan tulisan dan bukumu.
Salam….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *