[sebuah catatan perjalanan fisik dan jiwa]
Hari
Minggu kemarin sungguh istimewa. Tapi sebelumnya saya minta maaf kepada
sahabat pak Setio Hadi, karena kami tak bisa menghadiri undangan malam
Minggu-nya. Kami harus mempersiapkan fisik untuk perjalanan
Jombang-Sendang yang ternyata memakan 20 jam. Berangkat ke Jombang pukul
07.10 (Minggu, 13/4/2014) dan pulang dari Tugu, Sendang, Tulungagung
pukul 01.00 (Senin, 14/4/2014). Tetap bersama sahabat kami tercinta,
Sang Kuda Angin Putih… whuuuiiiiiing….. 🙂
Tepat
jam 09.00 kami sudah nyangkruk di Kebon Rojo, Jombang untuk menikmati
gadogado dan kopi pagi. Sekedar mengusir angin yang bersarang di
sepanjang perjalanan pagi kemarin. Setelah genap tenaga kami, kami
melanjutkan langkah yang tak jauh lagi, menuju Rumah Belajar Mep Yusron.
Cukup lama kami berputar-putar mencari alamat yang diberikan. Jalan
Agus Sali No.9, dekat RSUD Jombang yang berjalan Wachid Hasyim. Ternyata
gang-gang di kanan kiri sepanjang jalan Wachid Hasyim menggunakan
nama-nama tokoh besar masa kerajaan Majapahit. Hanya satu jalan yang
menggunakan nama Pahlawan Nasional, di depan RSUD, Jln. Setia Budi.
Mengikuti petunjuk tukang becak, kami memasuki jalan itu dan akhirnya
menemukan sederetan jalan nama Pahlawan Nasional, salah satunya Agus
Salim.
Alhamdulillaah, lega rasanya begitu melihat pak
Yusron dan Cak Nasrul Ilahi yang menerima kami dengan hangat. Bertemu
kembali dengan kawan-kawan Deklarasi Solo (dengan perasaan yang sangat
bersalah, karena ada amanat yang belum tuntas saya laksanakan). Bangunan
tempo dulu dengan halaman yang tak seberapa luas, disulap menjadi
tempat kami dan para undangan akan membentuk majlis ilmu hari itu.
Pagi
yang sangat luar biasa. Agenda utama RB MEP adalah peresmian Rumah
Belajar MEP yang ditandai dengan Bedah Buku, Training Penulisan bersama
penulis nasional Agus M Irkham (Direktur Litbang FTBM Pusat). Banyak hal
yang menarik, karena pembicaraan dari awal sampai akhir majlis, mulai
paparan pak Yusron tentang latar belakang pendirian Rumah Belajar MEP,
paparan tentang kepenulisan oleh mas Agus Irkham, pak Haryo, pak Henri,
pak Siwi Sang, pak Wibowo, kang Luqman Bin Husain, dan pak Mahbub
Junaidi, semuanya bermuara ke satu simpul, yaitu bagaimana menjadi
MANUSIA DAN BANGSA YANG BERMARTABAT.
![]() |
| Ust. Yusron bersama dengan para pendiri Rumah Belajar MEP di Jl. Agus Salim 9, Jombang. RB ini terbuka untuk masyarakat umum yang ingin menggunakan untuk kepentingan pembelajaran. |
Bukan
hanya itu, bahkan diskusi-diskusi kecil yang dilakukan sebelum acara
dimulai, dengan mas Dian (penulis Jombang), pak Unggul K (pengelola
salah satu TBM di Jombang, saya lupa namanya), Cak Nas; selama makan
siang (dengan kawan-kawan deklarator Solo dan TBM, pak Mahbub, jeng Puji
(Bojonegoro), ibu yang dari Nganjuk (maaf, lupa nama), 2 siswi SMKN 2
Jombang, dan sangat banyak sahabat istimewa pagi itu. Meski saya tak
mengenal secara langsung dan mungkin sempat berjabat tangan tapi belum
tahu namanya, sejumlah penulis hebat (selain yang sudah saya sebut di
atas) juga hadir ada kesempatan ini.
Bahkan,
kemartabatan melalui menulis, sebagaimana diungkap mas Agus Irkham
adalah “sejatinya menulis adalah untuk mengukur kebodohan kita, dan
menunjukkan rasa syukur kita atas karuniaNya berupa kelengkapan piranti
yang sudah menjadi modal melekat bagi seorang penulis”.
Menulis adalah PILIHAN, salah satu pilihan untuk menjadi LEBIH BERMARTABAT.
Tentang
pilihan ini pulalah yang diusung oleh dalang Ki Sudrun, Wayang Wali,
dalam lakon “Damar Nusantara, Kembalinya Kukang ke Pangkuan Majapahit”.
Pagelaran wayang wali ini menjadi salah satu tanda dimulainya Rumah
Budaya Sangtakasta, dengan Kenduri Budaya, tadi malam.
Jadi
usai majlis di Rumah Belajar MEP, sekitar pukul 15.30, kami berdua
langsung meluncur ke desa Tugu, Sendang, Tulungagung untuk menghadiri
Kenduri Budaya. Kami sempat mampir ke kedai kopi di Gampengrejo dan
masjid. Pukul 19.00, kami sudah di lokasi Rumah Budaya Sangtakasta.
Hampir bersamaan dengan kami, hadir pak Aris Soviani, SH, MHum, (Kepala
Balai Pelestari Cagar Budaya Trowulan, yang dalam kesempatan tadi malam
hadir atas nama Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud RI) bersama pak Haryadi
Pamungkas (BPCB Jatim, Pengelola Museum Wajakensis Tulungagung), Bapak
Camat Sendang, Kades Tugu, serta para budayawan dan seniman Tulungagung,
diantaranya mbah Wiji Paminto Rahayu, pak Wawan Susetya, pak Yoyok
(pelukis kaca), sejarawan pak Triyono, pak Sugeng, bersama kru yang
hebat (pa Wahyu Pujiono, Hilmie Zain, Nasrudin Hasna, dkk).
![]() |
| Bapak Aris Soviani (Kepala BPCB Trowulan, a.n. Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI) menyerahkan wayang kepada dalang Ki Sudrun (wayang wali). |
Dalam
lakon ini, Sang Semar memberikan pertanyaan warga, manakah yang banyak
dipilih oleh orang-orang Nusa Jawa diantara 4 akhiran “uk” (dalam bahasa
Jawa) atau Allah: Kupluk (kepala, tahta) atau Allah, Tutuk (kekuatan bicara) atau Allah, Waduk (perut) atau Allah, Bawuk (kemaluan) atau Allah. PILIHAN
itulah yang akan menempatkan MANUSIA dan BANGSA ini menjadi BERMARTABAT
atau sebaliknya.
Dan sejarah manusia, sejarah
Nusantara, telah mencatat, pilihan selain kepada ALLAH sebagai pilihan
utama, akan menuai kehancuran.
Alhamdulillaah…..
Sungguh makna yang sangat berharga kami berdua tuai di hari Minggu,
kemarin. Minggu yang dipenuhi dengan kemartabatan, untuk memacu kita
menjadi insan yang lebih bermartabat.
Salam….
🙂
–

