[KMKR] MAAF BU, DIA BELUM BISA MENULIS

Memasuki kembali kelas menulis yang beberapa waktu terserang libur…

Mengikuti kelas menulis, syaratnya ya harus bisa menulis. Sepertinya itu standart yang dianggap wajar-wajar saja. Bagaimana kalau satu atau beberapa diantara mereka belum bisa menulis kata bahkan kalimat dengan benar? Atau pertanyaan yang lebih umum, tidakkah bisa kelas menulis untuk anak Taman Kanak-Kanak yang belum mengenal ketrampilan baca dan menulis? Dan kenyataannya ada: siswa kelas 1 bahkan hingga kelas 2 yang belum bisa menulis, dan mereka mengikuti kelas menulis kami.

Seorang guru mendekatiku dan mengatakan,“Bunda, maaf, A dan B belum lancar menulis. Tapi biarlah dia ikut proses kelas menulis.” Saya katakan saja, agar kita melihat bersama-sama nanti. Sebenarnya, informasi-informasi demikian jika tidak kita olah dalam ruang sadar kita (pembimbing), akan sangat berpengaruh pada proses interaksi kelompok. Beragam informasi dari orang yang mengenal sangat dekat nanda-nanda kita, kemudian memberikan informasi-informasi yang menunjukkan kekurangan, kelemahan, perilaku ‘negatif’ dalam pandangan mereka, tentunya dengan maksud pembimbing bisa memaklumi kekurangan dan kelemahan itu. Tapi sebenarnya, sekecil apapun pengaruh informasi negatif tidak akan lebih menyenangkan dalam membangun suasana kelas.

Kali ini kami sepakat mengambil tema aktivitas liburan. Wah, tema yang sudah sangat sering diangkat di depan kelas oleh para guru setiap kali memasuki hari-hari awal usai liburan panjang. Lalu anak-anak diberi tugas untuk menuliskan pengalamannya selama liburan. Maka, beberap nanda berceloteh kalau hari-hari sebelum ini sudah mendapatkan tugas dari guru mereka untuk menuliskannya. Hm, saya khawatir ini akan menjadi sesi yang sangat membosankan bagi mereka.
Maka… saatnya bercerita dan berdialog…
“Baiklah kalau begitu, pertanyaan bunda siapa yang liburan bepergian?” Serunya mereka berebut mengangkat telunjuk sambil meneriakkan kemana saja mereka pergi. Satu persatu saya memancingnya bercerita, bertanya beberapa hal, dan pertanyaan itu berbeda-beda diantara mereka. Sebelum suasana kelas didominasi oleh mereka dengan cerita fantastis selama bepergian, segera saya mengajukan pertanyaan lain,“Lalu siapa yang mengisi liburannya di rumah?” Sudah bisa diduga, jawabannya tidak seseru kelompok yang memiliki pengalaman bepergian.
Jika pembimbing meminta mereka menuliskannya, maka sudah bisa diraba, nanda-nanda yang menghabiskan waktu liburannya di rumah, tidak akan banyak menggali segala aktivitas yang dilaluinya. Secara umum, apa yang dilakukannya tidak ada bedanya dengan saat tidak libur. Sesuatu yang sudah sering dilakukan, itu menjadi hal yang biasa-biasa saja, tidak fantastis, tidak menarik, apalagi untuk diceritakan kepada orang lain. Maka mereka lebih memilih untuk menyimpannya. cukup dirinya sendiri yang mengetahuinya.
Maka satu-persatu saya menggali mereka untuk menceritakan secara verbal apa yang mereka lakukan selama dirumah. Bermain bersama saudara dan teman dekat rumah. Apa? Lompat tali, sepakbola, bermain kartu, badminton, dan ternyata masih banyak lagi aktivitas yang mereka ceritakan.
“Kalian senang melakukan permainan itu?” tanya saya. Serempak mereka mengatakan senang, tanpa dibuat-buat, terlihat pada binar wajah mereka.
“Bunda juga senang mendengar cerita kalian.” Dan ini menjadi stimuli mereka berebut untuk berbagi cerita apa saja yang mereka lakukan selain itu. Mereka mengartikan ‘bepergian’ adalah untuk jarak jauh, sehingga bepergian ke taman kota, ke tempat-tempat wisata lokal, terlewatkan dari penceritaan mereka. Namun dengan dinamisasi verbal ini, akhirnya banyak hal yang bisa dieksplorasi sebagai bahan mereka menulis di sesi berikutnya, setelah semua merasa percaya diri, pengalaman liburan mereka semuanya menarik untuk dinikmati orang lain.
Memasuki sesi menulis tidak semua anak langsung menuliskan apa saja yang baru saja mereka ceritakan. Beberapa diantaranya meminta ijin untuk menggambar bebas. Dan saya memberi mereka keleluasaan untuk itu. Maka sebentuk rumah, kupu-kupu, ‘tulang dinosaurus’ (dia menamainya sendiri demikian), pemandangan, dan jajaran orang dengan pesawat di atasnya.
Menulis melalui gambar adalah pelajaran menarik yang saya terima dalam kelas ini. Awalnya saya berasumsi, menggambar adalah proses relaksasi mereka menghadapi suasana hening yang akan mereka hadapi saat menulis. Sebagian gambar sekilas tampak tak berhubungan dengan kata dan kalimat yang mereka tuliskan di bawah atau sampingnya. Tapi tidak dengan gambar ini: jajaran orang dengan pesawat di atasnya. Ada sebaris kalimat di atas jajaran orang yang menerjang gambar pesawat:  berapa satu ibuku di kalimantan. Kembali saya membuka obrolan dengannya, tidak bertanya secara khusus tentang gambar, melainkan membuka ruang cerita apa yang menarik selama liburan sekolah. Kalimat demi kalimat yang dia ucapkan, saya tuliskan dalam deretan-deretan. Dia mencermatinya, membacanya, lalu menganggukkan kepala dengan senyum lega. Sejurus kemudian saya membuka ruang untuknya bercerita tentang gambarnya. Dan ternyata gambar itu bercerita, bagaimana ia bersama dengan ayah dan beberapa orang naik pesawat untuk menjemput ibunya di Kalimantan. Berikutnya baru saya sadar, nanda ini yang tadi disebut sang guru belum bisa menulis dengan lancar.
Kelas menulis, pada hakekatnya bukan sekedar mengajak nanda-nanda untuk menulis —dan kemudian menyaratkan bahwa seluruh nanda harus sudah bisa menulis— tapi lebih dalam dari itu, yaitu mengerti apa yang mereka rasakan, pikirkan, inginkan, harapkan, dan mengerti bagaimana mereka menyampaikannya. Keberanian untuk mengutarakannya adalah gerbang menuju wilayah kritis dan kreatif yang sangat dibutuhkan untuk membangun karakter mereka.
Salam kreatif…
*     *     *
(Kamis, 26 Januari 2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *