Belajar Kehangatan Cinta

Ditengah menjalankan tugasku sebagai Pandu Desa, aku berusaha untuk membuka selebar-lebarnya ruang belajarku. Kesempatan yang tak lebih dari 3 bulan ini harus kumanfaatkan untuk belajar sebesar-besarnya. Bukan hanya belajar tentang tugasku, tapi tentang kehidupan, sesuatu yang tersembunyi dariku selama ini. Yang hanya dapat kubaca dari teks-teks, dan kisah-kisah di layar kaca. Kini, aku berkesempatan untuk belajar langsung dari para guru-guru kehidupan.

Menjelang kami pulang, masih juga bocah itu memberikanku pujian. “Teman mama cantik.” Bukan itu sesungguhnya yang mebuatku menekuri, betapa hangatnya anak yang diberi kelebihan Tuhan ini. EMPATI. Sesuatu yag semakin mengikis dari hati-hati kita, manusia yang mengaku terpelajar, normal, bertitel, menjadi fasilitator dan tutor yang dipercaya dan diikuti banyak orang. Empati yang hanya ditampakkan pada orang-orang yang mendukungnya, memudahkan pekerjaannya, memuji-mujinya…. ah…. empati yang sangat palsu…

Sang mama merasa tak perlu menutupi kondisi putranya. Semua keluarga harus bisa memberi dukungan dengan tidak menyembunyikan dari siapapun juga. “Anak saya autis, bunda. Cita-cita saya hanya bagaimana dia bisa mandiri dan bisa menolong dirinya sendiri kelak,” katanya suatu saat dalam perbincangan di Sanggar Kepenulisan PENA Ananda CLUB.

Tak bisa aku berhenti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama berulang kali, sembari batin yang berhentak-hentak tak karuan. Apalagi ketika berulangkali dia mendadak berseru “Mama sayaaaaaaang,” sambil membentangkan kedua lengannya. Melihat mamanya repot menyiapkan ruang yang akan saya tempati selama 3-4 bulan kedepan, ia mengurungkan niatnya memeluk mamanya. Beberapa waktu kemudian dia berseru kembali…. “Mama sayaaaaang.” Tapi masih juga urung memeluknya. Sampai suatu saat seruan itu berbuah pelukan hangat diantara mereka berdua.
Ketika mama akan pergi beberapa saat membeli bothok, dengan hangat dia berpesan,”Hati-hati ya mama.” Dia akan mengulangnya sampai sang mama benar-benar meninggalkan rumah. Bocah remaja itu juga berebut aku dan mas Siwi dengan saudara sepupunya. “Ini bundaku!” Tapi ia lebih memilih untuk mengalah, tanpa rasa amarah.
Saat kami akan meninggalkan rumah yang beberapa hari lagi akan aku tempati salah satu ruangnya,”Kapan bunda ke sini lagi?” tanyanya.
“Jumat pagi Insya Allah bunda kesini lagi.”
“Pagi ya bunda?”
“Iya, jam 8 bunda sudah kesini.”
“Hati-hati ya bunda.”
[***]
‪#‎Bangoan‬, Rabu, 18/2/2015; 19:03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *