Sore ini tadi (Jum’at, 19/4/2014) 7 TBM Tulungagung
berkumpul di sudut tenggara Taman Kusuma Wicitra (alon-alon)
Tulungagung. Agendanya adalah membahas rencana teknis gebyar Tulungagung
Membaca 2014 yang akan dilaksanakan pada hari Minggu, 11 Mei 2014 yang
tinggal beberapa hari lagi. Sungguh kerja yang hebat para pejuang muda
literasi Tulungagung.
Ada satu hal yang
sangat menarik perhatian saya, diluar agenda utama tersebut. Apalagi ini
berhubungan dengan topik yang dibahas pada silaturrahim peresmian Rumah
Belajar MEP Jombang, oleh mas Agus Irkham, yaitu bagaimana TBM juga
menjadi penggerak kepenulisan.
Pertama, saya
mendapatkan CERIA Magazine dari Abd. Mukhosis, atau yang biasa saya
panggil Chosis. Sekilas saya ceritakan, saya mengenal sosok ini ketika
dia masih aktif di LPM Dimensi STAIN (yang sekarang berubah nama menjadi
IAIN) Tulungagung. Di magazine ini, Chosis bertindak sebagai
penanggungjawab. Majalah ini diterbitkan oleh yayasannya, yang juga
mempunyai TBM Cendekia Nusantara. Menurutnya, mayoritas penulis adalah
anak-anak yang biasa berkunjung di TBM-nya yang berdomisili di Desa
Pakisaji, Kecamatan Kalidawir, Tulungagung. Majalah bulanan ini lumayan
tebal, terdiri dari 24 halaman yang terdiri dari rubrik cerpen, wisata
lokal, tokoh, tips, puisi, dan kajian. Dan yang saya terima adalah edisi
ke-19, artinya pertama kali terbit adalah 19 bulan lalu.
Tidak
mengherankan, semangat jurnalistik Chosis telah memantikhidupkan TBM
Cendekia Nusantara hingga sejauh ini. Sementara, Chosis baru bergabung
dengan gerakan literasi Tulungagung untuk pertama kalinya di pertemuan
sore ini. Waduuuuh, bagaimana mungkin selama 19 bulan kita tak
mengetahui keberadaannya? Apakah kampanye kita selama ini tak sampai ke
Pakisaji? Tapi yang pasti, selalu ada momentum untuk mempertemukan
seluruh potensi literasi lokal.
Awalnya Chosis
membagikannya secara gratis. Tapi saya menolak. Saya punya pengalaman
bagaimana manajemen penerbitan ini sangat bergantung pada dana, biarpun
hanya seharga 1000-2000, itu sangat berarti untuk menunjang
kesinambungan media. Dia menolak, awalnya, menerima uang ganti cetak,
tapi akhirnya diterima juga. Ini juga pembelajaran bagi kita. Bahwa
mengganti ongkos cetak sesungguhnya adalah apresiasi terendah yang kita
berikan terhadap step penerbitan. Terbayangkah, bagaimana jerihpayah
penulisnya untuk menghasilkan satu karya? Kita yang memiliki kesadaran
berliterasi, rasanya sangat naif jika membiarkan budaya “gratisan” untuk
sebuah gerakan literasi lokal.
Kedua, saya
juga menerima Bulletin “IDEA” yang dikeluarkan oleh TBM “Rumah Ilmu”.
TBM dan bulletin ini dipandegani oleh Ahmad Asroji yang sekarang menjadi
mahasiswa pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam IAIN Tulungagung.
Juga tak mengherankan, karena TBM ini memiliki staf ahli, Saiful
Mustofa, yang tulisannya banyak berseliweran di FB dalam bentuk catatan.
Buletin ini terdiri dari 4 halaman, dan yang saya terima adalah edisi
01 / 17 April 2014.
![]() |
| CERIA Magazine edisi XIX (diterbitkan TBM Cendekia Nusantara) dan Bulletin “IDEA” edisi 01 (diterbitkan TBM “Rumah Ilmu”) ada di tangan saya. Good job! |
TBM MENULIS…
Sebenarnya
sudah muncul di Tulungagung, terlepas bentuk medianya. Ya, jika
menggunakan media cetak, harus diakui, butuh dana yang tidak sedikit.
Tampaknya CERIA Magazine memilih model PoD, Print on Demand,
dicetak sesuai dengan kebutuhan. Begitu juga Bulletin “IDEA”. Namun kita
juga bisa menggunakan media non biaya besar, yaitu elektronik-media,
seperti e-magazine, atau e-bulletin. Sayang sekali,
media elektronik ini sangat rawan terhadap kejahatan plagiasi. Saya
merasa sedih ketika mengetahui jerih payah anak-anak, kawan-kawan, dan
saya sendiri harus beralihmilik menjadi atas nama orang lain di media
komersil.
Apa yang sudah dilakukan oleh kedua TBM ini
patut diapresiasi. Sekecil apapun, upaya ini perlu mendapatkan dukungan
sebisa yang kita lakukan. Pada awalnya adalah dengan tidak berbahagia
menerima jerihpayah mereka secara gratisan, hehehe… Selanjutnya
terserah Anda…. š
