TIGA PENYEBAB UTAMA hancurnya suatu
bangsa adalah serbuan negeri lain, perang antar saudara dan pertikaian
antar agama. Jatuh bangkitnya kerajaan-kerajaan di nusantara, utamanya
tanah Jawa tidak dapat dilepaskan dari tiga hal itu. Manusia memang suka
menguasai manusia lain. Golongan satu suka menguasai golongan lain. (GIRINDRA: Pararaja Tumapel-Majapahit, hal. iii)
Selama
sekitar 6 jam Sarasehan Sejarah Tulungagung yang digelar Rumah Budaya
Nusantara Sangtakasta (Desa Tugu, Kec. Sendang, Kab Tulungagung),
kemarin Senin (21/4/2014) diakhiri dengan pertanyaan yang cukup menukik
dari pak Maryoko, satu-satunya pelukis kaca Tulungagung.
“Kalau
kita kilas balik di ranah lampau, itu selalu terjadi intrik, artinya
saling membunuh untuk kekuasaan. Kayaknya jika kita tarik ke masa
sekarang, selalu sama, intrik selalu ada. Apakah peristiwa sejarah itu
bisa ditarik ke masa sekarang, artinya kalau dulu terjadi intrik,
sekarang pun demikian?”
Sudah menjadi rahasia umum,
jika sejarah dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan, demikian pak
Triyono membuka jawabannya. Dari jaman dulu sampai detik saat ini, tetap
demikianlah wataknya, yang sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat
Indonesia. Bahkan ada mata kuliah khusus yang mempelajari tentang hal
ini.
Watak ini juga dengan tegas telah ditulis Siwi
Sang dalam buku sejarah GIRINDRA: Pararaja Tumapel-Majapahit pada
halaman judul, yang saya cuplik di awal tulisan ini. Trik dan intrik
dapat memicu perang antar saudara dan pertikaian antar agama,
dan sayangnya itu sudah menjadi watak dan karakter manusia. Bukan hanya
manusia Indonesia saja sesungguhnya, sebagaimana yang diklaim sejarawan
Triyono.
Dan kenyataannya, saat ini, perang antar saudara yang tidak lagi antar suku (meskipun masih ada di bumi nusantara), tapi ditunjukkan oleh peperangan antar partai.
Peperangan ini telah memunculkan budaya baru, sebagaimana disinyalir
dan diungkapkan oleh sejarawan pak Haris Daryono, yaitu budaya botohan, yang masuk dalam kategori perjudian. Botohan
ini sangat tampak dengan jelas sejak peristiwa Pilkada hingga Pileg
yang baru lalu. Gambarannya adalah demikian, calon-calon ini memberi
uang kepada pemilih dengan perjanjian, jika dia jadi, uang itu menjadi
milik pemilih. Tapi jika dia tidak jadi, maka pemilih harus
mengembalikan uangnya 2 kali lipat.
Waaawww…. Jika memang benar, inilah demokrasi intimidasi. Bukan hanya money politic alias sebar-sebar uang saja, tapi sudah lebih jauh ke tindakan ancaman, intimidasi, pemerasan.
Beginilah potret perang antar saudara yang saat ini terjadi di negeri kita tercinta Indonesia. Peperangan yang melahirkan demokrasi baru, demokrasi botoh, dan para penguasa botoh, serta wakil-wakil rakyat yang terhormat akan menjadi Dewan Perwakilan Pembotoh.
Inilah tanda-tanda nyata (bukan mitos) hancurnya sebuah bangsa,
sebagaimana yang ditulis Siwi Sang. Yang pada akhirnya memancing tanya
besar setelah terjawabnya pertanyaan pak Maryoko, akankah kita sebagai
bangsa Indonesia, merelakan kehancuran ini? Jika tidak, apa yang harus
segera kita lakukan untuk menyelamatkannya?
–Zakiyah—
#PenaAnandaClub
Selasa, 22-04-2014; 08:23
