Manusia lahir ke dunia itu, ternyata untuk merasakan “pengalaman pertama“. Tak lebih dari itu. Siapa yang bisa melewati pengalaman pertama, berarti dia sudah benar-benar hidup. Coba saja kita ingat-ingat, mana dari semua pengalaman-pengalaman kita yang tak kita lalui untuk pertamakali dengan penuh rasa nano-nano dan sensasional.
Kapan kita mulai menyadari banyak hal istimewa saat mengalami sesuatu untuk pertama kalinya?
Ketika kita masuk Taman Kanak-Kanak?
Ketika memutuskan belajar sepeda dan menjejakkan kaki pertama kali di pedalnya? Kapan itu?
Ketika mengikuti lomba pertama kali? Lomba apa dan kapan itu?
Ketika memegang piano pertama kali? Dimana dan kapan itu?
Masihkah kita bisa mengingat dengan manis pengalaman-pengalaman pertama kali kita?
Kapan kita menganggap bahwa pengalaman pertama itu sesuatu yang tak dapat dilupakan, sesuatu yang sangat istimewa, sesuatu yang menciptakan kenangan berbagai rasa?
Apakah kita mengingat cukup baik pengalaman-pengalaman kita sekecil apapun? Atau hanya pengalaman pertama yang besar-besar dan berbeda dengan orang-orang sekeliling kita yang dapat kita ingat?
Ya… bagaimana pun juga pengalaman pertama sesuatu yang tak bakal dengan mudah terlupakan.
Begitu juga, pengalaman pertama kita dalam menulis…
Kemarin Sabtu (21/2/2015), dalam launching buku terbitan Penerbit Indie 9 Mutiara Trenggalek, saya dari Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB, diminta memandu apresiasi karya 58 mahasiswa STKIP PGRI Trenggalek berupa antologi cerpen. Galang Bima Suhastra, satu dari 58 mahasiswa, dengan cerpennya berjudul MINIATUR, menceritakan kalau ini adalah cerpen pertamanya.
“Saya yakin, ini adalah cerpen pertama kami semua,” ungkapnya setelah pak Bangkit menyampaikan bahwa diantara sekian tahapan dalam proses penerbitan, hal yang paling sulit adalah pada tahap penyuntingan.
Akhirnya, pecah telor, anak ayam pun berharap untuk tumbuh menjadi ayam, tidak mati muda apalagi mati di lumbung padi.
Ibarat bayi, takkan mungkin langsung berlari begitu terlahir dari rahim ibu. Tak ada yang sempurna dari setiap pengalaman pertama. Meski begitu, pengalaman pertama yang mendebarkan, bahkan menyakitkan kesadaran kita akan diri yang sebenarnya, akan selalu manis rasanya. O… bahkan pengalaman putus cinta atau drop out pertama kali, sesakit apapun, akan menjadi sesuatu yang manis, meski tak ingin kita alami kembali.
Tidak hanya Galang, saya dan semua apresiator yang sore itu turut berbahagia dan berbangga dengan Langit Jingga Dewantara, berharap anak-anak ayam ini akan tumbuh besar, mampu mencari makan sendiri, sehingga kuat, berotot, kenyal, dan gurih dagingnya.
Selamat menulis generasi literat Trenggalek….
Salam literasi….
#Bangoan, Minggu, 22/2/2015; 09:09