EPILOG SALIMAH

Keduanya saling berbantahan dengan sumpah serapah yang memekakkan telinga. Sementara laki-laki yang mereka pertengkarkan, tidak bergeming sedikitpun. Bahkan tertunduk, tak ingin melihat betapa kedua perempuannya lebih jantan daripadanya. Sebagaimana diriku yang terpaku di tengah adegan yang makin memanas. Laki-laki yang seharusnya merasa beruntung ini, pasti saat ini merasa paling sial. Mungkin dalam perhitungan hari, ini adalah hari yang naas baginya.


Aku terhenyak sadar dari pikiranku sendiri ketika Imah yang berbadan ceking itu merengkuh krah baju lelaki yang tak lain adalah laki-laki yang secara resmi menikahinya. Didorongnya laki-laki itu ke arah Saropah sampai benar-benar tersungkur di kaki perempuan yang menjadi rivalnya, tanpa perlawanan apapun. Laki-laki itu, yang juga kiwir Saropah, berusaha mengatakan sesuatu, tapi Imah tak memberinya kesempatan.

Belum merasa puas, Imah menghampiri lelaki yang nyaris tengkurap diantara dua perempuan yang selalu membangkitkan birahinya. Aku menyaksikan pria itu menjadi bulan-bulanan Imah. Spontanitas Saropah untuk berusaha membela, melindungi, tapi dia takut terkena tendang kaki Imah yang membabi buta. Sampai akhirnya kaki itu pun mendarat di seperangkat alat kelamin milik Parno, nama laki-laki itu.

Jeritan Parno dan Saropah yang bersamaan membuat Imah tersentak dari amarah yang tidak terkendali. Parno pun menggelinjang kesakitan dan akhirnya kembali tersungkur. Spontan aku lari menghampiri mereka, berlagak seperti wasit di tengah ring tinju. Sambil mengerang, Parno masih sempat membentakku, menyuruhku pergi dari mereka seiring sumpah serapah yang mungkin sudah terpendam sejak awal pertengkaran ketiganya.
Kondisi Parno seperti meluruhkan sebagian besar energi Imah. Meski bukan ekspresi rasa puas di wajahnya, aku melihat senyum yang dipaksakan. Seakan dia ingin mengungkapkan kebencian, kekecewaan, penyesalan, rasa kasihan, dalam waktu yang bersamaan.
”Jangan dikira aku tidak bisa mencari yang wong lanang lebih darimu! Buat apa orang kere sepertimu kupertahankan! Anjing saja gak doyan!” teriak Imah saat kutarik tangannya untuk pergi dari mereka berdua. Satu-satunya jalan hanya dengan mengajak Imah pergi dari tempat itu. Meskipun itu tidak menghentikan teriak sumpah serapah Imah.

Aku terus menarik lengannya ketika dia berusaha bereaksi dari sumpah serapah Parno dan Saropah. Ia nampak masih sangat marah, terus mondar mandir gelisah saat sudah sampai di kamarnya. Beberapa meremas tangannya dengan geram, lalu tiba-tiba tangannya menyambar apa saja di kamar itu. Kuraih tangannya, tapi ia meronta sekuat tenaga. Tak ada tangis. Hanya nafasnya yang berat memberitahuku kalau beban batinnya sudah tak mampu ditanggungnya.

Aku tawarkan untuk keluar, memberikan suasana yang memberinya sedikit ketenangan. Tidak perlu banyak waktu untuk membujuknya. Disambarnya jaket jeans dan keluar, tanda setuju dengan usulku. Ketika kami melewati tempat kejadian, aku sudah tidak melihat Saropah dan Parno. Aku merasa tenang saat tahu Imah tak bereaksi apa-apa dan terus melangkah keluar rumah.

Beberapa menit kemudian motorku sudah melaju kencang menuju perbatasan kota. Kekencangannya mulai kukurangi saat mataku menangkap hamparan sawah di kanan kiri jalan yang kami lalui. Di tepi jalan berjajar pohon-pohon besar diiringi hembusan angin menciptakan rasa sejuk di tengah panas terik siang hari. Aku merasakan ruh ketenangan yang menyelusup ke dalam hatiku. Seakan melenyapkan peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Kuharap Imah merasakan hal yang sama.

