Sudah menjadi kelaziman (tak saya katakan sebagai keniscayaan), setiap
manusia melakukan aktivitasnya atas dasar keinginan untuk mendapatkan
keuntungan atau manfaat sebesar-besar dengan usaha yang sekecil-kecilnya.
Lumrah bin wajar. Begitulah konsep yang secara nalar lebih dapat diterima.
Maka, ketika suatu aktivitas tidak memberikan keuntungan dan manfaat yang kasat
mata, tidak diterima dalam kategori bekerja.
manusia melakukan aktivitasnya atas dasar keinginan untuk mendapatkan
keuntungan atau manfaat sebesar-besar dengan usaha yang sekecil-kecilnya.
Lumrah bin wajar. Begitulah konsep yang secara nalar lebih dapat diterima.
Maka, ketika suatu aktivitas tidak memberikan keuntungan dan manfaat yang kasat
mata, tidak diterima dalam kategori bekerja.
Rasionalitas ini berdampak pada pandangan-pandangan yang ambigu bahkan
paradooks terhadap suatu kegiatan. Seperti kegiatan penerbitan yang saat ini
semakin meningkat, baik penerbitan karya buku maupun media. Apakah sebuah upaya
penerbitan hanya memiliki motif untuk mendapatkan keuntungan, atau ada
motif-motif lain yang bahkan lebih tinggi ketimbang karya tersebut. Demikian
pula kegiatan-kegiatan lain, seperti halnya pendidikan dan kesehatan, yang tak
bisa lepas dari motif-motif ekonomi.
paradooks terhadap suatu kegiatan. Seperti kegiatan penerbitan yang saat ini
semakin meningkat, baik penerbitan karya buku maupun media. Apakah sebuah upaya
penerbitan hanya memiliki motif untuk mendapatkan keuntungan, atau ada
motif-motif lain yang bahkan lebih tinggi ketimbang karya tersebut. Demikian
pula kegiatan-kegiatan lain, seperti halnya pendidikan dan kesehatan, yang tak
bisa lepas dari motif-motif ekonomi.
Sebuah tindakan atau kegiatan, memiliki nilai yang sangat tinggi jika berdampak
pada manfaat yang luas, serta perubahan secara luas (pula) dan kuat. Bukan
hanya itu, tapi juga harus diperhitungkan kesinambungannya, sehingga manfaat
itu dapat diterima lintas generasi. Maka, pertimbangan terakhir (tentang
kesinambungan), inilah yang dapat dipergunakan sebagai motif lebih kuat, selain
motif keuntungan, yaitu motif kebutuhan dan sosial.
pada manfaat yang luas, serta perubahan secara luas (pula) dan kuat. Bukan
hanya itu, tapi juga harus diperhitungkan kesinambungannya, sehingga manfaat
itu dapat diterima lintas generasi. Maka, pertimbangan terakhir (tentang
kesinambungan), inilah yang dapat dipergunakan sebagai motif lebih kuat, selain
motif keuntungan, yaitu motif kebutuhan dan sosial.
Motif sebagai alasan-alasan yang mendorong seseorang atau sekelompok orang
untuk melakukan tindakan atau aktivitas tertentu, adalah suatu yang sangat
personal/komunal dari dalam diri mereka, meskipun ada aspek-aspek eksternal
yang menguatkan motif itu muncul. Sesuatu yang bersifat internal dan personal,
memiliki daya dorong dan daya tahan yang sangat kuat, hingga mempengaruhi
seseorang atau sekelompok orang itu melakukan tindakan atau aktivitas tersebut.
untuk melakukan tindakan atau aktivitas tertentu, adalah suatu yang sangat
personal/komunal dari dalam diri mereka, meskipun ada aspek-aspek eksternal
yang menguatkan motif itu muncul. Sesuatu yang bersifat internal dan personal,
memiliki daya dorong dan daya tahan yang sangat kuat, hingga mempengaruhi
seseorang atau sekelompok orang itu melakukan tindakan atau aktivitas tersebut.
Kekuatan sinergitas motif (motif memenuhi kebutuhan, motif memperoleh
keuntungan, motif memperoleh penghargaan, motif memperoleh kekuasaan, motif
sosial), dalam tataran tindakan akan mendorong seseorang atau sekelompok orang
memberikan yang terbaik, terprima. Bukan hanya kepuasan dirinya yang dikejar,
melainkan kepuasan yang lebih general, luas, meski tak mungkin untuk
mendapatkan kepuasan yang aklamatif. Meski demikian, dominasi salah satu saja,
ya sah-sah saja, meski pada akhirnya menguarkan aroma yang tidak sedap.
keuntungan, motif memperoleh penghargaan, motif memperoleh kekuasaan, motif
sosial), dalam tataran tindakan akan mendorong seseorang atau sekelompok orang
memberikan yang terbaik, terprima. Bukan hanya kepuasan dirinya yang dikejar,
melainkan kepuasan yang lebih general, luas, meski tak mungkin untuk
mendapatkan kepuasan yang aklamatif. Meski demikian, dominasi salah satu saja,
ya sah-sah saja, meski pada akhirnya menguarkan aroma yang tidak sedap.
Ambillah contoh penerbitan sebuah media lembaga, maka pencitraan lembaga
bukan hanya ditunjukkan dalam konten yang mengagung-agungkan lembaga dari
berbagai sisi, melainkan secara implisit juga dicerminkan oleh media yang
diterbitkannya. Bukan sekedar ‘by the cover”, namun juga bagaimana gaya
yang ditampilkan oleh media itu. Hal yang tampaknya “sederhana”
menurut sebagian besar orang, tanpa disadari akan membangun sebuah citra.
Katakanlah, lay out, bahasa tulisan, hingga editing. Perlu dipahami, ketiganya
bukanlah hal yang boleh dianggap remeh temeh, karena ketiganya dapat menjadi
kunci seberapa besar kebenaran pencitraan yang disajikan dalam bentuk pesan
konten. Hal serupa dapat diberlakukan pada setiap bentuk aktivitas dan
tindakan, baik secara personal, komunal maupun kelembagaan.
bukan hanya ditunjukkan dalam konten yang mengagung-agungkan lembaga dari
berbagai sisi, melainkan secara implisit juga dicerminkan oleh media yang
diterbitkannya. Bukan sekedar ‘by the cover”, namun juga bagaimana gaya
yang ditampilkan oleh media itu. Hal yang tampaknya “sederhana”
menurut sebagian besar orang, tanpa disadari akan membangun sebuah citra.
Katakanlah, lay out, bahasa tulisan, hingga editing. Perlu dipahami, ketiganya
bukanlah hal yang boleh dianggap remeh temeh, karena ketiganya dapat menjadi
kunci seberapa besar kebenaran pencitraan yang disajikan dalam bentuk pesan
konten. Hal serupa dapat diberlakukan pada setiap bentuk aktivitas dan
tindakan, baik secara personal, komunal maupun kelembagaan.
Saya bisa menarik garis yang menghubungkan antara sinergitas motif dengan
profesionalitas. Motif lebih kuat daripada tuntutan manajemen, lebih ‘inner’
dan lebih bertahan lama. Maka saya lebih cenderung untuk menguatkan motif demi
tercapainya profesionalisme. Apalagi jika lembaga ingin mendapatkan tenaga
kerja yang murah atau yang ‘dimurahkan’ (dan yang menjadi kecenderungan di
lingkungan instansi birokrasi), maka suntikkan sinergitas motif yang mampu
mendorong mereka berjibaku secara profesional.
profesionalitas. Motif lebih kuat daripada tuntutan manajemen, lebih ‘inner’
dan lebih bertahan lama. Maka saya lebih cenderung untuk menguatkan motif demi
tercapainya profesionalisme. Apalagi jika lembaga ingin mendapatkan tenaga
kerja yang murah atau yang ‘dimurahkan’ (dan yang menjadi kecenderungan di
lingkungan instansi birokrasi), maka suntikkan sinergitas motif yang mampu
mendorong mereka berjibaku secara profesional.
–05032013, 11:46–