Sebuah PENGANTAR karya Siwi Sang — GIRINDRA: Pararaja Tumapel-Majapahit

Saya merasa tersanjung diberi kesempatan oleh penulis untuk memberikan
kata pengantar pada buku ini, mengingat latar belakang akademik saya
bidang seni (praktisi seni) dan bukan bidang sejarah, sebenarnya buku
ini tidak selayaknya kata pengantar dari saya, atau kurang tepat untuk
memberikan catatan sebagai kata pengantar. Namun karena permintaan dari
sahabat yang penuh harap, akhinya saya tidak bisa menolak.


Setelah
membaca dan mencermati, saya memberikan apresiasi setiggi-tingginya
kepada saudara Siwi Sang sebagai penulis yang telah dengan telaten penuh
rasa kasih, dalam waktu yang relatif panjang tanpa rasa lelah
mencurahkan perhatian, pikiran, dan tenaganya atas terwujudnya buku
sejarah yang berjudul “GIRINDRA”.



Telah diketahui bersama,
bahwa mengamati, membaca, menganalisa, menafsirkan, dan menulis sejarah
bukan pekerjaan mudah. Bukan sebuah keharusan bahwa penulis sejarah
berlatar belakang ilmu sejarah, apapapun latar belakang keilmuannya
apabila konsen terhadap kesejarahan terlebih sejarah bangsa, sejarah
tumpah darahnya, disertai dengan “ruh” cinta kasih terhadap budaya
warisan leluhur, siapapun bisa melakukan dan akan menghasilkan maha
karya sejarah bangsanya.


Pada umumnya ilmu membawa kita dari
soal yang satu kepada yang lain dan dalam melakukan ilmu, yaitu dalam
mempergunakan ilmu dalam keperluan yang nyata, penafsiran dapat
diwujudkan menjadi penentuan. Demikian juga dengan ilmu sejarah, Karena
buku ilmu sejarah senantiasa menuntun kepada soal-soal ilmu sejarah
(baik pemerintahan, pergerakan politik, jurnalistik, kritik kesenian,
dsb) penafsiran dapat diwujudkan dalam penentuan.


Bidang
sejarah bagi saya adalah sumber ilmu kebudayaan yang tiada tara. Dengan
belajar sejarah terlebih menyenangi, hidup seraya ada artinya. Munculnya
rasa bangga dan percaya diri, rasa nasionalisme dan patriotisme, cinta
kasih dan budi pekerti, semua tidak lepas dari sejarah yang diwariskan
secara turun-temurun, secara langsung yang kadang dibumbuhi
mitologi-mitologi absolut. Warisan kuna arkeologis baik verbal,
piktoral, dan artefak memperkokoh keyakinan bahwa pada saatnya renaisans
itu akan lahir kembali sebagai sebuah siklus hidup.


Renaisans
pada Abad Pencerahan di Eropa berlangsung selama 25-50 tahun, dan tiba
pada titik puncaknya pada tahun 1500. Renaisans berasal dari bahasa
Perancis, renaissance, artinya “kelahiran kembali”. Berbeda dengan
renaisans di Eropa, yang mengimpikan kelahiran kembali masa keemasan
budaya klasik, terutama budaya Yunani dan Romawi kuna. Demikian pula
renaisan Budaya Yogya saat Sri Sultan Hamengku Buwana I pasca Babad
Giyanti, dengan lahirnya arsitektur, filsafat, kesusastraan, sebagaimana
di Eropa keluar dari kegelapan intelektual Abad Pertengahan. Jepang
pasca Bom Atom Hirosima Nagasaki tumbuh begitu pesat dengan tatanan yang
khas. Kepribadian yang kokoh tertancap ibarat tiang pancang yang kokoh
tegak dalam bingkai kulturalnya, seraya dijiwai semangat samurai,
sehingga ciri khas Jepang tetap kukuh-kuat disegani dunia.



Sebagai sebuah buku sejarah, GIRINDRA terbagi dalam 3 bagian yaitu: 1.
Wangsa Ishana, Raja Sindok yang bergelar Mpu Sindok Shri Ishanawikrama
Dharmottunggadewa (929M-947M) penerus kerajaan Medang i Mataram (Jawa
Tengah), yang selanjutnya membangun kerajaan baru Panjalu dan Jenggala
oleh para wangsanya atau keturunanya (sekarang: Kediri-Malang Jawa
Timur). 2. Tumapel / Wangsa Rajasa, Ken Arok yang bergelar Shri Ranggah
Rajasa Sang Amurwabhumi (1227-1246M) yang mendirikan kerajaan
Singhasari. 3. Majapahit/ Shangghrama Wijaya, bergelar Kertarajasa
Jayawarddhana (1293M-1309M) mendirikan kerajaan Majapahit.



Buku ini sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan pembaca, betapa
pentingnya isi buku ini, tidak saja bagi mereka yang aktif bekerja di
bidang sejarah dan kepurbakalaan, bidang kebudayaan, bidang pembangunan
termasuk para perencana pembangunan.

 
Disamping itu, dunia
pendidikan khususnya para pemangku didik (guru) dan para siswanya sangat
perlu membaca dan mempelajari dengan baik, karena buku ini lugas,
gamblang, analisanya cermat dan kritis didukung dengan data-data ilmiah
yang dapat dipertanggung jawabkan. Tidak berlebihan apabila saya
mengatakan bahwa buku GIRINDRA ini, telah mengurai benang kusut
kesejarahan raja-raja Nusantara khususnya Jawa Timur, dan lebih khusus
lagi eksistensi Kalangbret dan Boyolangu dan sekitarnya (Tulunggung
sekarang) seperti yang ditulis di Negarakretagama dan Pararaton,
termasuk menggugurkan beberapa tafsir sejarah oleh para penulis sejarah
sebelumnya.

 
GIRINDRA buku setebal sekitar 300 halaman, hendaknya
akan memberikan semangat renaisans (kelahiran kembali) bagi para pembaca
terlebih pemangku kebijakan (pemerintah) daerah, pelajar dan mahasiswa,
masyarakat dari semua lapisan khususnya di Jawa Timur, lebih khusus
lagi putra-putra daerah Tulungagung (Ngrawa-Kalangbrat) dan sekitarnya
lembah pegunungan pantai selatan dan rawa-rawa yang dulunya dibawah
kekuasaan kerajaan Lodoyong. Buku GIRINDRA ini dapat memberikan spirit,
ruh baru guna terwujudnya renaisans kebudayaan baru dalam percaturan
global, tidak berarti apa yang telah terpaparkan berdasar analisa ilmiah
yang kritis adalah kajian yang paling sempurna dan benar. Kekurangan
sudah barang tentu ada, sebagaimana telah tertulis diatas, bahwa kajian
sejarah adalah penafsiran arkeologi dan kajian lapangan lainnya, sebagai
penentuan akhir.


Saya sependapat dengan analisa kritisnya
saudara Siwi Sang yang telah berani mengatakan secara eksplisit bahwa
wilayah Tulunggung sekarang merupakan daerah yang mempunyai kedudukan
penting dan strategis, dibuktikan dengan beberapa nama-nama daerah,
tempat makam Raja dan peninggalan arkeologi.


Nama daerah
bersejarah diantaranya: Kalangbret (Kalang, Kakalangan, Kala), Ngrawa
(rawa), Lawadan, Geger, Pager, Panjer, Pulotando merupakan daerah yang
berperan penting pada masa sejak sebelum pemerintahan raja Mpu Sindok
(929M-947M) Kahuripan-Kediri sampai masa akhir pemerintahan Majapahit
perempat pertama Abad XVI Masehi.


Tempat makam Raja yaitu,
Kalangbret (Kakalangan, Kalang, Kala) adalah makam Bhatara Parameswara
Mahisa Wonga Teleng (prasasti Mula Manurung 1255M). Pagerwaja (Pager)
adalah makam Tunggul Ametung nama candi Narasingajaya (prasasti Mula
Malurung 1255M). Boyolangu (wisepura) adalah makam Dyah Rajapadni
Gayatri (1350M). Boyolangu (wisesapura) Wikramawardana (1427M).
Waringin Pitu adalah makam Sri Kertawerdhana (1386M).



Peninggalan arkeologi berupa candi diantaranya: Candi Panampihan, Candi
Sanggrahan, Candi Miri Gambar, Candi Dadi, Candi Gemali, Candi Bubrah,
Candi Wurung, dan sebagainya. Berupa prasasti diantaranya: Parasasti
Sapu Angin (Kalangbret), Prasasti Galunggung (Panjer), Prasasti Biri
(Kalangbret), Prasasti Sumberingin Kidul (Ngunut), Prasasti Gunung Wilis
(Sendang), Prasasti Waringin Pitu (Kedungwaru), Prasasti Penampihan
(Sendang), dan sebagainya. Berupa Situs diantaranya: Situs Gua Pasir
(Kalidawir), situs Gua Tritis (Boyolangu), situs Gua Selomangleng
(Boyolangu), situs Mbah Bodho (Sendang), situs Umpak (Boyolangu), situs
Gilang (Kedungwaru), situs Setren (Besuki), Situs Sawahan (Kauman), dan
sebagainya.

 
Apabila Sanusi Pane dalam bukunya Sejarah Indonesia I
(Balai Pustaka, 1952) belum dapat mengurai sejarah wangsha Ishana yakni
Mpu Sindok serta keturunannya, konflik berdampak pembelahan
Panjalu-Janggala yang mitologis itu tidak tuntas, hal tersebut
dikarenakan mungkin pada waktu itu masih belum lengkapnya data arkelogis
yang diketemukan. Baru kemudian, Prof. Dr. Slametmulyana dengan bukunya
Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (Bhratara Karya Aksara, 1979)
yang menggemparkan itu terbit, telah semakin membuka misteri sejarah
Nusantara dari masa pemerintahan Mpu Sindok, Singhasari, sampai dengan
Majapahit dari awal Abad X – XVI Masehi. Karya sejarah itu telah
mengugurkan semua analisa sejarah sebelumnya oleh para sejarawan asing
seperti W.P. Groeneveld (Indonesia and Malaya, 1960) dan G. Coedes (The
Indianized states of Southeast Asia, 1966).


Kali ini, setelah
35 tahun sejak Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya terbit, saudara
Siwi Sang telah berhasil mengemukakan hasil penelitihan dengan tafsir
kritisnya terhadap sejarah raja-raja di Jawa Timur yang diberi judul
GIRINDRA. Pada dasarnya, apa yang ditulis saudara Siwi Sang dengan apa
yang ditulis Prof. DR. Slametmulyana sama, artinya sama-sama menggunakan
babon yang sama yakni Pararaton, Negarakretagama, serta Babad Tanah
Jawa. Perbedaan menyolok terletak pada tafsir tata letak geografis pusat
pemerintahan (kerajaan), tempat makam suci, dan nama tempat yang telah
berubah. Hal ini terjadi dimungkinkan dengan pendekatan teori yang
berbeda disamping berdasarkan penemuan data arkeologi yang lebih
mutakhir sebagai sumber acuannya, pro-kontra adalah sesuatu yang lumrah
dalam kajian sejarah.


Sebagai karya sastra sejarah, buku
dengan judul GIRINDRA ini rupanya sengaja tidak ditulis dalam format
kaidah karya tulis ilmiah, juga tidak dalam format “pupuh” maupun
“kakawin”. Walaupun demikian buku ini sarat akan analisa ilmiah yang
kritis selayaknya karya ilmiah pada umumnya. Bahasanya mudah dipahami
walaupun semi drama (dengan penggunaan gaya penulisan sastra). Rupanya
penulis sengaja mengajak pembaca untuk masuk dalam imajinasinya terlibat
sebagai pelaku sejarah tersebut mengikuti alur cerita para raja yang
dikisahkan. Bagi pembaca yang tidak terbiasa kadang kebingungan, karena
setiap alur yang diikuti banyak diselingi analisa kritis sebagai penguat
tafsir pembenaran yang kadang bisa mengaburkan fokusnya.


Inilah yang sebenarnya menjadi daya tarik besar dalam GIRINDRA.
Akhirnya, yang perlu disadari bersama bahwa sejarah itu penting.

Dengan belajar sejarah akan mengetahui latar belakang perjalanan bangsa
sebagai ancangan kita ke depan. Melalui pemahaman sejarah disertai
penguatan budaya dengan local wisdomnya yakni budaya sendiri, akan
menjadikan ketahanan bangsa semakin tangguh dalam menghadapi arus deras
budaya global. Mulailah membaca, dan bacalah buku GIRINDRA.



Untung Muljono
Seniman, Dosen Tari dan Sejarah Budaya – ISI Yogyakartaa

———-

TELAH TERBIT…….

Judul : GIRINDRA: Pararaja Tumapel-Majapahit
Penulis : Siwi Sang
Kategori : Nonfiksi (Sejarah)
Penerbit : Pena Ananda Indie Publishing – Tulungagung
Alamat : Perum. Bangau Putih L-9 Tulungagung 66219 Jatim
ISBN : 978-602-98200-6-5
Cetakan ke-1 : Desember 2013
Halaman : xxviii + 279 halaman
Ukuran : 13 cm x 20,5 cm
Cover : Doff – Emboss
Harga : Rp. 70.000,-

Pembelian (pemesanan dengan pembayaran dimuka) hingga tanggal 29
Desember 2013, ada diskon 15%. Harga diluar ongkos kirim (didalam dan
luar Tulungagung)

PEMESANAN MELALUI SMS ke +628983456885, dengan format:
GIRINDRA#jml_buku#nama_pemesan#alamat_pemesan#nama_bank_pemesan.

Pemesan akan menerima balasan dengan format:
Jml_transfer#no.rek_penerbit#nama_pemilikrekening

Jika pemesan telah melakukan transfer, beri berita dengan format:
Jml_transfer#waktu_transfer#nama_pemilikrekening_pemesan

Hadiri:
Launching dan Talkshow (perdana) GIRINDRA : Minggu, 29 Desember 2013,
pukul 08.00 – selesai, di Ruang Audiovisual Perpustakaan Daerah (timur
alon-alon) Kabupaten Tulungagung.

——–
 

2 thoughts on “Sebuah PENGANTAR karya Siwi Sang — GIRINDRA: Pararaja Tumapel-Majapahit

  1. 1. Sebagai karya tulisan hasilnya patut dihargai.
    2. Beberapa fakta yang dimuat di blog tulisan Siwi Sang baik tentang Tulungagung dan lainnya beberapa bersifat spekulatif seperti cerita fiksi.
    Misalnya, Lodoyong diidentifikasi dengan Tulunagung, Kampak masuk wilayah Tulungagung, dan Trenggalek bagian Tulungagung sejak awal, sangat bertentangan dengan fakta sejarah. Tampaknya belum dibaca oleh Siwi Sang. Penyimpulan fakta dalam tulisannya dilandasi otoritas transendental. Contoh lain, ketika menjelaskan Wangsa Selendra Mataram Kuno, dengan enteng Siwi Sang menyusun daftar Tahun Ratu Sima, Sanjaya dan diawali dari Dapunta Selendra yang katanya asal Sumatra. Mataram Kuno berasal dari Wangsa Selendra dan Wangsa Sanjaya. Ini menunjukkan Siwi Sang belum membaca sejarah, utamanya tulisan Prof. Buchori.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *