Lampu 10 watt dipaksa menerangi ruang 12 kali 10 meter. Pijarnya seakan terserap bukit di atas dinding tempat direbahkannya genteng-genteng yang telah berubah warna karena termakan usia. Dengan tinggi dinding empat meter, pijar lampu itu ibarat lilin. Tapi mata kami sudah sangat terbiasa. Dengan penerangan yang baru mulai menyala ketika azan Maghrib, aku bisatadarus tanpa banyak kesalahan ataupun tersendat. Bapak hampir tak perlu lagi penerangan itu saat menyimak mahraj dan tajwid-nya. Ya, bagi bapak, Al Quran sudah melekat baik dalam ingatan dan hatinya.
RUANG ISTIMEWA
Ruang keluarga teramat istimewa bagi kami. Banyak waktu bersama yang kami habiskan disini. Ibu paling suka mendengar cerita kami tentang teman-teman daripada nilai mata pelajaran kami yang seringkali pas-pasan. Sebenarnya tak ada yang menonjol di ruang ini. Tak ada buffet apalagi tivi. Ruang luas ini hanya berisi dua meja panjang yang disusun berbentuk huruf L dengan kursi kayu tanpa sandaran. Di salah satu dinding, terpampang lukisan besar pernikahan bapak dan ibu sebagai pengganti foto. Tepat di bawahnya terdapat dipan yang terbuat dari kayu jati. Tempat istimewa bagi bapak menghabiskan waktunya kalau sedang tidak ke sawah sambil membaca kitab-kitab lama.
Di salah satu sudut ruangan, sebelah tenggara, lantainya ditinggikan 50 senti. Sebuah satir dari anyaman bambu dengan kerangka berbahan sama dipakai sebagai pemisah. Tak ada yang boleh menggunakan satu-satunya tempat berlantai porselen itu kecuali untuk munajat pada Allah.
Ketika aku masih kecil, belum baligh, ruang itu masih dilapis semen biasa. Pernah suatu hari aku kelelahan. Sehingga usai shalat dhuhur, tanpa kusadari aku terlelap. Bentakan bapak yang sangat keras membuatku terkaget dan sontak duduk. Bapak tertegun menatapku kemudian. Desiran darah kurasakan bagai sengatan di tubuhku dan membuatku pusing. Kepalaku berkunang-kunang. Bapak memburu tubuhku yang hampir terkulai.
Samar-samar kudengar bapak memanggil mas Pramu dan ibu. Kepalaku masih terasa pusing sekali membuat mataku lebih sulit terbuka dibanding saat bangun tadi. Tapi aku bisa merasakan ujung tangan dan kakiku teramat dingin. Aku juga bisa merasakan seseorang memaksa gerakkan tangan-tangan. Sayup-sayup suara ibu mulai kudengar lembut memanggilku. Lalu aroma pak pung oil menyengat tajam di hidungku. Aku berusaha mengalihkan hidungku dari bau yang menusuk langsung di ujung saraf penciumanku. Tapi bau itu seperti melekat kemana pun wajahku kualihkan.
“Maafkan bapak, nduk,” kata bapak begitu mataku bisa dengan jelas memandangnya. Setelah mengucapkan itu, bapak meninggalkan kami.
Tiga bulan gaji pertama mas Pramu saat bekerja untuk pertama kalinya telah dinadzarkan untuk menyulap mushalla itu. Tampak sekali kebahagiaan bapak dengan perubahan lantai mushalla yang lebih memberi kesan rapi, bersih dan suci. Ibu lah yang mengusulkan warna hijau, meski sebenarnya aku ingin warna putih sehingga tampak kontras dengan lantai ruang besar yang abu-abu gelap. Tapi kami terimbas semangat ibu. Bahkan aku tahu, mata mas Pramu sempat berkaca-kaca.
Dulu, saat menjelang maghrib, lampu-lampu tempel yang ada di setiap sudut ruangan di rumah kami sudah dinyalakan. Sebenarnya saat ini tidak banyak yang berubah. Hanya ruang keluarga dan teras rumah saja yang menggunakan lampu dop listrik. Itu pun hanya 10 watt. Dapur, kamar tidur dan mushalla masih menggunakan lampu tempel. Tiga tahun lalu saat panen raya, sebenarnya aku minta dibelikan tivi. Tapi bapak bilang, kami semua sudah dewasa. Bukan tivi yang kami perlukan. Karena tivi lebih membuat orang malas beranjak dari tempat duduk bahkan banyak yang lalai pada tanggung jawabnya. Akhirnya uang itu bapak belikan mesin jahit untukku yang beberapa saat lagi lulus SMP.
Kami berdua memang lebih sering menuruti kata-kata bapak dan ibu. Rasa segan kami pada bapak, pandangan bahwa apa yang dikatakan bapak pasti punya dasar yang kuat, tauladan akan pentingnya mematuhi komitmen, tak satupun yang membuka ruang untuk kami menawar titahnya. Demikian juga ibu. Bukan kami tak pernah menerima marahnya. Sesekali jemarinya yang jauh dari kata lentik, membuat kaitan yang memerahkan paha atau lengan kami. Tapi kami tahu benar, ketulusan dan kasih sayang itu tak pernah redup terpancar di wajahnya. Bahkan panasnya tungku dan pekatnya asap dari hasil pembakaran kayu tak mampu membuatnya kusam.
*****
Aku kembali menyusut air mata yang enggan berhenti. Rumah kami sudah kembali sepi. Hanya beberapa orang yang masih tinggal untuk menghibur kami, membantu kami membereskan beberapa perlengkapan dan beberapa meja kursi yang sempat dikeluarkan dari dalam rumah.
Mbok Yam memintaku untuk tidak segera kembali ke Yogya. Aku juga tahu, ibu pasti masih membutuhkan aku. Dan juga mas Pramu. Aku belum melihatnya sejak tiba siang tadi.
Aku terduduk di lantai hijau. Hanya ruang ini pula yang tidak berubah hari ini. Tidak ada yang berkeinginan melipat sajadah-sajadah yang tergelar di atasnya. Aku mencoba membayangkan bagaimana bapak untuk terahir kalinya diatas sajadah coklat itu. Seperti yang diceritaan mbok Yam, karena ibu masih belum sanggup bercerita.
Bapak…. Sebenarnya aku tidak ingin menangis seperti ini. Aku ingin marah. Tapi ibu berusaha menahanku, tidak perlu meluapkan kekesalan pada siapapun. Jika sudah waktunya, Allah selalu membuat adanya “sebab” yang menjadi bagian dari takdir. Ibu juga mengatakan,”Apa pun yang masmu lakukan sebelumnya, juga sudah titahNya. Tidak ada yang bisa diubah. Jangan menambah kesalahan, nduk.”
Seminggu lalu bapak marah besar padanya. Dugaan bapak benar. Perubahan-perubahan pada diri mas akhirnya bapak ketahui juga sebabnya. Kata mbok Yam, yang sejak aku bekerja di Yogya lebih sering membantu ibu yang mulai sepuh, mas masuk dalam jama’ah tertentu. Mbok Yam tidak tahu apa itu. Katanya, bapak mengetahui dari beberapa pemuda yang sering mengaji pada bapak. Awalnya mereka sering menanyakan beberapa hal yang menjadi inti ajaran mas Pramu. Dan bapak, sesuai dengan keyakinannya, berusaha memberikan penjelasan dan meluruskannya.
Tapi bapak samar-samar menangkap, apa yang ditanyakan beberapa pemuda itu diamalkan oleh mas Pramu. Bapak mendesak mereka untuk menceritakan, dari mana ajaran itu mereka dapatkan. Sungguh pukulan yang sangat berat ketika bapak tahu, mas Pramu lah yang menyebarkan ajaran itu secara diam-diam.
Usaha bapak untuk menanyakan secara halus pada mas tak juga membuahkan hasil. Dari hari ke hari bapak berusaha menahan amarah. Hingga seminggu lalu, bapak benar-benar kehilangan kesabaran saat mas Pramu pulang bersama seseorang yang diakuinya sebagai ustadznya. Tidak jelas apa tujuannya. Tapi di hari itu bapak tidak seperti yang mbok Yam kenal. Marah bapak bukan hanya menggetarkan tubuh bapak. Mbok Yam yang kala itu ada di dapur bersama ibu, saking kagetnya nyaris menyiram kakinya dengan air panas saat membuat minuman untuk ustadznya mas Pramu.
“Ibu jadi sangat pucat, nduk. Mbok dan ibu gemetaran. Ibu, nduk, sampai menangis,” kenang mbok Yam tadi siang beberapa saat setelah aku tiba. Mas Pramu sejak saat itu tidak pulang ke rumah. Setahu mbok Yam, bapak tidak sampai mengusirnya saat itu. Ketidak pulangan mas Pram membuat ibu dan bapak sangat sedih. Bukan apa-apa, itu lebih karena mas pergi dalam keadaan seperti ini.
Bapak menjadi sangat pendiam, bahkan enggan untuk mengajar pemuda-pemuda yang setiap sore mengaji di masjid. Perubahan bapak sangat membuat ibu khawatir. Tapi bapak meyakinkan, apa yang mereka alami hanya bersifat sementara. Sebuah kesadaran perlu waktu. Itu yang dibutuhkan mas Pramu.
Tapi, kepergian bapak seakan mengambangkan harapan itu. Ibu menyangka bapak tertidur di mushalla setelah shalat tahajud. Itu bukan kebiasaan bapak. Mushalla hanya tempat untuk bersujud pada Allah, tidak yang lain! Bapak juga tak pernah melanggar apa yang pernah dinasehatkan untuk kami. Maka ibu berusaha membangunkannya saat hendak shalat shubuh.
Mbok Yam sangat kaget ketika ibu mendatangi rumahnya masih pagi buta.Mbok Yam mencoba bertanya, tapi ibu hanya memintanya agar saat itu juga ke rumah.
Tak ada sepatah katapun dari ibu sampai keduanya sampai di rumah kami.Mbok Yam tak mau mendesak ibu dengan pertanyaan setelah tiga kali keingintahuannya tak ditanggapi ibu. Sesampai di rumah, ibu langsung mengajaknya ke mushalla. Tubuhnya lemas, kaki tuanya hampir tak mampu menyangga tubuhnya. Tangannya gemetaran menggelayut pada lengan ibu.
“Mbok, saya minta tolong, mbok panggilkan pak Umar. Kita akan memakamkannya hari ini juga.” Hanya itu yang ibu ucapan. Mbok melihat air mata ibu begitu deras. Tapi, tanpa suara. Sementara, tepat di tengahmushalla, jasad bapak tenang berselimut selembar kain batik.
Tulungagung, 29 April 2009, 21:07:19
Nduk: panggilan sayang untuk anak perempuan.
Mbok: panggilan untuk perempuan
Pak Pung Oil: minyak gosok jadul 🙂