Aku baru tersadar ada Imah di belakangku. Meskipun sudah menjadi hal yang biasa, dalam situasi seperti ini kurasakan tangan Imah yang melingkar di pinggangku menjadi lain. Suasana teduh sepanjang jalan yang kami lalui meleburkan status yang ada diantara kami berdua.

Tiada berapa lama, terdengar isaknya samar diterpa angin. Imah pasti sudah memendamnya begitu lama. Belum pernah aku melihatnya sedih bahkan menangis. Bahkan ketika ia pantas menangis ketika dua laki-laki yang dicintainya membuatnya kehilangan rasa percaya diri, ia tak melakukannya. Mungkin rasa marah dan geram yang lebih kuat, hingga menekan perasaan lemah dan keinginannya untuk menangis.

Aku tak ingin menghentikan motorku. Meski lambat terus melaju tanpa tujuan yang pasti.

***********


Tiga bulan mengenalnya, membuatku turut menyelusuri perjalanan hidup Imah yang nyaris tanpa kenangan manis. Bahkan lebih pantas keberadaan yang tanpa harkat.
Dimasa kanak-kanaknya, yang diingatnya, ia diajak sang emak naik kereta api. Betapa senang hatinya, karena selama ini ia belum pernah merasakan naik kereta api. Perjalanan yang cukup lama, melewati malam yang melelapkannya.

Ketika terbangun, emak tidak ada disampingnya. Imah kecil sudah terbiasa ditinggal beberapa saat, karena biasanya emak pasti kembali. Ia mulai cemas, karena sampai perutnya melilit karena lapar, emak tidak juga datang. Takut, dan Imah pun mulai panik. Apalagi banyak penumpang yang turun naik di setiap stasiun. Imah mulai menangis memikirkan kemungkinan emak meninggalkannya.

Ia mulai meronta-ronta ketika beberapa orang petugas membawanya dari tempat duduk setelah kereta api sampai di stasiun terakhir. Dipanggilnya sang emak sampai suara tangisnya pun nyaris hilang. Tidak banyak yang dia ingat, kecuali nasib hidupnya yang berpindah dari satu penampungan ke penampungan lain. Beberapa hari ia ada ditempat penampungan bersama orang-orang lain yang tak dikenal, beberapa hari kemudian ia sudah dipindahkan. Setiap kali bertemu petugas baru, ia ditanya tentang identitas orang tua dan alamatnya. Di saat seperti itu selalu ada harapan bisa bertemu emak. Harapan tinggal harapan, emak pun tak kunjung datang. Petugaspun selalu mengatakan bingung untuk menemukan alamat rumahnya, karena yang Imah ingat hanya nama dusunnya saja.

Setelah beberapa bulan tinggal di penampung yang berbeda-beda, akhirnya ia diserahkan ke salah satu pondok pesantren. Namun bayangan emak bercampur dengan rasa sedih, kecewa, marah, selalu membuatnya tidak bersemangat untuk bergaul dan mengikuti kegiatan-kegiatan pondok. Ia lebih suka mengasingkan diri. Bersamaan dengan itu mulai tumbuh rasa tidak suka dan iri kepada teman-teman yang dijenguk orang tua atau sanak keluarganya. Hingga dimasa kanak-kanaknya ia berulang kali mendapatkan hukuman dari pengasuh pondok karena dianggap teledor, tidak patuh, suka mengganggu dan pembangkang.

Kesendirian dan keterasingan membuatnya semakin tidak tahan. Suatu hari ia memberanikan diri untuk diam-diam meninggalkan pondok. Tanpa tujuan yang jelas, tapi ia bertekad pergi jauh dari pondok.

Dengan menumpang kereta api ekonomi tanpa sepeser uang, Imah pergi mengikuti kemana
kereta api itu akan membawanya. Tanpa bekal apapun saat meninggalkan pondok sebelum shubuh, rasa haus dan lapar teramat menyiksa ketika tengah hari. Diberanikannya diri untuk meminta belas kasih dari penumpang kereta api. Keberanian yang muncul setelah ia melihat anak-anak sebayanya juga melakukan hal yang sama. Gemetar tubuhnya karena menahan lapar, haus dan takut. Pengalaman pertama yang tidak bisa Imah lupakan. Pengalaman pertama dimana ia menemukan keberanian dari dalam dirinya.

Sejak saat itu Imah memulai kehidupannya sebagai anak jalanan. Baginya yang luar biasa, disini ia mulai menemukan teman, bisa tertawa hingga tergelak, dan kemampuannya untuk bertahan pun mulai berkembang. Mungkin karena merasa sama, tidak seperti ketika masih tinggal di pondok, dimana hanya dia saja yang tidak pernah dijenguk orang tua atau keluarga.
Imah mulai bisa bertahan bukan hanya dari rasa lapar, pemalakan, pertengkaran antar teman, namun juga dari segala bentuk erangan binatang berbadan manusia. Mulai dari kehidupan sebagai pemulung gelas dan botol plastik, pengamen hingga kemudian ia pun terjerat dalam lingkaran premanisme.

Rupanya Tuhan memberinya kekuatan dan daya tarik tersendiri yang membuatnya tidak mudah dikalahkan atau menyerah pada nasib. Perjalanan waktu membuatnya tumbuh menjadi remaja yang sangat menggairahkan di kehidupan jalanan. Keingintahuan dan keberaniannya membuahkan kecerdasan diantara kehidupan yang penuh kenaifan. Ini menjadi harta yang membuatnya memiliki daya tawar, disegani di tengah para preman dan kehidupan yang tak kenal kata sungkan dan hormat.

Dalam kehidupannya yang serba mengalir, tidak ada kata cita-cita dan harapan, sang waktu memperkenalkannya pada getaran cinta. Meski Imah tidak terlalu yakin, tapi pada akhirnya ia memancangkan harapannya pada Subali, preman pasar yang mampu membuat Imah berbagi rasa dan membangun harapan. Hidup yang tadinya hanya agar bisa bertahan, tidak merasakan derita sakit atau mati begitu dini, kini ada tuntutan dan keinginan lebih dari sekedar itu. Imah sampai sulit membedakan antara angan-angan, impian atau cita-cita.

Pelajaran tentang realita hidup seperti berhenti dengan tiba-tiba. Cinta dan kasih yang pernah pupus bersama perginya sang emak, dan kemudian begitu lama tidak dirasakannya, kini seperti membangunkan seluruh indranya karena keberadaan Subali.

Hingga pada akhirnya ia pun hidup bersama dalam bilik bambu di belakang pasar besar. Tanpa mengenal pesta pernikahan atau janji di depan penghulu. Bagi mereka berdua, janji yang diucapkan di depan penghulu, justru sering berakhir pada pengingkaran. Hanya dengan bukti penyerahan dirinya sebagai harga yang senilai janji setia seorang Imah pada Subali.
Bau busuk dan anyir yang sering menyengat karena selokan pasar yang melalui pondok bambunya, jalan yang selalu becek dikala hujan, dinding bilik yang lembab, adalah hal biasa, bukan sesuatu yang perlu dikeluhkan. Pertengkaran-pertengkaran kecil gara-gara kehabisan uang atau kecemburuan, selalu berakhir dengan manis. Tidak ada adu argumen yang berbelit-belit dan sikap menang sendiri.

Harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Itu kata Subali saat meyakinkan Imah supaya mau bekerja di Hongkong. Selain itu Subali mempunyai kenalan yang akan bisa membantu keseluruhan proses Imah untuk bisa bekerja di Hongkong. Tidak juga uang sepeser pun atau persyaratan yang berbelit-belit. Kata Subali, Jumali sudah sangat berpengalaman mengurus administrasi hingga pemberangkatan tenaga kerja perempuan ke Hongkong. Sekarang ini, mereka sudah hidup senang, berkecukupan, semakin cantik karena ada biaya untuk perawatan dirinya. Ah, Imah semakin membumbungkan angan-angannya. Kelak ia ingin punya rumah dengan segala perlengkapan mewah, mobil, dan selalu ada waktu baginya untuk ke salon. Dirinya akan semakin kelihatan cantik dan Subali pun tidak akan berpaling darinya.
Apalgi Jumali sudah beberapa kali bertandang ke kediaman mereka dengan Panther merahnya. Ia terus meyakinkan Imah bahwa dalam waktu 2 tahun ia akan pulang dan bisa membeli tanah, membangun rumah dan punya Panther seperti dirinya. Apalagi Imah masih muda dan cantik, merupakan modal yang sangat berharga untuk bekerja di cafe dan salon.
Tak ada yang membuat Imah cemas kecuali diri Subali. Bagaimana Subali menjalani hari-hari tanpa dirinya? Bayangan kalau Subali akan lari ke pelukan perempuan lain, membuatnya enggan mengais dolar di negeri orang. Tak pupus harapan, Jumali mengatakan ke Imah kalau dia yang akan menjamin dan memastikan kesetiaan Subali.

”Dua tahun gak lama, Mah. Bali juga bisa bertahan kalau cuma dua tahun,” tegas Jumali kala itu. Imah sangat percaya, tanpa merasa perlu bertanya bagaimana Subali bisa melakukan kompromi terhadap kebutuhan dasarnya sebagai laki-laki.
Tanpa bersusah payah, terima semua beres, akhirnya hari keberangkatan ke Hongkong pun tiba. Beruntung Imah tidak sempat merasakan masa-masa di penampungan, seperti apa yang dikatakan Subali. Saat Jumali menghubungi Subali, hari keberangkatan ke Hongkong sudah dipastikan. Imah langsung menuju bandahara dan berangkat bersama Jumali dan beberapa perempuan.

Beberapa saat menjelang keberangkatan, Subali menerima sejumlah uang dari Jumali. Ketika Imah tanyakan ke Subali dan Jumali, Jumali hanya seraya berkelakar mengatakan untuk sangu supaya Subali tidak kelaparan. Aneh, kan Subali biasa dapat duit, makanan, dan rokok dari pedagang pasar. Pertanyaan itu baru terjawab ketika perjalannya berakhir. Ternyata Jumali membawanya ke sebuah rumah bordir yang diakuinya sebagai rumah kawannya.
Kecewa dan marah lantaran Jumali tidak mengatakan hal penting dari pekerjaannya dari awal. Meski Imah hidup bebas nyaris mengesampingkan norma sosial, namun ia sangat marah! Bukan karena harus melayani laki-laki hidung belang, namun karena Subali dan Jumali membohonginya! Imah pun baru menyadari kalau sebenarnya uang yang diterima Subali adakah sebagai tanda serah terima dirinya.

Ia tak mengenal siapapun kecuali Jumali yang kemudian juga meninggalkannya untuk kembali ke kampung halaman. Kembali mencari perempuan yang akan dibawanya kesini, pikir Imah. Ia pun yakin, sebenarnya tidak pernah ada kata setia pada diri Subali. Laki-laki itupun akan mencari perempuan seperti dirinya. Hati yang tercabik-cabik, kemarahan dan kebenciannya pada Subali bagaikan magma gunung berapi yang siap tersembur keluar. Imah pun bertekad menunjukkan ke Subali, kalau laki-laki itu telah salah mengambil keputusan.
Enam tahun cukup membuat pundi Imah mengembung. Ia memutuskan segera kembali pulang. Kemarahannya pada Jumali tidak harus membuatnya menghilangkan peluang untuk terus menjalin hubungan baik dengan laki-laki ini. Dan sudah bukan rahasia lagi kalau Jumali pun seringkali menumpahkan nafsunya ke dirinya, perempuan kawannya. Jumali pula yang mengurus rencana kepulangannya ke Indonesia.

Jumali secara tidak langsung juga akan mendapat keuntungan dari kepulangan Imah. Ia pasti akan menjadi iklan perempuan yang berhasil di negeri orang. Bisa dibayangkan, betapa mudahnya Jumali untuk mendapatkan perempuan-perempuan yang akan diberangkatkan ke Hongkong. Imah tidak peduli! Ia hanya ingin menertawakan Subali dengan cara yang dianggapnya akan menyakitkan laki-laki itu seumur hidupnya. Cara yang menghinakan dirinya sebagaimana ia telah menghancurkan keyakinan Imah.

Seperti yang dibilang Jumali, ia membuktikan bisa membeli tanah, membangun rumah, meski tidak sampai bisa membeli mobil. Rumah dengan duabelas kamar ini sangat dikenal diantara pedagang, nelayan, sopir, petani, bahkan beberapa orang berpakaian seragam yang ingin mereguk kenikmatan surgawi dunia sesaat. Di usia yang masih terbilang muda, 33 tahun, ia tetap yang lebih menarik dibanding perempuan-perempuan yang kos dan bekerja di tempatnya. Begitulah Imah, yang dalam waktu singkat menjadi mami yang sangat dikenal hingga kabarnya pun sampai ke telinga Subali.

Seperti yang sudah Imah duga, Subali berusaha dengan segala cara untuk bisa kembali kepadanya. Bahkan dengan cara minta bantuan ke dukun pun dilakukannya. Semua kemungkinan yang sudah diperhitungkan Imah sejak awal. Tidak tanggung-tanggung, Imah pun melakukan penangkalan dengan bantuan beberapa dukun pula.
Subali akhirnya dipaksa menyerah dengan keterbatasan sendiri. Bukan karena pepatah bahwa cinta tidak mesti bersatu yang membuatnya meninggalkan kota ini. Namun karena ia sudah merasa tidak punya muka lagi sebagai preman pasar yang dikenal mampu menaklukkan siapa saja. Dia pikir akan mudah mengembalikan Imah dalam genggaman, apalagi Imah pernah hidup bersamanya.

Kepergian Subali justru membuat daya tawar Imah semakin dikenal. Seakan sepulangnya dari Hongkong, ia menjadi sosok yang sangat sulit untuk disentuuh lelaki manapun. Padahal, tidak ada seorang lelaki pun yang bertandang ke rumah bordirnya yang tidak tertarik untuk mencobanya.

”Aku ini bos…….”, katanya padaku tatkala kutanya alasan tidak mau menerima mereka yang berkantong tebal.

Meski sebenarnya Imah tak bisa memungkiri diantara dendam dan kebenciannya pada Subali, semua laki-laki yang pernah menidurinya, ada rasa kesunyian yang terdalam dalam hatinya. Nelangsa yang tak terbilang dalamnya. Ia sulit menempatkan jiwanya, apakah harus bahagia dengan semua yang sudah dimiliki, keberhasilannya membalas luka dan dendam pada Subali, sedangkan selalu ada keinginan yang kuat untuk mengumpat pada nasib.

***********


Parno, bos bengkel motor di depan pasar, sering bertandang ke tempat Imah. Bukan untuk menemui salah satu anak-anak Imah. Waktunya sering dihabiskan hanya untuk sekedar ngobrol dengannya. Mulai dari persoalan ekonomi dan cenderung makin sulit, gosip-gosip yang berkembang di sekitar pasar, berita radio dan koran lokal, sampai pada persoalan pribadi mereka masing-masing.

Demikian juga tatkala biduk rumah tangga Parno sudah bagai telur di ujung tanduk. Kebiasaannya bertandang ke rumah Imah makin memperburuk keadaan. Imah tidak peduli, karena memang Parno tidak melakukan apapun di tempatnya. Hingga akhirnya istri Parno meninggalkannya begitu saja.

Seburuk apapun kondisi rumah tangganya, kepegian istrinya membuat dirinya limbung. Imah lah yang kemudian menjadi tempat Parno untuk mencurahkan segala kegalauan dan kepenatan hidup yang selama ini dirasakan. Tak ada yang menarik pada diri lelaki ini kecuali bagaimana Imah merasa sangat berharga dalam kehidupannya. Tak pelak istilah Jawa, witing tresno jalaran saka kulina, Imah pun kali ini menerima ajakan Parno untuk menikah. Ia pun berjanji dalam hidupnya akan menata kepingan hati, barangkali masih ada cinta yang bisa diberikan ke Parno.

Karena dalam dunianya selama ini, ia bergelut dengan kehidupan tanpa cinta. Senyum dan keramahan ini bukan karena cinta. Tubuh dan syahwat pun bukan bahasa cinta. Sama seperti Parno yang harus menyelesaikan sejumlah motor yang mengalami gangguan. Kepuasannya adalah ketika ia menerima uang dan pelanggannya mengakui hasil kerjanya. Itu saja.
Di awal pernikahan yang dilakukan secara resmi, pasangan ini menimbulkan rasa iri. Bukan hanya kemesraan yang ditampakkan, namun pasangan ini saling mendukung satu sama lain. Imah turut memodali hingga bengkel Parno menjadi besar. Bukan lagi sekedar bengkel motor, namun membuka bengkel mobil yang terletak 100 meter dari bengkel motornya. Demikian juga Parno, bak media iklan bagi usaha bordir Imah. Bisa dipastikan pelanggan Parno, pada akhirnya juga menjadi pelanggan Imah.

Entah karma, atau memang garis nasib, Imah yang terlalu merasa sangat kecewa dengan keyakinan dan suara hatinya sendiri. Siapa yang saat ini harus dipercayanya? Bahkan ia sudah tidak lagi bisa percaya dengan keyakinan dirinya. Dirinya yang salah mengambil keputusan? Ataukah memang Subali dan Parno yang memang keparat?
Semuanya berawal dari kehadiran Saropah.  Gadis 18 tahun pertama kali datang ke tempat Imah diantar pacarnya, Ipan, yang 10 tahun lebih tua. Ia minta diijinkan kos dan bekerja di rumahnya karena sangat memerlukan uang untuk biaya hidup. Parno yang memberi informasi kos dan usaha istrinya ke mereka saat Ipan menserviskan motor. Saropah sempat menceritakan perasaan frustasi dan kehilangan kepercayaan ketika hubungannya dengan Ipan ditentang keluarganya.

Tak ada pilihan lain, akhirnya Saropah kos di rumah Imah dan menjadi pekerja seks untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meski keputusan ini Ipan ambil secara sadar, tetap saja ada perasaan jengah dan pandangan lain pada Saropah . Akhirnya ia pun memutuskan untuk meninggalkan Saropah.

Semuanya begitu mudah berubah. Semenarik apapun Imah dalam pandangan banyak orang, Saropah jauh lebih muda. Parno pun sering harus menelan ludah ketika melihat gadis bertubuh sintal, dengan pakaian yang memang cukup vulgar, sudah terbiasa dicumbu tamu dan pelanggannya. Meski tak secerdas Imah, Saropah cukup paham bahasa hasrat Parno. Hanya mencari waktu saat Imah tidak di rumah, keduanya sudah tidak perlu merasa sungkan satu sama lain.

Candu itu akhirnya tak kenal batas dan waktu. Sampai akhirnya keduanya tak bisa sembunyi dari Imah. Bagai mengorek luka lama, Imah tak bisa menutupi rasa kecewa, geram, marah dan dendam. Untuk pertama kalinya ia memuntahkan amarahnya pada Saropah. Saropah yang merasa belum punya kekuatan dan dukungan apapun, hanya menangis, meminta maaf dan berjanji akan menolak setiap permintaan Parno. Bukan lantaran ia malaikat kalau hatinya luluh, memaafkan dan memberi kesempatan Saropah untuk tetap tinggal di kosannya. Lebih karena meyakini Parno lah yang menjadi biang persoalan. Imah yakin dengan kekuatan ultimatum akan bisa menghentikan Parno.

Dugaan Imah meleset. Tak ada yang bisa menghentikan Parno dan Saropah. Dirinya tak mengerti bagaimana keduanya bisa menyembunyikan diri, bahkan dari seluruh penghuni kos yang dikenal begitu dekat dengan Imah. Meski demikian mereka pernah mengingatkan kalau orang seperti Parno tidak pantas untuk mendapatkan semua perhatian,  pengorbanan dan kesetiaan. Laki-laki ini, sebagaimana laki-laki lain yang bertandang, bukanlah laki-laki yang pantas menerima apapun hingga rasa hormat bahkan pengabdian.

Sempat Imah bertanya padaku, apakah orang semacam dirinya naif untuk kehidupan sempurna seperti perempuan lain, menghikmati arti sayang, cinta, kesetiaan, dan kebahagiaan. Meski tak bisa membahasakan dengan baik, Imah ingin diantara dia dan Parno ada makna itu semua. Bahkan karenanya ia telah melarang dirinya sendiri untuk menerima laki-laki, bukan hanya karena dirinya ”bos”.

Namun rupanya, mereka berdua sudah laksana duri yang menancap dalam di ulu hati Imah. Imah sangat terkejut ketika Saropah menjadi bersikap lebih berani. Bukan saja ketika menghadapi amarah dan umpatannya yang tak tertahan lagi. Bahkan ia mulai terang-terangan menunjukkan adanya hubungan khusus dengan Parno.

Toleransi…..? Masih bisakah…..? Bukankah transaksi semacam ini sudah hal yang biasa dalam kehidupan mereka. Tidak! Imah tidak bisa memberikan toleransi!
Puncaknya pada saat kedatanganku hari ini. Adu mulut bahkan adu fisik mereka pun menghenyakkan diriku. Sebegitu berartikah Parno bagi kehidupan kedua perempuan ini? Samakah motivasi keduanya untuk mempertahankan Parno sebagai bagian dari hidup mereka? Banggakah Parno mampu menunjukkan hegemoni laki-laki? Atau bahkan kecewa pada diri sendiri dan sakit? Samakah apa yang Parno dan aku pikirkan sebagai laki-laki?

”Kita pulang saja, mas,” kata Imah membuyarkan ingatanku pada kilasan cerita hidupnya.

”Yakin kita pulang, Mah?” tanyaku sembari menghentikan laju motorku. Dari kaca spion kulihat mukanya yang sembab. Menyadari dirinya kuintip, dia tersenyum seakan ingin menunjukkan kalau dirinya sudah tenang.

”Aneh ya melihat aku nangis?” tanyanya.

”Baru pertama kali aja melihat kamu menangis, Mah,” kataku. Aroma udara pertanian selalu memunculkan ketenangan meski terik membakar kulit. Cukup mengherankanku, mengapa justru kehidupan setenang ini makin dijauhi dan ditinggalkan orang. Nguber butuh, begitu jawaban yang sering kuterima dari mereka.

”Orang menyangka hati orang ondolan semacam aku sudah hilang. Wong main dengan suami orang aja nggak merasa berdosa pada sesama perempuan kok, kan artinya gak punya hati.” Entah pertanyaan itu membutuhkan jawaban, atau sekedar dilontarkan pada dirinya sendiri. Aku hanya tersenyum, tanpa komentar sepatah pun. Imah pasti tahu, aku berusaha menjaga keyakinannya seberapa benar tindakan yang diambilnya tadi.

Setelah merasa yakin untuk pulang, aku pun kembali melajukan motor. Enam puluh menit kemudian kami berhenti di depan rumah berlantai dua, berciri khas pohon mangga kembar di halaman depannya. Imah tahu, sekarang ini aku enggan untuk singgah di rumahnya.

“Besok saja sampean kesini, mas. Aku mau tidur saja. Puyeng……,” katanya sebelum aku sempat berpamitan. Untuk ke sekian kali aku hanya bisa tersenyum saja. Entah, apa yang menyebabkan lidahku benar-benar tidak mampu untuk menyampaikan sepatah kata, meski hanya untuk membesarkan jiwanya.

Secangkir kopi susu menemani obrolan pagiku dengan istri sambil mendengarkan berita pagi yang disiarkan radio lokal. Aku hampir saja tersedak, tatkala berita sekilas tentang pembunuhan keji menimpa Germo Salimah. Tanganku gemetar tak terkendali, sampai sisa kopi susu tercecer mengenai buku jurnal harianku.

Sontak aku jangkau kunci motor dan kulajukan motorku ke rumah Imah. Kemarin, sebelum aku pulang, Imah memintaku kesini hari ini. Untuk bincang-bincang atau sekedar mendengar curhatnya, seperti hari-hari yang lalu. Hari ini aku kesini untuk menepati janjinya. Lebih dini dari waktu biasanya aku datang kesini. Namun kali ini bukan untuk berbincang dengannya. Aku hanya tertegun menyaksikan goresan kapur yang menggambarkan posisi tubuh Imah. Jasadnya sudah tidak ada di tempat.

Parno dengan muka sembab menatap kosong ke arah goresan dengan ceceran dan gumpalan darah di sekitarnya. Aku tak melihat Saropah diantara mereka. Itu cukup sebagai jawaban apa yang terjadi pada Imah. Tubuhku lunglai…… Imah pergi untuk menjawab pertanyaannya sendiri tentang nasib, tentang cinta dan syahwat………..

29/04/2008 10:51:07


Ceking : kurus
Kiwir : pacar
Wong lanang : orang laki-laki
Kere : tidak mempunyai harta apapun
Doyan : mau
Emak : ibu
Dusun : bagian dari desa
Sungkan : malu
Sangu : uang saku
Nelangsa : sedih
Witing tresno jalaran saka kulina : Tumbuhnya cinta karena terbiasa
Bak : bagai
Nangis: menangis
Nguber butuh : mengejar untuk memenuhi kebutuhan hidup
Ondolan : pelacur
Wong : bukankah
Sampean : kamu
Puyeng : pusing

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *