(Bagian Pertama)
Buku sudah pernah dibaca, kini sudah jarang dibuka apalagi dibaca, lalu sudah dimasukkan ke kardus, bahkan dimasukkan ke gudang, dan ada yang terlanjur diloakkan. Apalagi jika rumah yang tak terlalu luas, tempat rak buku jadi terbatas, hobi beli buku tak pernah puas. Dengan berkembangnya pengetahuan, makin banyak bacaan yang ditawarkan, minat terhadap topik baru membuat buku lama dilupakan.
Pernah saya ngobrol dengan pengunjung Cangkruk Baca, seorang pekerja di pabrik kertas (tempat dirahasiakan). Dia mengatakan kalau buku-buku yang akan didaur ulang menjadi kertas bersih –tanpa huruf, kata, dan cerita lagi– sebenarnya banyak sekali buku-buku yang masih bagus. Karenanya, jika ada kesempatan, dia akan memulunginya, menyimpannya untuk dibaca di rumah. Bagi siapapun yang sudah soulmate dengan buku, pasti sangat sensitif, dan menyelamatkan isi dari yang tercetak di dalam benda bernama buku. Kalau ia memilih yang diselamatkan, dan membiarkan yang lain dihancurkan, bukan berarti yang dibiarkan hancur itu tak bernilai.
“Paling saya bawa 1 sampai 3 mbak. Kalau ketahuan kan bahaya juga,” katanya. Padahal, katanya, buku-buku itu bisa menumpuk sangat banyak untuk… dihancurkan. Berapa buku tiap hari yang dihancurkan? Berapa buku dalam seminggu yang lumat kembali? Berapa buku dalam sebulan… setahun… dan mungkinkah diantara buku-buku itu adalah buku-buku langka, yang kecil kemungkinan dicetak ulang karena beberapa sebab?
Itu cerita dari kawan yang menjadi saksi buku-buku yang akan di eksekusi menjadi bubur kembali.
Pabrik kertas…
Lain lagi cerita yang saya dari dari wong buku, pak Wahjuadji Gunawan yang kala itu langsung menawarkan beberapa buku/majalahnya ke publik daripada mati suri di dalam gudang. Pak Yudi Manto yang membaca postingan beliau, langsung mencolek saya, dan saya bersama mas Siwi langsung meluncur beberapa hari kemudian ke kediaman beliau. 2 kardus sesak berisi majalah-majalah kami usung ke sanggar. Dan pada hari Minggu, beberapa diantaranya menjadi tawaran bacaan baru di cangkruk baca.
Saat itu ditunjukkan ke kami beberapa buku berbahasa Belanda. Buku-buku lama peninggalan almarhum ayahanda beliau itu sudah mulai aus dimakan usia. Benang dan lem yang menyatukan lembar demi lembarnya mulai kehilangan kekuatan. Lembar-lembarya pun mulai merapuh hingga tepiannya ada yang telah bergelombang.
“Ini harus diselamatkan. Tapi bagaimana? Siapa yang mau merawatnya?” tanyanya gusar. Kami menjawab normatif. Siapa lagi kalau bukan Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi? Tampaknya beliau akan berpikir beberapa kali dulu sebelum menerima usulan kami. Karena, tak mungkin untuk kami rawat, sedang rak buku saja masih buatan sendiri dari tahun 2005 (waaaah, baru sadar kalau sudah berumur 10 tahun), belum ganti apalagi bertambah.
Kedua sosok penyelamat buku ini, luar biasa. Dengan caranya masing-masing, mereka hendak memperpanjang umur manfaat dan nilai dari karya-karya yang dihasilkan penulisnya melalui kerja keras, cerdas dan ikhlas. Meski keduanya berbeda, dan bukan penulis, keduanya pasti bisa merasakan pergulatan panjang yang dilakukan oleh setiap penulis hingga karya itu lahir dalam bentuk buku. Apalagi buku-buku yang diterbitkan sebelumboomingnya teknologi informasi dan komunikasi. Para penulis harus memburu literatur dengan sangat bersusah payah. Satu tahun satu buku, itu sudah sangat luar biasa.
Adakah penyelamat buku, sosok-sosok yang memperpanjang umurnya selain keduanya?
(bersambung)
