Kesederhanaan Itu Magnet

Oleh : Yusron Aminulloh



KOMUNITAS
adalah kekuatan.  Mereka berkumpul dalam sebuah tema yang  sama,
tujuan dan gol yang sama,  itulah kumpulan anak manusia dalam satu frame
yang bernama komunitas.  Ini adalah wujud dan wajah baru gotong royong.
Hanya di Indonesia yang tumbuh subur ragam komunitas dalam berbagai level
sosial dan ekonomi.



Ada komunitas yang bermodal keren dan kece kayak komunitas klub moge, mobil,
golf, klub belanja ke luar negeri dan penggemar selebriti lainnya. Ada yang
modal cekak kayak penggemar vespa kuno, dan seterusnya. Semua punya ciri dan
karakter sendiri. Tinggal menggunakan sudut pandang dari mana, maka akan lahir
pandangan positif atau negatif terhadap ragam komunitas ini.


Komunitas
itu ragam bentuknya. Ada yang  kegiatan dan tujuannya hanya bergembira
ria, kumpul, konvoi, bikin panggung music, dll  dengan gerakan sosial
sebagai ornamen. Namun ada komunitas yang gerakan sosialnya adalah tujuan,
sementara hiburannya hanyalah pelengkap dan ornamen.

Bangsa ini kaya akan ragam kultur semacam itu . Sesuatu yang menguatkan warga
bangsanya ditengah situasi ekonomi apapun.

Relawan

Pada level diatas komunitas, kita mengenal sebutan relawan. Yakni perkumpulan
pribadi-pribadi yang menghibahkan dirinya, sedikit waktu dan tenaganya untuk
sebuah kegiatan sosial.  Para relawan sebagian besar sudah punya profesi,
minimal punya kegiatan harian, seperti sekolah, kuliah hingga kerja.

Para relawan biasanya menyisihkan waktu, dihibahkan untuk sebuah kegiatan
sosial. Seperti yang Sabtu lalu saya temui di kota Tulungagung Jawa Timur.
Berkumpul sejumlah orang,  sebagaian besar wanita, yang sedang menjadi
relawan untuk sebuah kegiatan minat baca. Alhamdulillah saya bisa hadir
diantara mereka sebagai sahabat tersebut.
         
“Ini ada yang guru, mahasiswa, bahkan pengusaha yang datang pak Yusron. Semua
siap menjadi relawan Festival Bonorowo Menulis,“ tegas Tjut Zakiyah Tuga
sebagai tuan rumah.
         
“Mereka dari berbagai wilayah di Tulungagung, dari desa, kota semua bersedia
mendukung suksesnya acara literasi ini,“ tambah Siwi Sang, suami bunda Tjut.
       
Pasangan suami istri ini memang luar biasa. Ia tak henti bergerak membuat ragam
kegiatan berkaitan dengan literasi: minat baca, menulis dan lainnya. Keduanya
memang penulis, sehingga darah dagingnya memang dunia baca dan tulis.
            
Siang itu, saya menjadi semakin kaget saat memperhatikan, yang hadir adalah
guru-guru PAUD, SD dan pustawakan, yang kalau bicara penghasilan bulanan, sudah
pasti jauh dari cukup. Tetapi karena berkahNya, mereka bahagia, gembira, bahkan
masih jauh-jauh datang menyisihkan waktu untuk menyiapkan acara yang digelar
Oktober nanti itu.
            
Namun juga ikut bangga, ada kawan pengusaha datang dan peduli menyisihkan
waktu, tenaga dan uangnya untuk mensukseskan acara ini. Sebuah harmoni yang
indah, perpaduan antara semua lini anak manusia dalam ragam dimensi.
            
“Ayo kita makan dulu, seadanya,” tiba-tiba bunda Tjut membawa nasi, sebaskom
sayur lodeh tewel, dan tempe urik.
            
“Itu saya yang masak, “tegas Siwi dan semua tertawa.
            
Sebuah suguhan sederhana, sayur lodeh dengan tempe urik, ternyata mengandung
kelezatan yang luar biasa.
            
“Tanpa perlu lauk, telur, atau ayam, kerupuk, ternyata nikmatnya luar biasa,”
sela seorang kawan.
            
Saya sebagai orang yang sok kota, kadang berpikir, memberi makan 10 sampai 20
0rang harus berpikir lama untuk menyiapkan, Tetapi pasangan suami istri pejuang
ini, dengan mudahnya menyuguhi kami dengan penuh kenimatan.
            
“Rasanya saya pingin nambah, tapi malu,,,” ungkap saya dengan suara kecil.
            
Yang ingin saya ajak kawan kawan memberi makna peristiwa sederhana adalah.
            
Pertama,
kenapa orang dengan ikhlas datang jauh jauh menjadi relawan ? Apa untungnya?
Apa yang dicari.  Saya dapat jawaban sederhana, ternyata di negeri ini, ketulusan
hati itu menjadi kekuatan. Bangsa ini kuat, hebat bukan karena pemimpinnya yang
hebat, tetapi selagi masih banyak orang yang hatinya tulus, berjuangan demi
yang lain, maka bangsa ini akan tetap berdiri kokoh sampai kapanpun.

Kedua,
Kesederhanaan Bunda Tjut dan mas Siwi adalah magnet yang kuat sehingga Allah
dengan caranya, menggerakkan hati orang untuk mendukung kegiatan mulianya. Saya
punya banyak sahabat yang senafas dengannya, Juga rata-rata pasangan suami
istri yang pejuang.  Ada bu Farha Cicik dan Pak Supo di Jember, ada bu
Heni dan mas Murawi di Bandung, ada bu Fitri Susilowati dan mas Agus di
Samarinda dan masih banyak pejuang pejuang lain yang tidak mungkin saya sebut
satu persatu.

Ketiga,
kesimpulannya : Teruslah bergerak, bercermin pada kemuliaan kemuliaan yang
ditunjukkan oleh para pejuang kemanusiaan ini. Mereka sedang berlomba lari
mencari bekal di akhirat. ***

Balikpapan,
14  September 2015
Yusron
Aminulloh
, sahabat para pejuang Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *