MALING DI RUMAH SENDIRI

Catatan ringan ini terstimuli dari obrolan konyol
dengan seorang teman tentang cara kita mendeteksi sikap ‘kemalingan’ pada diri
seseorang dan diri sendiri. Sekecil apapun, setiap orang pasti memiliki sifat
‘kemalingan’, misalnya orang yang tidak disiplin kita sebut ‘maling waktu’,
‘maling kejujuran’, ‘maling kebenaran’, ‘maling ide’, dan maling-maling
lainnya.
Maling itu dalam selalu melakukan aksinya saat si
korban lengah, lalai, ceroboh atau terbius mimpi alias tidur. Tapi bisa juga
karena ‘sesuatu’ itu tidak memiliki pengaman khusus, seperti halnya ‘ide’, tak
ada alat pengaman khusus sebelum menjadi karja dan kemudian dipatenkan. Maling
lebih pandai daripada korban, karena ia pasti sudah sangat mengenal korban dengan
baik, tabiat, kebiasaan dan kelemahannya. Sama seperti seorang juru tembak, ya
pastinya harus menengali dengan baik dan tepat sasarannya. Seorang penembak
jitu, dia hanya memerlukan sedikit waktu untuk melakukannya, dan mengeksekusi,
beda dengan sang amatir. Begitu juga yang dilakukan maling.

Ketika eksekusi itu dilaksanakan, ia akan berjalan
mengendap-endap (thimlik-thimlik)
tanpa suara, berjingkat-jingkat (cethit-cethit),
merayap (slosor-slosor), atau dengan
cara lain yang tidak terdeteksi dengan indera manual, elektronik, ataupun
gelombang eletromagnetik apapun hingga sampai ke titik yang dituju. Kalau perlu
nafasnya harus bersih, sehingga tidak menimbulkan desisan atau dengkuran dari
lubang hidung tanpa bisa dikendalikannya.
Kalau maling itu tidak sendirian, di jaman dulu,
harus pandai berbisik dengan suara yang menyatu dengan angin, menguasai bahasa
isyarat, atau sinyal-sinyal lain yang disepakati. Sekarang ini gampang, lewat
sms dengan layar hape tanpa nyala, bisa memisahkan sang ‘otak’ dengan
‘eksekutor’.
Obrolan ‘asal’ kami berhenti disitu, karena kami
tidak tahu, kemungkinan apa yang dilakukan oleh pelaku selanjutnya. Hehe.
Sepertinya tak ada yang tidak sepakat, bahkan
menjadi maling pun perlu profesionalitas, kerja keras dan perjuangan. Kejelian
menilai mangsa juga menjadi faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan.
Karena itu, dalam banyak kasus permalingan, sebagian besar ternyata antara
pelaku dan korban sudah saling kenal satu sama lain untuk beberapa waktu
lamanya dalam hubungan yang jelas, misalnya pembantu-majikan, karyawan-bos,
pertemanan (malah persahabatan), karyawan dan institusi, dan bahkan dalam
hubungan persaudaraan dan keluarga permalingan pun bisa tak terelakkan. Selain
faktor ‘telah mengenali korban’ dengan baik, kedekatan ini akan memudahkan
pelaku menghilangkan jejak dengan alibi ataupun dugaan yang meragukan. “Apa ya
tega maling kok punya saudaranya? Ah, kayaknya gak mungkin deh, gak nalar.”
Tak beda dengan KDRT yang fenomenanya mirip gunung
es —yang terungkap jauh lebih sedikit ketimbang kenyataan yang terjadi— sering
terjadi berulang kepada korban karena pelaku merasa aman, rumah tangga adalah
wilayah private. Keluarga (dalam arti
luas, bisa didalamnya terdapat pekerja rumah tangga dan orang-orang lain dalam
satu atap), kantor, hubungan persahabatan, paseduluran,
adalah area yang sangat privasi, masing-masing punya aturan main
sendiri-sendiri yang (katanya) wajib dihormati.
Nah, begitupun dengan aktivitas maling. Rupanya,
sifat kemalingan yang sama dengan sifat criminal lainnya itu, juga tetap
memilih jalur teraman untuk aksinya. Maka ‘rumah-rumah sendiri’lah yang menjadi
sasaran empuk bin nikmat. Selain sudah sangat mengetahui dengan baik, tabiat
dan kebiasaan korban, seluk beluk dan lika-liku persembunyian harta karunnya
(jika berupa material, ia bisa membuat alibi, mencari kambing hitam, dan seribu
satu jalan untuk menyelamatkan dirinya (terlalu banyak kamar dan ceruk untuknya
bersembunyi). Soal malingnya dilakukan beramai-ramai diantara beberapa anggota
rumah itu, itu menjadi urusan lain, bagaimana membungkam semuanya untuk tidak
tarik suara.
Maka kejadian di mana pun tampak sekedar copy-paste dari sifat kemalingan dengan
intensitas yang berbeda diantara kita. Sebagian besar maling, tak ada
kepentingan yang lebih penting kecuali dirinya sendiri. Hanya sebagian kecil
saja yang untuk kepentingan orang lain dan benar-benar dalam kategori manusiawi
(dipersilakan yang hendak penelitian). Apakah itu akan terjadi di ‘rumah’
secara harfiah, kantor/instusi/lembaga atau yang lebih besar dari itu, negara…
Semua maling berharap LOLOS di rumahnya sendiri…
Bangoan,
12 Mei 2012 [10:58]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *