SYUKUR DALAM SAKITKU

Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Ini adalah tulisan pertamaku menggunakan kompi ini,
sebuah karunia yang pasti sangat kusyukuri dan Insya Allah, Allah menguatkanku
untuk memenuhi azamku dengannya.
Hari ini, tepatnya awal malam ini, alhamdulillaah,
badanku sudah lebih nyaman untuk bisa duduk di depan kompi tanpa rasa yang
mengganggu, setelah ujian mendadak selama 3 hari ini. Di tengah
ketakberdayaanku, menjelang tengah malam, suamiku pun mendadak panas, dan
alhamdulillaah sore ini pun sudah cukup membaik.
Bersyukur ketiga anak kami bisa merawat kami
disela-sela waktu pulang sekolah hingga malam hari, bahkan si bungsu
benar-benar mirip seorang perawat yang amat lucu dan sabar. Namun kemarin
siang, aku sempat dikagetkan karena suhu badannya yang tiba-tiba menaik.
Serius, tak ada yang bisa kulakukan untuk siapapun dalam kondisiku seperti ini
kecuali dzikir dan berdoa. Alhamdulillaah, tidak berkepanjangan, tadi pagi dia
sudah bugar, meski kemudian berganti si sulung yang mendadak sakit bahu sejak
tengah malam kemarin hingga terpaksa tidak masuk sekolah pagi tadi. Akibatnya,
si bungsu tidak ada yang mengantar sekolah, dan lebih memilih menjadi perawat
bunda dan ayahnya.

Tiga hari ini aku sangat berhati-hati dengan
makanan yang masuk ke lambungku. Dua hari ini tanpa kopi hitam. Tapi tadi siang
ibu memberiku Kopi Radix dan cukup mengurangi rasa nyeri perut yang kualami.
Aku pun tak berani makan nasi.
Menjelang siang, Tana mendekatiku sambil membawa
semangkuk sop dari adikku, Mala. Katanya dengan gaya lincahnya,“Bunda… Bunda
harus makan ini sampai habis. Ini gak aku kasih nasi. Karena itu harus dimakan
sampai habis.”
Biasanya, aku pasti lahap dengan menu yang sering
kumasak juga untuk anak-anak. Tapi kali ini, dua sendok saja sudah terasa penuh
perutku. Baru setengah jam kemudian aku benar-benar memaksakan agar sop itu
habis. Jika tidak, aku bisa bayangkan kecewanya si bungsu dan adikku yang sudah
bermaksud baik. (Aku tak bisa membayangkan ada saja orang yang berlaku
mengecewakan atas kebaikan orang lain, apa yang ada pada benak mereka?)
Dalam keadaan sadar (tidak tidur) kugunakan untuk
dzikir —karena hanya itu yang bisa kulakukan, lantaran untuk duduk pun aku tak
sanggup— hingga aku terpulas kembali. Di siang hari, aku lebih memilih
berbaring di luar, hingga anak-anak dengan leluasa berada di sekelilingku, dan
aku dengan mudah memerhatikan apa-apa yang seharusnya mereka kerjakan tanpa aku
untuk keperluan mereka. Maklum, namanya juga anak-anak, jika tidak diingatkan,
masih dengan gampang melalaikannya. Demikian juga aku masih bisa bercanda
dengan mereka, aktivitas yang sangat terapetis.
Kamis sore, bingkisan istimewa dari adikku, Isa,
aku terima. Saat itu aku masih sangat lemah, hingga meminta Aziz untuk
meletakkan saja di ruang Sanggar. Padahal aku sudah menunggunya sejak Senin
lalu. Tapi sakit membuatku tabula hasrat, hingga aku memompanya kembali sejak
tadi pagi. Kumasukkan impian-impianku kembali, harapan-harapanku,
permohonan-permohonan yang telah kupanjatkan padaNya, dan aku sangat yakin,
Allah bersamaku, bersama kami.
Dan sekarang, aku duduk di depan kompi sambil
membuka Al Quran, berusaha menemukan hikmah dari peristiwa demi peristiwa yang
memaksaku untuk selalu ingat kepadaNya. Aku menemukan ini:
“Allah telah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, (bahwa) untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. Al Maa-idah: 9)
“Hai
orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikanNya)
kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu
(untuk berbuat jahat), maka Allah menaham tangan mereka dari kamu. Dan
bertaqwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mu’min itu
harus bertawakal.”
(QS. Al Maa-idah: 11)
Sesungguhnya, hamba sedhaif diriku, hanya mampu
berserah diri dengan setotal-total keberserahdirian…
Wallaahu alam
bish shawaab.
Baiti
Jannati, 11Mei2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *