Salam Dari Seorang Bunda

Beberapa waktu lalu, saya sudah berazam untuk cuti dari pergerakan literasi di tahun 2016 nanti. Ketika beberapa teman bertanya, saya jawab apa adanya. Saya ingin menuntaskan karya-karya solo saya yang selama ini terbengkalai hanya menjadi draft-draft dalam ruang sunyi. Perlu waktu khusus untuk bisa mengedit dan mempertajamnya dengan beberapa penelitian. Sebagaimana yang dilakukan Siwi Sang, yang memerlukan waktu 3 tahun untuk sebuah GIRINDRA.


Gagasan ini, kata seorang teman, bukan gagasan yang keren.


“Kan bisa berjalan bersama-sama, bunda?” katanya.

“Tidak. Selama ini saya menumpahkan seluruh perhatian saya dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarga dan gerakan. Meski itu tampak kecil bagi kalian. Tapi saya yang menjalaninya, nyaris tak bisa menyisihkan waktu berlama-lama dengan pekerjaan menulis saya.”

“Tapi nyatanya bunda masih bisa menulis,” katanya berusaha memaksa penolakannya.

“Ya, hanya potongan-potongan yang membuat orang tergelitik bertanya lalu, mana bukumu. Saya cukup risih dengan pertanyaan itu. Mereka tidak melihat serpihan tulisan terserak itu, bahkan menganggapnya tak ada,” tukasku bertahan.

“Lebih baik tulisan kecil-kecil, dibaca, dan memberikan efek bagi mereka to Bun.” Gak mau kalah juga dia. “Sebenarnya apa yang Bunda inginkan. Membuat mereka berhenti bertanya. Disanjung dengan buku-buku solo itu?” katanya kemudian dengan gaya kelakar tapi langsung menghantam ke ulu hati. “Bukankah seperti Bunda pernah ngomong, Pena Ananda punya cita-cita banyak orang seneng nulis, dan banyak orang seneng baca. Bukan hanya Bunda atau pak Siwi saja yang bisa nulis dan pinter baca, hahaha….”

Peng…!!!

Beberapa hari setelah perbincangan di seremoni kopi senja itu, saya membaca status pak Yusron Aminulloh ini:
Ditengah kesulitan diri, tiba-tiba kita dikasih amanah yang justru memberatkan diri kita, akankah amanah itu kita tolak dengan alasan sedang pusing memikirkan diri sendiri? Kalau kita tolak bisa jadi masalah kita belum tentu selesai, tapi amanah itu lepas. Sedangkan kalau amanah itu kita jalankan, amanah itu tuntas dan bisa jadi masalah kita sendiri diam-diam ada solusi yang tidak kita duga-duga.
Ya begitu, terkadang status-status kawan dan sahabat di beranda fesbuk, terasa ditujukan untuk diri kita, meski sejatinya tidaklah demikian. Akhirnya, kalimat itu kusimpan, kuabadikan dalam catatan-catatan kecilku.

Untuk kedua kalinya saya diingatkan. Pergerakan ini sudah menjadi azam saya jauh semenjak di SMA dulu. Memiliki sesuatu, khususnya perpustakaan, yang bisa dimanfaatkan banyak orang. Dulu, saya selalu mendikusikan gagasan ini dengan almarhum abah saya. Beliau tahu sekali, itulah passion saya. Artinya, ini adalah pilihan sekaligus amanah.

Dua peristiwa di atas memaksaku berpikir jauh ke dalam, apa niatanku sebenarnya. Hanya untuk memuaskan orang-orang yang selalu bertanya: mana bukumu? Seakan-akan, biar menulis, jika tak punya buku solo, dia bukan apa-apa. Ya, memang itu hanya pandangan manusia, namun risih juga dengan pertanyaan yang saya anggap tidak melek ini. Apakah gagasan cuti itu artinya lari dari kelelahan karena harus berhadapan dengan realita-realita yang terkadang tidak ramah. Oh, jangan dikira di dunia literasi stiril dengan intrik dan like dislike. Itu tetap ada. Saya yang menganggap literasi akan menjadi sebuah gerakan mulia, ternyata juga disikapi secara politis. Dari kacamata dan pengalaman yang hanya seorang ibu, menjadi sangat tidak bersahabat sekali.

Apalagi tatkala sudah bertemu dengan sejumlah relawan. Semangat gerakan itu menjadi semakin bergelora. Belum tuntas Festival Bonorowo Menulis 2015, sudah terlahir rentetan gagasan yang antri untuk dieksekusi. Dalam beberapa kali perbincangan dengan mereka, gagasan cuti menjadi suatu hal yang ironi, egois, bahkan bisa dinilai sebagai langkah pecundang.

Memperjuangkan satu langkah kecil Festival Bonorowo Menulis 2015 ini saja sebuah cermin, betapa masih panjang langkah yang harus kita tempuh bersama. Langkah-langkah untuk menepis pandangan pesimis tentang kehidupan dan keberbangsaan, apalagi kebernegaraan. Pesimisme kita terhadap goodwill pemerintah, contohnya, harus kita lengserkan dari singgasana otak kita. Dengan apa? Berjuang bersama. Banyak realita-realita tak bersahabat, yang inshaa Allah, dengan perjuangan bersama-sama, kelak realita-relaita sekarang ini akan menjadi mitos-mitos di masa depan.

Ngomong kok muluk-muluk amat.

Pernah saya mendengar hal demikian. Padahal ini impian dan lakon yang sangat sederhana. Impian dan lakon seorang ibu yang ingin agar lingkungan generasi anak-anaknya sebagai lingkungan yang aman, nyaman, ramah, dengan budaya literasi yang kuat. 

Saya rasa tak ada orang tua yang tak ingin hal terbaik untuk anak-anaknya, semiskin apapun mereka. Namun banyak orangtua yang terbelenggu jika ingin anaknya baik, ya yang disentuh, diopeni, hanya anaknya saja. Lalu kemudian mengambil langkah mencekoki anak-anak dengan makanan-makanan (untuk fisik dan otak) yang menurutnya terbaik. Bahkan saking menganggap lingkungan pergaulan anak-anaknya akan mengancam mereka, tak segan orangtua mengisolasi anak-anak mereka dari pergaulan sosial, dan memberinya teman-teman baru berupa tayangan TV dan gadget

Dalam kacamata saya, lingkungan anak-anak kitalah yang harus kita sentuh. Ingin anak kita memiliki semangat belajar, maka motivasi dan fasilitasi wilayah belajar teman-teman anak-anak kita. Ingin anak-anak kita berakhlak mulia, maka rangkul teman-teman mereka dalam dialog jiwa yang membekali perilaku mereka. Ingin anak-anak kita berbudaya literasi, tak ada jalan lain kecuali budaya literasi ini dikenalkan, didekatkan seluas mungkin pada anak-anak Nusantara. 

Itu menurut saya adalah pandangan yang simple, sederhana. Karena, kekuatan sebaya, jauh lebih tangguh dari pada orangtua. Istilah Jawa sendiri mengenal galangan kalah karo golongan, yang maknanya “pendidikan atau asuhan dapat dikalahkan oleh pengaruh lingkungan“.

Tapi itu kan sulit? Pendidikan di negeri ini saja sudah teramat sulit dijelaskan meski sudah diformalkan kok.

Saya balik bertanya, apa kemudian kalau sulit harus ditinggalkan? Apa kalau sulit berarti sudah pasti tidak mungkin diwujudkan? Apa yang tidak mungkin selama itu masih permainan alias dolanane manusia.

Sekarang saya akan menjawab, mari kita berkarya bersama, solo atau berjamaah. Terlebih, mari berkarya bersama anak-anak kita, itu adalah prasasti bagaimana kita bersahabat dengan anak-anak kita. Seperti yang disampaikan pak Anang Prasetyo dalam talkshow POJOK LITERASI (29/8) dan pak Yusron Aminulloh di acara yang sama (12/9) di Radio 90,9 LIIUR FM bersama PENA ANANDA CLUB, anak-anak kita lebih butuh dikenalkan dengan keberadaban, bagaimana menyayangi saudaranya, hormat kepada orangtua, belajar untuk belajar, kesempatan untuk bermain yang didalamnya diperkenalkan potensi-potensi dirinya. 

Saya menambahkan, anak-anak butuh untuk dikuatkan akarnya, bukan dicerabut dari akarnya. Apa akar kehidupan anak-anak? Itu adalah segala yang dikaruniakan Allah sebagai potensi yang melekat. Apa saja itu? Nah, yang bisa menjawab dan menemukan adalah para orangtua dan guru. Itu sebabnya, orangtua dan guru ada saat dimana menjadi murid bagi anak-anaknya, belajar untuk mengenali potensi anak-anaknya.

Ah, lagi-lagi ini hanyalah pandangan dari seorang ibu, yang waktunya dihabiskan didalam rumah. Ibu tanpa embel-embel seperti titel, profesi sosial yang diakui jelas apalagi bergengsi, dengan gaji tetap yang menjamin kehidupan keluarganya, apalagi punya jabatan yang diagungkan dan diperjuangkan dalam ring pelelangan. Ibu yang mengalir saja. 

Tapi… ibu ini adalah ibu yang sangat teramat bahagia dengan pilihan hidupnya. Itu lebih dari cukup untuk menjadi energi kehidupan yang terus menyala bak api alam.

Ini hanya curhatan dari seorang ibu yang ingin masa depan generasinya lebih baik dari dirinya.

Salam saya, salam dari seorang ibu.

#Bangoan, Kamis, 17/09/2015; 08:38



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *