Tingkat Menulis Tersulit

Akhirnya, cita-cita dan harapan Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB untuk mendorong lahirnya penulis-penulis fiksi yang mengusung kekayaan kearifan lokal Tulungagung tercapai. Selama 3 hari, Selama – Kamis, 24-26 Februari 2015, bekerjasama dengan Balai Bahasa Jawa Timur, diselenggarakan Pelatihan Penulisan Cerpen Berbasis Kearifan Lokal.
Kuota 50 pun membludak sampai 54 (kami hanya sanggup menambah 4 saja dari 10 yang memintanya). Sebenarnya kami memilih 25 sekolah SMA/SMK/MA baik negeri maupun swasta yang ada di Tulungagung untuk mengirimkan delegasinya masing-masing 2 anak. Namun ternyata ada juga sekolah yang tak bersedia mengirimkannya. Satu dari 4 sekolah yang absen menyatakan kalau belum mempersiapkan anak mereka untuk mengikuti kegiatan ini, 1 lagi menyatakan ada kegiatan bersamaan (apakah tidak ada 2 peserta dari ratusan siswa yang dapat dikirimkan?), sementara 2 sekolah lainnya tidak memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mengupas sekilas tentang kekayaan kearifan lokal Tulungagung
sebelum kemudian peserta memraktekkan teori menulis dengan
konten tersebut dalam bentuk karya pribadi.
(Dok: Yudimanto)

Antusiasme 54 pelajar tingkat SLTA se Kabupaten Tulungagung dalam mengikuti pelatihan ini sangat nampak dari partisipasi mereka sejak hari pertama. Pertanyaan demi pertanyaan mereka lontarkan kepada para pemateri, baik yang berasal dari Balai Bahasa Jawa Timur, maupun sastrawan dan PENA ANANDA CLUB (saya) sendiri.
Hari kedua dan ketiga, peserta benar-benar berlatih menulis.

Namanya berlatih, pastinya tidak selalu memberi hasil sebagaimana indikator penulis yang telah berpengalaman. Apalagi sebagian besar peserta masih belum terbiasa menulis, terlebih cerpen. Ada yang sudah terbiasa menulis nonfiksi, sehingga untuk menulis cerpen sedemikian terasa sulit bagi mereka.
Tema kearifan lokal memang tema yang berat, begitu menurut Mashuri, sastrawan yang juga tenaga teknis Subbid Pengkajian Balai Bahasa Jawa Timur. Sangat tidak mungkin pelatihan dilakukan dalam tempo hanya 3 hari ini, apalagi menulisnya dalam bentuk cerpen, karena cerpen itu adalah tingkat menulis yang lebih sulit, paparnya dalam diskusi kecil saat kami bertiga (bersama Anang Santosa) mereview naskah yang ditulis para peserta pada hari kedua.
“Seharusnya, sebelum pelatihan ini, ada pelatihan khusus yang mengupas tentang kearifan lokal,” kata Mashuri.
Itulah titik masalahnya. Membangun kesadaran bahwa kearifan lokal itu penting, bahkan kepada para stakeholder lokal, penuh dengan tantangan. Apalagi yang melibatkan pelajar, karena dianggap hal ini akan menyita waktu belajar siswa. Sementara, 2 tahun silam, gagasan pentingnya mengenalkan sejarah lokal (sebagai salah satu kekayaan kearifan lokal) sebagai pelajaran muatan lokal sudah didengung-dengungkan. Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tulungagung mengatakan itu sangat penting, namun Dinas Pendidikan menegaskan belum memiliki konten yang dapat dijadikan materi pembelajaran.
Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB mengambil langkah dengan pendekatan yang berbeda. Rancangan kegiatan Menulis Fiksi Berbasis Sejarah dan Kearifan Lokal sudah dirancang sejak tahun 2011 lalu, meski tidak mendapa repon positif dari SKPD. Tapi kami berhasil melakukan roadshow ke sekolah-sekolah dibawah Departemen Agama Kabupaten Tulungagung, MTs dan MA baik Negeri maupun Swasta.
Roadshow di MTs – MA se Kecamatan Bandung, 2011.
(Foto dok: Pena Ananda Club)

Roadshow yang dilaksanakan di MAN 2 Tulungagung, 2011
(Foto dok: Pena Ananda Club)
Roadshow yang kami lakukan bertujuan untuk mengenalkan kearifan lokal itu, memancing pelajar untuk menggali secara aktif kekayaan-kekayaan yang ada di sekitar mereka. Karena, kegiatan ini jika terlaksana, pelajar dan generasi muda kita akan menerima beberapa manfaat:
  1. Kepedulian mereka dengan kekayaan lokal yang ada di sekitar mereka. Tidak perlu jauh-jauh. Tidak usah semut di seberang laut tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.
  2. Mereka akan belajar menerapkan teknik-teknik penelitian (mulai dari pengamatan hingga riset) untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.
  3. Mereka juga akan menemukan, ternyata dari sekumpulan informasi satu obyek kekayaan lokal, mereka dapat berkreasi menghasilkan lebih dari 1 karya.
  4. Yang pasti pelajar berproses menulis, menerapkan teori teknik penulisan kedalam praktek, karena sebaik-baik teori tetap akan kalah dengan kegiatan praktek.
  5. Karya-karya mereka yang terdokumentasi dalam bentuk buku, adalah khasanah pemikiran, proses luar biasa para pelajar, khasanah sastra, yang tidak sekedar mengayakan koleksi perpustakaan, tapi juga memotivasi kawan-kawan sebaya mereka, adik-adik angkatan mereka, di seluruh Nusantara.
Kembali pada kegiatan 3 hari yang terbilang instan ini, jelas menjadi pe-er besar bagi PENA ANANDA CLUB. Karena inilah cita-cita kami. Balai Bahasa Jatim telah menstimuli, sudah membantu kelahirannya, kini saatnya bapak dan ibu merawatnya hingga tumbuh dan berkembang menuju dewasa. Agar, 3 hari yang penuh dengan tantangan bagi peserta tidak sia-sia, maka kami sepakat untuk membentuk komunitas yang akan menjawab kebutuhan lokal Tulungagung. Gagasan yang bergulir itu akhirnya bermuara pada satu nama: Komunitas PECEL (Penulis Cerita Lokal). Ya…. PECEL… Cerita yang kelak tidak anya cerpen, bisa saja novelet, novel, puisi, film, esai, dan bentuk lainnya. Tidak ada pandangan pesimis sedikit pun walau untuk masa tumbuh kembang bukan tak mungkin penuh tantangan. Begitulah… sulit bukan berarti tak mungkin.
Lahirnya Komunitas PECEL (Penulis Cerita Lokal)
Kamis, 26/2/2015 pukul 16.07.
(Foto: Asakita)
Salam literasi.
#Bangoan, Jum’at, 27/2/2015; 08:20

2 thoughts on “Tingkat Menulis Tersulit

  1. Pasti bisa pak.
    Kata pak Silan (Perpusda) dalam penutupan pelatihan kemarin, seorang penulis hendaknya juga memegang prinsip berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, artinya tak ada yang instan.
    Mari….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *