(sebuah sesi awal)
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin brbuat adil, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katrung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memlihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Penganpun lagi Maha Penyayang.
(QS. An Nisa: 129)
Kita tidak bisa mengukur kebahagiaan dengan alat ukur apapun secara duniawi, bahagia tak dapat diformalisasikan, tak juga bisa diukur hanya melalui simbol-simbolnya. Bahkan negara pun tak pernah bisa menjamin rakyatnya dalam keadaan ‘bahagia’.
Semua perempuan pasti menginginkan ia menjadi satu-satunya bidadari bagi laki-laki yang menjadi suaminya. Ia satu-satunya ratu dalam rumah yang mereka tinggali. Ia menjadi satu-satunya tempat melabuhkan rindu dan rasa bagi suaminya. Tak ada seorang perempuan pun yang secara sukarela sudi berbagi suami dan cinta suami dengan perempuan lain. Dan karenanya, banyak perempuan lebih memilih berpisah kala sang suami tak lagi sanggup menahan diri untuk menikahi perempuan lain. Poligami adalah pilihan, bukan hanya bagi bagi laki-laki yang menyimpan seribu satu alasan untuk menikah lagi, namun juga untuk perempuan yang hendak dimadu.
Mungkin tidak pernah terpikir sedikit pun, bahwa poligami adalah keputusan untuk kepentingan terbaik anak dan istrinya. Tentu saja, pemikiran seperti itu sangat mustahil, bukan? Yang terjadi adalah poligami lebih berorientasi untuk kepentingan sang laki-laki, dan (alih-alih untuk keluarga) untuk kepentingan perempuan yang akan dinikahinya. Secara umum demikian.
Jika mau melihat lebih dalam, psikologi ibu yang terganggu akibat poligami (karena tidak siap mental) akan sangat berpengaruh terhadap pola asuh, asih dan asah pada anak-anaknya. Keadaan yang demikian secara normal pasti juga akan berpengaruh terhadap kehidupan suami (ayah dari anak-anak) yang melakukan poligami, terkecuali jika suami bersikap abai (dalam banyak kasus, sikap abai inilah yang diambil para suami, karena menganggap urusan anak adalah tanggungjawab seorang ibu). Itu berarti, beban suami menjadi semakin berat, harus menguatkan mental-mental istri-istrinya dan anak-anaknya, dan itu tak seperti sekedar membalikkan telapak tangan.
Pada saat poligami masih menjadi rencana, hampir dipastikan para laki-laki ini menyatakan siap dan sanggup untuk mengokohkan mental-mental istri dan anak-anaknya dari pernikahan sebelumnya. Semua menjadi sangat mudah dan ringan dalam pandangannya. Namun begitu kehidupan poligami dijalaninya, barulah ia menyadari teramat banyak hal diluar pengetahuan dan prediksinya. Tapi semuanya menjadi terlambat jika ia berkeinginan untuk menjalani hidup dengan monogami. Karena itu berarti mencampakkan satu diantara mereka, yang dampaknya juga takkan sebaik yang dia kira.
Tidak pernah ada yang bisa memastikan alasan dan niat seseorang dalam berpoligami, meskipun alasan yang dianggap masuk akal untuk tindakan itu adalah karena sederetan kekurangan istri yang bersifat permanen (istri sakit yang tak bisa disembuhkan, istri cacat permanen, istri dinyatakan mandul, istri tak mampu melayani seksual suami yang tinggi), suatu keadaan yang sama sekali tak diharapkan oleh sang istri. Siapa yang menginginkan kekurangan-kekurangan itu menempel pada dirinya, apalagi secara permanen? Tak ada seorang pun! Bahkan ketika kekurangan itu menempel pada diri seorang laki-laki, sungguh sangat menyiksa, apalagi ia harus kehilangan kepercayaan diri dari orang yang sangat dikasihinya, pasangan hidupnya. Poligami, dalam kasus-kasus seperti ini, berarti melegitimasi lenyapnya nurani kemanusiaan dari diri laki-laki, serta menempatkan perempuan tak ubahnya alat kesenangan semata: senangnya kusuka, susahnya kulepas.
Yang lebih memrihatinkan, poligami biasanya diiringi dengan pernikahan siri. Sebagian besar laki-laki pelaku poligami tidak merasa siap untuk terbuka dengan istri yang dinikahi sebelumnya. Mereka lebih memilih mempertahankan zona nyaman, sebuah kenyamanan yang sejatinya bersifat sangat sementara, bahkan menyerupai bara dalam sekam. Dalam beberapa kasus, permasalahan baru akan terkuak saat anak hasil pernikahan siri harus berurusan dengan akte kelahiran sebagai persyaratan masuk sekolah. Dari sinilah istri kedua (atau kesekian) dari pernikahan siri itu menuntut untuk dinikahi secara sah menurut hukum negara. Bersama berjalannya waktu, persoalan akan meruncing, hingga pernikahan mereka diketahui keluarga ketiga belah pihak, dan mulailah terbukanya tabir ini menanam luka yang sangat dalam, terutama bagi istri dan anak-anak dari pernikahan sebelumnya. Menurut Kak Seto (dalam sesi wawancara dengan Viva News) ini akan berdampak munculnya perasaan marah, kecewa dan cemburu pada anak-anak, yang bisa menumpuk dan akan menggangu emosi anak. Tidak hanya berdampak pada psikologisnya tetapi juga pada fisik dan prestasi akademiknya. Keceriaan anak pun akan berkurang bahkan menghilang akibat tumpukan emosi tersebut.
Poligami dan nikah siri (atau poligami yang diiringi dengan nikah siri) tak ubahnya fenomena gunung es. Sangat sedikit jumlah yang terdeteksi, namun bisa dipastikan angkanya sedemikian fantastis. Dan keduanya tidak selalu menjadi solusi yang sehat terhadap realita bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki.
Wallahu ta’ala a’lam…
* * *
menarik bu tulisannya.
Bu Pranti, ayo ngumpul dengan para blogger Tulungagung.
Ning ini yang pada ngumpul bukan pemain SEO ki….. hehehe