INTEGRITAS

Pencoblosan tinggal dua hari lagi. Kata mandor, demi keamanan, pabrik diliburkan. Sebenarnya banyak buruh yang sudah usul ke mandor agar liburnya satu hari sebelum coblosan saja. Sebab H-2 itu pas hari gajian. Usul buruh untuk memajukan waktu gajian, ternyata gagal. Dan ternyata usul kedua untuk memundur waktu libur gagal juga.


Taswin sadar, sebenarnya ini juga strategi bos Marta dalam Pilkades ini. Satu bulan ini sangat menjenuhkan buat Taswin. Desas-desus klo bos Marta mendukung calon Marjono sudah sangat santer. Bahkan seminggu lalu, mandor-mador di semua bagian sudah menyampaikan agar semua nanti milih Marjono.

“Pokoke, pak Marta meling begitu. Katanya, kalau ada yang mbalelo, yo wis gak bakal dipakai lagi di pabrik. Katanya lagi, apa susahnya tinggal nyoblos milih Marta,” kata Dono seminggu yang lalu.

Buruh pabrik saat itu sengaja dikumpulkan terpisah sesuai dengan bagiannya masing-masing. Begitu juga Taswin yang berada di bagian packaging. Hari itu pabrik nyaris tak beroperasi selama setengah hari. Kasak-kusuk kalau Marjono menjanjikan sesuatu kepada Marta makin santer di pabrik. Persoalannya, tak ada satu pun yang bisa membocorkan, apa sebenarnya yang telah dijanjikan.

Padahal, siapa sebenarnya Marjono. Apa karena sarjana yang titelnya lumayan panjang, sehingga Marta sangat mengagungkannya. Eh, bukan hanya mengagungkan. Kalau benar seperti apa yang dikatakan Dono, itu berarti Marta sudah melakukan pengancaman pada buruh yang berani mbalelo.

Kalau dibanding Marjono, Suroto jauh lebih dikenal banyak orang meski gak punya titel. Isunya, dia memang pernah kuliah, tapi karena harus menjadi tulang punggung keluarga, akhirnya dikorbankanlah cita-citanya untuk menjadi ahli pertanian. Mulai dari kerja serabutan, sampai sekarang punya ternak ayam petelor yang telah dirintis hampir dua puluh tahun lalu. Usahanya sempat turun drastis saat flu burung meng-endemi beberapa daerah. Meski ternaknya tak menjadi sasaran pemusnahan, tetap saja dampaknya dirasakan. Pasar telor turun drastis. Bahkan ketika ayam-ayam ini telah dipotong, beberapa pedagang ayam goreng langganannya juga mengurangi jumlah pembelian.

Sebelumnya, ia sempat menuai protes warga akibat limbah ternak. Menurutnya saat dimintai keterangan di balai desa, sebenarnya ia sudah membuat sistem pembuangan sesuai dengan petunjuk kantor lingkungan hidup dan dinas kesehatan. Sehingga ia tidak mengerti bagaimana mungkin sampai terjadi rembesan yang mencemari sumur warga. Suroto bahkan sempat melontarkan tudingan kalau LSM yang saat itu sedang mendampingi program pertanian sebagai provokatornya.

Cukup melelahkan. Hingga pada suatu saat, protes warga berhenti seperti terkomando. “Begitu saja kok repot,” seloroh salah seorang aparat desa mengikuti gaya presiden keempat di negeri ini. Cukup dengan setengah kilo perminggu ke beberapa warga yang merasa tercemari, urusan pun selesai. Seakan telor-telor itu sudah mampu menjadi tawas yang menjernihkan dan menghilangkan bau air sumur mereka.

Suroto sabar menunggu waktu……… Seiring dengan kembali membaiknya bisnis perayamannya, memberikan beberapa pelajaran berharga baginya. Kuasai massa dan jadilah penguasa. Tak ada ruginya menyisihkan keuntungan bisnisnya untuk membuka bisnis baru yang menjadi jalan mewujudkan keyakinannya. Dari satu warung kopi sekarang sudah ada sekitar dua belas yang tersebar termasuk di dua desa tetangga. Pengelolaannya ia serahkan ke beberapa orang terdekatnya. Warung ini menjadi kuping, mata dan hidungnya. Oh, bukan itu saja. Tapi juga menghadirkan beberapa indra keenam yang membuat keyakinannya makin kuat.

Keuntungannya pun saat ini makin berlipat. Beberapa hari menjelang pencoblosan, semakin ramai pengunjungnya. Bukan hanya dari lingkungan sekitar, bahkan ada yang dari kabupaten lain. Mereka sengaja datang ke warung ini. Tentu bukan nikmatnya rasa kopi yang membuat mereka kepincut, melainkan ajang botoan yang digelar pemilik warung di pilkades ini.

Bukan hal yang baru. Suroto memang murid kehidupan yang cukup cerdas. Dia pun membangun mushala berlantai keramik di halaman depan rumah orang tuanya, tepat di seberang jalan rumahnya. Meskipun sudah ada masjid di desa, mushala ini mampu mengundang jamaah sekitar. Ayah Suroto selain menjadi imam shalat, secara rutin mengisi pengajian selepas maghrib, dan kini disambung dengan rapat demi rapat untuk mendukung pencalonan anak laki-laki yang tetap memberikan baktinya padanya.

Masih ada catatan untuk Suroto yang memiliki prinsip menerima semua perbedaan. Untuk yang satu ini, dia tidak mengumbar. Hanya orang-orang terdekatnya yang mengenali dengan baik, seiring sejalan, sebenarnya termasuk juga Marta.

Tentu saja Taswin kalau menuruti kata hati dan keyakinan, pilihannya jatuh pada Suroto. Selain keduanya, masih ada satu calon lagi yang selalu membuat pembicaraan Sumini menggebu penuh semangat. Taswin tidak mengerti, bagaimana mungkin istrinya memiliki pandangan yang terlalu berbelok.

Pasti ini gara-gara sering ngumpul sama ibu-ibu dan yang dari LSM itu. “Bukan hanya perempuan, pak. Di kelompok juga ada yang laki. Jumlahnya emang cuma tiga. Tapi kan ada,” sergahnya saat Taswin unjuk sikap.

“Apa yang laki-laki gak ngresula dengan pencalonan Nurmiyati,” Taswin ingin tahu.

“Lho, pak, kita ngumpul bukan berarti punya pendapat yang sama. Kalau memang berbeda, ya masing-masing harus punya alasan kuat. Ngresula itu tidak setuju tapi gak punya alasan kuat,” Sumini menjelaskan dengan tegas.

“Oalaaaah, gak mudeng aku. Omonganmu makin lama kok makin gak genah begitu to Sum.” Cep! Kalau diteruskan, bukan pencerahan, istilah yang sering digunakan dalam kelompoknya, tapi pasti malah bertengkar. Ya wis, gak perlu dijelaskan siapa yang gak genah, pikirnya.

Nurmiyati memang dikenal sebagai aktifis organisasi keagamaan. Bukan hanya itu, ia juga aktif di kegiatan apapun untuk pemberdayaan perempuan di desanya. Kemauannya untuk belajar dan berubah lebih baik sangat besar. Antusiasmenya membuat kepincut LSM yang sedang mengerjakan program di desanya. Dengan beberapa proses dan setelah yakin mendapatkan dukungan penuh dari suami dan keluarganya, ia menjajagi karir politiknya dengan mencalonkan diri sebagai kepala desa. Tentu ada perempuan yang mendukungnya, demikian juga ada yang merasa dirinya lebih pantas daripada Nurmiyati.

Tentu tidak begitu bagi Sumini. Sumini yang tidak mengetahui secara baik sejarah Cut Nya Din, Kartini, Dewi Sartika, namun ia menempatkan Nurmiyati bak pahlawan. Setelah tahu ada calon perempuan, ia sibuk kesana-kemari untuk menghimpun seluruh informasi sepak terjang Nur. Tidak peduli, meski Nurmiyati tidak menjadikannya sebagai salah satu anggota tim suksesnya. Sumini berjalan karena keyakinannya. Setiap bertemu Taswin, meski dalam kondisi lelah, ia seperti pembawa berita televisi yang akan mengungkapkan apa saja kelebihan dan keunggulan Nurmiyati. Reaksi Taswin, para pedagang dan orang-orang yang ditemuinya di pasar saat ia belanja, orang tua murid yang ditemuinya saat mengantar Rizal ke sekolah TK, beragam. Tidak ada satupun yang mampu memberatkan dan membelenggu keyakinannya.

*************

Taswin tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Tak ada alasan untuk menolak Suroso. Tak ada pula alasan yang kuat untuk memilih Marjono, kecuali ia tak ingin kehilangan sumber penghidupan. Mengapa Marjono yang menguasai manajemen tidak melamar pekerjaan di bank saja daripada membuang banyak uang untuk macung kepala desa. Mengapa juga Marta yang sebegitu dekat dengan Suroso, mati-matian memperjuangkan Marjono yang tidak memiliki garis penghubung apapun. Taswin gak mengerti.

Beberapa sms bernada kekhawatiran kalau ia tidak akan mencoblos gambar Marjono. Terakhir Dono mengingatkan kesepakatan yang tidak disepakatinya, tentang statusnya di pabrik. Ketika Taswin menceritakan kekhawatirannya, Nurmiyati semakin membuatnya terkaget-kaget.

“Oalah, pak, kok mau-maunya sampeyan melawan kata hati. Itu namanya gak jujur, pak. Kata pak Bajuri (ayahnya Suroso) juga, semua perbuatan dan pilihan pasti ada resikonya. Ya kita hadapi saja apapun akibatnya.”

“Memang kamu siap kalau aku jadi pengangguran.”

“Kalau ditanya begitu, ya pasti jawabanku gak siap. Dan kalau ancamannya begitu, kita harus mikir apa yang akan kita lakukan. Maksudku, gak perlu ngendeng mikir itu. Jangan sampai kita menjual keyakinan kita.”

“Sum…… Sum…. Kowe ki ngomong apa? Itu sama saja dengan nekad. Apa gak tahu sulitnya nyari pekerjaan sekarang ini. Kok menyepelekan masalah.”

“Sekarang maunya bapak piye. Kita berdua milih Marjono. Terus…… kalau pun wis milih, Marjono tetap kalah, bapak kan juga tetap dipecat.” Marjono melongo mendengar kemungkinan itu. “Coba sekarang bapak juga hitung. Kata timnya Marjono, ia akan dapat suara 500 lebih. Timnya pak Suroso, 800an, hampir semua warga desa kan. La timnya bu Nur, yakin dapat 600 suara. Wis, kita hitung sendiri. Masak jumlahnya melebihi jumlah warga. Ya apa mungkin to pak…… Kita ini gak ngerti apa-apa. Mereka belum bisa jadi panutan, karena belum terpilih. Yang kita enut yang keyakinan kita, pak.”

Duh, Taswin harus jujur mengakui perkataan istrinya yang apa adanya, justru berat dan benar. Tapi tetap saja, ia merasa tidak memiliki kesiapan apa-apa untuk lepas dari Marta.

**********

Batu besar itu menggelinding menindihnya. Menyesakkan dada. Ia tak sekuat Bilal, budak Nabi Muhammad seperti yang pernah diceritakan kyai Bajuri. Marjono kalah sangat tipis dari Suroso. Satu suara. Pasti suara dari Sumini itu, pikir Taswin. Tinggal menunggu waktu. Apa Marta akan membuktikan kata-katanya, atau sekedar gertak sambal. Tapi bukan berarti Taswin biasa tenang. Apalagi isu-isu kebangkrutan Marta berseliweran lewat sms-sms di hpnya.

Sumini berusaha meredam Taswin yang semakin galau. Apalagi gelagatnya Marta tidak main-main dengan ancamannya. Sejak hari pemilihan, sudah seminggu ini pabrik masih diliburkan. Ada isu Marta membiayai seluruh pencalonan dan kampanye Marjono. Tapi mengapa? Kabar-kabar yang justru santer setelah kemenangan Suroso, karena Marta ingin Marjono menjadi menantunya. Ya, punya menantu kepala desa yang pintar manajemen dan memiliki title berantai. Tentu akan banyak keuntungan di kemudian hari.

Taswin makin merasa geram dengan Sumini yang seperti tanpa beban apapun. Sepertinya perempuan itu sudah tidak membutuhkannya. Sumini seakan tak merasakan keresahannya. Bagaimana bisa ia numpang hidup pada perempuan. Oh Sumini, aneka keripik pisang olahannya memang cukup untuk menopang hidup keseharian dan sekolah Rizal yang belum memakan banyak biaya. Ketika kabar kebangkrutan Marta sehingga harus mem-phk sebagian buruh, termasuk Taswin, pesangon yang tiga kali gaji pun tak membuatnya senang. Buruh tetap lah buruh. Dia bisanya bekerja dan bekerja. Tiga bulan sudah ia pontang-panting melamar pekerjaan di beberapa pabrik-pabrik, bahkan yang ada di luar kota terdekat. Pengalamannya 6 tahun di bagian produksi dan 4 tahun di packaging seperti gak ada artinya sama sekali.

Bulan keempat. Ini hanya gara-gara satu suara. Dan itu suara Sumini. Keberpihakannya ke Nurmiyati sudah jelas, tidak mungkin ia memilih Suroso ataupun Marjono. Istrinya juga orang yang sulit berpura-pura. Jujur. Itu keyakinannya dan selalu kata itu yang diingatkan padanya.

“Kamu mbalelo. Wong wedok sak karepe dewe. Aku sudah bilang, e…… omongane wong lanang ra digugu! Coba manut. Nduk…… nduk, coba kamu manut aku!” adu mulut itu mendadak bagai bara.

“Sudahlah, pak. Wong sudah terjadi ya sudah.”

“Enteng banget ngomongmu. Kan aku sudah bilang sebelumnya.”

“Iya, aku salah menurut bapak. Aku terima. Tapi kan aku benar karena aku jujur, pak.”

“Jujur! Jujur! Yo ancur ngene iki! Kamu semakin sok ngerti, sok pinter, mlayu gak njalur. Kalau kowe merasa sudah gak butuh aku lagi, pada wae, aku yo ra butuh kowe.” Aliran darah Sum sontak berhenti. Tajam matanya menatap laki-laki yang sudah hidup delapan tahun dengannya.

“Bapake ngomong apa?” lirih Sumini bertanya, suaranya bergetar. “Masalah seperti ini aja kok, pak.” Taswin mendengus kesal.

“Masalah seperti ini aja katamu. Aku sudah kehilangan pekerjaan.”

“Itu karena pak Marta bangkrut. Dia memang bangkrut.”

“Kalau Marjono jadi, pasti akan tertolong.”

“Apa bapak bilang??? Memangnya apa yang akan dilakukan Marjono kalau jadi? Bagaimana Marjono itu mau menolong pak Marta? Pak, sadar…… jangan mudah termakan janji yang seperti itu. Hati kita, pikiran kita, harus resik untuk menimbang kata-kata manis orang yang punya maksud tertentu, pak.”

“Sudah! Sudah! Omonganmu gak bisa mengembalikan pekerjaanku! Kamu tahu itu kan Sum? Pekerjaan itu sangat penting buatku. Ngerti apa kowe!” Taswin benar-benar geram. Iya, Sumini mengakuinya dalam hati. Baru kali ini ia menjadi saksi amarah Taswin yang menyiutkan hatinya selama menjadi istrinya. Pekerjaan adalah segala-galanya baginya. Delapan tahun ia bersama dengan laki-laki yang mempunyai jaminan pekerjaan. Dan sekarang hilang. Katanya, itu karena satu suara yang seharusnya ia berikan. Oooh, memang hanya suara dariku?

***********

Lembaran itu sudah tidak lagi perlu diingat. Sumini baru menyadari semua tidak ada yang sia-sia. Air mata yang terkuras berbulan-bulan sejak kepergian Taswin, dan kemudian kedatangannya yang sesaat hanya untuk mengurus perceraiannya, baginya lakon yang memang harus dijalani. Sama berharganya dengan pelajaran yang warga terima selama setahun kepemimpinan Suroso yang menggerahkan.

Ia menjadi begitu dekat dengan Nurmiyati. Justru setelah orang-orang membicarakan perceraian Sumini karena satu suara yang diberikan untuknya. Semua ada resikonya, kata kyai Bajuri yang selalu diingat dan diyakini. Kalimat itu juga yang pernah dikatakan ke Taswin. Sumini ingin belajar untuk tidak menjilat kata sendiri, meski teramat berat. Ada Tuhan yang membuatnya teramat kuat. Itu yang dikatakan pada Nur saat perempuan yang ditempatkan sebagai pahlawan perempuan di desanya membesarkan hatinya,”Kamu adalah guru kehidupanku, dik Sum. Kamu memiliki integritas yang kuat.”

“In…… in…… apa itu tadi maksudnya, bu Nur.”

“Integritas. O…… Maksudnya, dik, orang yang punya keyakinan, bukan hanya diyakini tapi juga dilakoni, apapun resikonya. Tidak akan pernah digadaikan apapun iming-imingnya dan ancamannya. Kita sebagai orang beragama, itu namanya kita punya iman, dik.”

Bukan sekedar simpati dan empati, nurani Nur diikat pada rasa tanggungjawab. Ia berjanji, meski bukan lagi dalam kapasitasnya sebagai calon pemimpin wilayah ini lagi.

Marjono sudah disibukkan dengan usaha komputer dan warnet yang dirintis usai kegagalannya menjadi kades. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk menjadi sepopuler Suroso yang telor ayamnya sudah tidak lagi menyapa tetangga-tetangganya. Dengan kemampuan yang diincar Marta, tidak sulit baginya mengembangkan bisnis yang akan tetap menjadi primadona jaman. Mulai dari anak kecil sampai tua, petani sampai pebisnis menjadi tamu istimewanya di areanya.

Berita seputar desa Waruseno tak pernah henti mendapatkan tanggapan di situs Marjono. Tulisan Miniyati paling banyak menuai antusias pengunjung situs, menduduki rating tertinggi setiap harinya. Tajam dengan penggunaan bahasa jiwa. Miniyati……

Seminggu ini, ucapan selamat dengan kartu elektronik serba cantik terus memenuhi situs Marjono.

Selamat ya mas Jon atas perkawinannya. Aku yakin, mbak Miniyati beberapa tahun lagi pasti akan menjadi penulis hebat dari desa Waruseno. Perkawinan yang luar biasa, nieh, hehehe………

Marjono tersenyum seraya menatap lembut perempuan disampingnya. Sumini membalasnya dengan kedipan manja.

“Mereka semua benar. Mbak Nur juga benar. Dan Tuhan tak pernah salah. Kamu…… memang luar biasa,” bisik lembut Marjono.

Beberapa meter dari kediaman yang penuh dengan kehangat itu, tepat di perbatasan desa, di sudut rumah berarsitektur Jawa kuno, Nurmiyati terpekur dalam sujud. Terima kasih Tuhan, Kau mudahkan aku untuk mengurangi rasa bersalahku, meski tak ada yang salah dalam perjalanan hidup Sumini. Terus kuatkan kami pada perjalanan panjang ke depan. Tentu, karena kolaborasi ketiganya patut diperhitungkan empat tahun yang akan datang.

Sabtu, 24/01/2009 9:23:18

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *