Wajahnya sederhana. Begitu pun penampilannya. Dengan celana katun model cutbray dan baju lengan panjang berbahan katun warna coklat muda. Kulitnya sawo matang. Lengan baju yang dilipat hingga nampak sepertiga lengannya, memperlihatkan ototnya yang keras. Mungkin dia memang perempuan pekerja keras.
Di teras rumah, depan pintu samping dia duduk bersimpuh. Lelah. Disampingnya buntalan tas kresek hitam ukuran large berisi beberapa baju-baju dagangannya. Rambutnya yang lurus panjang diurai lepas, hingga bagian sampingnya menutup tepat di dadanya.
Panas terik tak begitu terasa menyengat. Kesejukan kota ini mereduksi suasana tak nyaman yang biasa dihadirkan siang hari di Jakarta, Surabaya, Semarang, atau kota kecilku jika tidak ingin yang komparasi yang terlalu ekstrim. Kelelahan gadis itu tentu bukan lantaran keringat yang terkuras sehingga tubuhnya memerlukan suppport cairan mineral. Buktinya ketika ibu yang punya rumah menyuguhkannya air minum segar, hanya seteguk, cukup hanya untuk membahasi kerongkongannya dan tentunya ungkapan penghargaan tuan rumah.
Dengan bahasa dan logat Sunda yang kental, dialog mereka tetap terdengar dan menyatu dengan alunan Kitaro dari kompiku.
“Sekarang mah di kredit juga susah, bu. Kalau ada yang ngambil, angsurannya gek sering nunggak.”
Masih dengan bahasa Sunda yang bisa kuterjemahkan. Sebenarnya aku tidak ingin terseret dalam obrolan mereka. Pekerjaanku masih bertumpuk. Tapi kenapa juga, otakku tiba-tiba mampet, moodku juga sedang piknik ke negeri antah berantah, akhirnya keluh kesah itu menjadi cukup menarik bagiku.
Namun suara perempuan yang kira-kira berusia 25 tahunan ini yang terdengar. Suara ibu jauh lebih lembut darinya. Apakah pertambahan usia juga berpengaruh dengan keras lemahnya intonasi suara ya? Entahlah.
”Mau kerja apalagi, bu. Yang ini aja susah. Padahal sudah punya langganan. Ada juga langganan-langganan baru. Tapi ya begitu, bu. Kitanya yang jadi susah kalau hidup mereka juga payah.”
Upsh……… Aku menahan tertawa dalam hati. Ini mah empati karena ada satu kepentingan. Tapi paling tidak si teteh tidak men-judge negatif atas kedhaliman pelanggan-pelanggannya. Sabar dan tabah juga rupanya! Bukan hanya itu. Dia lebih bisa berfikiran positif.
Ibu yang usia lebih dari setengah abad itu tertawa ringan. Mengatakan sesuatu yang tak begitu jelas kudengar.
”Iya…… Sudah tiga minggu Aa tidak jalan. Sepi juga bu. Daripada cuma dapat dua tiga penumpang, setoran kurang, beli bensin mah tetep, bu. Ah sudah aja di rumah. Capek hati, tiap hari dengar omelan karena kesel,” ungkapnya yang nampak merespon pembicaraan ibu.
”Mudah-mudahan tidak ada apa-apa, Cih.” Kali ini kalimat ibu jelas aku dengar.
”Amin, bu,” sambutnya berharap yang sama, semoga ’tidak ada apa-apa’. Tangannya mengaitkan sebagian rambutnya ke daun telinganya saat terasa uraiannya menutup sisi wajahnya yang lelah bercampur resah. Jelas tertangkap ada satu keresahan dalam beberapa kali senyumnya yang terlihat dipaksakan. Mungkin senyum yang dibuat untuk sekedar menaruh hormat terhadap ibu dan meyakinkan bahwa perbincangan mereka tidak ada sepatahpun yang membuat hatinya tersinggung.
Obrolan mereka berakhir saat seorang perempuan yang sedikit lebih tua darinya keluar melalui pintu samping rumah induk itu. Icih, nama perempuan yang akhirnya kuketahui beberapa saat kemudian, berdiri mengambil posisi bersisian dengan perempuan berjilbab itu. Dengan celana jeans dan kaos lengan panjang yang tepat melekat ditubuhnya, memberikan kesan ia jauh lebih gaul dibanding Icih. Di lengan kanannya bergantung tas khas para ibu, sementara lengan kirinya menggamit buntalan kain, yang aku perkirakan juga berisi baju-baju dagangan.
Keduanya sempat berhenti tepat di depan jendela kamarku, sehingga kami beberapa saat saling berpandangan dan tersenyum. Aku bisa dengan jelas memandangi wajahnya yang sawo matang, bekas polesan tipis yang telah memudar karena produksi minyak yang terlihat menumpuk di ujung hidung dan dagunya.
”Punten nya Icih, ibu teu tiasa ngabantos,” kata ibu beberapa saat setelah keduanya berpamitan.
”Teu sawios, ibu, hatur nuhun. Assalaamu’alaikum,” kata Icih dengan senyum yang kembali tampak berat. Kalimat-kalimat terakhir ini membuatku sedikit bisa mereka-reka, sela-sela perbincangan yang tak terdengar. Maksud perbincangan Icih dengan ibu. Serta menjawab makna dari senyum Icih yang jauh dari ketulusan. Ah, astaghfirullah……….. Belum tentu sangkaanku benar.
Hingga tiga hari kemudian…………..
Aku merasakan badanku tidak sehat. Sejak semalam sudah terasa agak meriang. Aku sudah perbanyak minum air putih. Mau bagaimana lagi, aku termasuk orang yang paling enggan mengonsumsi obat-obat kimia. Kupikir juga, tidak akan jatuh bangkrut industri farmasi kalau hanya aku yang mengambil sikap demikian.
Tapi ternyata sampai pagi ini, meriangku belum juga berkurang, meski tidak juga lebih parah. Sesegera setelah aku meng-on-kan mesin penanak nasi, aku bermaksud membeli lauk. Yah, meski biasanya warung makanan belum menyediakan berbagai menu kalau masih pagi begini, paling tidak pasti sudah ada kalau sekedar ceplok telur dan lauk berolahan sederhana. Aku harus segera menyelamatkan staminaku kalau tidak ingin sesak nafas akibat tumpukan pekerjaan yang mesti segera dituntaskan.
Baru beberapa meter dari pagar rumah, aku dikejutkan seseorang yang hampir menabrakku. Dia pun tersadar kalau dari tadi mukanya ditundukkan, sedangkan jalannya nyaris berlari kecil. Kami saling berpandangan.
”Punten, teh,” katanya seraya menata nafasnya yang sempat tersengal akibat kaget.
”Sama-sama, teh Icih.” Kini ia tersenyum meski dipaksakan. Mungkin karena mendengar namanya kusebut. Artinya aku mengenalnya. Senyuman itu menandakan ia berusaha untuk mengingat apakah ia mengenalku.
”Bade kamana, teh?” tanyaku menghentikan kakinya yang hendak segera melangkah meninggalkanku.
”Ka ibu Haji Oneng, teh,” jawabnya sambil mengarahkan ibu jarinya menunjuk ke arah rumah dimana aku juga tinggal. Rupanya Icih lupa kalau kami pernah saling bertemu, paling tidak saling memandang dan melempar senyum tiga hari yang lalu.
”O….. mangga atuh teh. Bu Haji ada kok.” Ia sedikit kaget. Ah, Icih ternyata benar-benar lupa kami pernah bertemu. Aku pun segera menuju ke warung di selatan perempatan jalan. Berjarak seratus meter dari rumah. Kalau sedang fit, biar dua kilo jauhnya, aku pasti sanggup menempuhnya. Tapi ini……. duh, terasa teramat jauh dan tidak segera sampai.
Entah mengapa ketika dalam perjalanan pulang aku teringat Icih. Saat tadi bertemu, kulihat kecemasan dan seperti diburu sesuatu. Tidak seperti pertama bertemu, mukanya pun lebih pucat. Ya, tidak ada saputan apapun di wajahnya. Rambut panjangnya pun diikat berlipat di belakang. Suaranya pun terdengar bergetar, seakan untuk bernafas pun begitu berat.
Dan benar. Kami kembali berpapasan di pintu gerbang. Ia mencoba tersenyum. Tapi tangisnya tak dapat ditahan. Tapi aku sudah tidak melihat siapa-siapa di halaman atau teras rumah. Mungkinkah Icih tidak bertemu ibu?
”Sudah ketemu bu Haji, teh?” Ia mengangguk saja. Kesedihannya tak dapat disembunyikan. Hatiku ingin menanyakan apa yang terjadi. Sehingga keadaannya menjadi lebih buruk daripada beberapa saat tadi kami bertemu. Tapi aku juga merasa segan ke ibu. Khawatir dianggap mencampuri yang bukan urusannya.
Kutepuk bahunya dengan lembut, berharap bisa menghadirkan ketenangan dirinya. Hanya itu yang kupikir bisa aku lakukan. Seraya hati ini berucap maaf, meski ada dorongan yang sangat kuat untuk mengetahui duduk persoalannya.
Tangannya merengkuh lenganku ketika hendak kakiku melangkah. Kali ini isaknya memecahkan hatiku. Disandarkan keningnya ke lenganku.
”Punten, teteh. Tolong bantu saya.” Suaranya begitu lemah. Nadanya pun penuh keputus asaan. Sepertinya ada keyakinan bahwa kata-katanya tidak akan memberikan hasil apapun. Tanpa sepatah kata pun, aku rengkuh bahunya, kuajak ia ke paviliun mungilku.
Kehadiran Icih dalam kondisi seperti ini membuatku merasa jauh lebih baik. Kusodorkan teh manis hangat beberapa saat kemudian. Hanya seteguk. Dan seperti tidak ada waktu baginya, Icih langsung menceritakan maksud kedatangannya ke rumah ibu.
Sama seperti tiga hari yang lalu…………..
”Tolong, teh, bantu saya. Kalau tidak anak-anak saya bisa mati,” katanya setelah menyelesaikan cerita kondisi kedua anaknya yang sakit hampir satu minggu ini. Tak ada uang untuk berobat. Bukan tidak berusaha. Namun kenihilan yang selalu menjadi kabar kepulangannya atau suaminya saat tiba di rumah. Obat-obat tradisional seperti yang biasanya digunakan, tidak juga membuat kedua buah hati mereka sembuh.
Hatinya makin cemas ketika mendengar kabar dua anak tetangganya yang terserang demam berdarah. Keduanya saat ini sudah dirawat di rumah sakit. Kata tetangga yang mengabarkan berita itu, kalau tidak segera dibawa ke rumah sakit, nyawanya pasti tidak tertolong.
Icih cemas. Anak sulungnya masih panas badannya. Adiknya, yang baru duduk di TK Al Quran, panas badannya sudah berkurang, tapi begitu lemas. Sebelum shubuh, Icih sempat membersihkan hidungnya yang mengeluarkan darah. Sebenarnya saat itu hatinya cemas. Sangat cemas. Tapi tetap ia tak bisa berbuat apa-apa.
Begitu matahari menyembul ke permukaan bumi, Icih meminta suaminya menunggui kedua anak mereka. Ia seperti dilecut, berlari mendatangi rumah beberapa orang yang seringkali menjadi tumpuannya jika terdesak kebutuhan hidup. Mereka lah yang diharapkan bisa menyelamatkan, meski sementara dari keterpurukan yang dirasa terus mencengkeram kehidupan keluarganya.
Namun, sampai disini, rumah terakhir, tumpuan harapan terakhir, Icih seakan tak bisa lagi bernafas. Ia menyerah……… Entah apa yang akan terjadi pada anaknya.
Kurasa tidak perlu memperpanjang kata. Setelah kuraih dompet, aku segera mengajaknya ke rumahnya. Sepanjang jalan tak henti-hentinya dia ucapkan terima kasih dengan isak yang nyaris ibarat melodi akibat naik turun nafasnya.
Jalan sudah mulai ramai dengan kendaraan dan aktivitas pagi. Kami berlari-lari kecil dan sesekali mataku menangkap pandangan beberapa orang ke arah kami. Beberapa gang kecil kami lewati setelah warung tempatku membeli lauk beberapa saat yang lalu. Sesekali kutatap wajahnya yang lebih berbinar dari sebelumnya. Ada harapan……. Tentu itu yang disenandungkannya saat ini jauh dalam lubuk hatinya. Dan pasti jantungnya bertalu-talu dengan rasa syukur.
Kami hendak memasuki gang kecil ketika seorang bapak separuh baya berlari ke arah kami.
”Geura, Cih.” Laki-laki itu menyambar lengan Icih dan menariknya hingga keduanya berlari meninggalkanku. Dengan perasaan yang tiba-tiba resah, aku pun berlari menyusul mereka. Hingga berhenti di depan sebuah rumah kecil yang sudah dipenuhi orang-orang. Mataku tidak menangkap sosok Icih.
”Punten ibu, aya naon?” tanyaku pada seorang ibu yang terus menerus mengelus dadanya.
”Ieu, neng, meni karunya pisan. Budakna Icih, duanana meninggal.” Sontak aku bagai disengat listrik. Aku bisa merasakan detak jantungku cepat, badanku panas dingin, nafasku sesak, kakiku lemas. Aku menyeruak di tengah kerumunan. Aku harus bertemu Icih.
Perempuan itu bersimpuh disisi anak sulungnya. Sementara adiknya berada disisi yang lain. Disampingnya laki-laki yang pasti ayah dari kedua anak yang terbaring tenang. Layaknya sedang terlelap dalam tidur. Tak ada cahaya yang masuk dalam ruang. Sehingga wajah keempat anak beranak ini tak jelas olehku. Tak pula terdengar isak. Hening. Namun aku merasa kehadiranku mereka ketahui.
”Hatur nuhun, nya teteh,” suara Icih lirih dengan wajah tetap ke aras kedua putranya………..