(sebuah prolog)
Prinsip setiap tindakan dalam Islam, adalah harus memberikan kemashlahatan untuk semua (dengan memegang prinsip adil), bukan manfaat untuk pihak tertentu tapi mendhalimi pihak yang lain (ada pihak yang terdhalimi). Demikianlah yang seharusnya dipegang oleh setiap kaum muslimin dalam setiap persoalan, termasuk dalam urusan munakahat, khususnya poligami dan nikah siri (dalam terminologi fiqih, tidak ada istilah nikah siri). Berdekatan dengan mashlahat dan berjauhan dari madlarat (apalagi kedhaliman) adalah yang paling dekat dengan taqwa dan keridlaanNya.
Persoalan munakahat, sesungguhnya berada dalam ranah privat, dengan aturan yang sangat jelas dalam hukum agama Islam. Namun akan menjadi persoalan publik jika dalam penerapannya lebih memberikan dampak buruk dalam kehidupan yang lebih luas, psikologi, ekonomi, sosial, budaya, terlebih lagi jika berpengaruh terhadap tumbuhkembang dan hak-hak anak-anak.
Pemaknaan nikah siri yang berkembang di masyarakat ada dua: pertama, pernikahan tanpa wali, lebih disebabkan karena keluarga pihak perempuan tidak menyetujui pernikahan ini. Dalam kasus ini, jika mempelai adalah seorang gadis (belum pernah menikah), pernikahan tidaklah sah. Ada juga yang menyiasatinya dengan menggunakan wali hakim.
Kedua, pernikahan yang sah menurut agama Islam (terpenuhi rukun dan syarat sahnya), namun tidak tercatat di lembaga negara atau KUA. Ada beberapa alasan mengapa pasangan memilih untuk menikah siri:
1. Keterbatasan biaya, apalagi dari waktu ke waktu biaya yang diperlukan semakin tinggi.
2. Bagi pasangan yang sudah dinyatakan tidak dapat memiliki anak, ini merupakan pilihan yang tetap harus dilaksanakan secara bertanggungjawab (di luar kepentingan terbaik anak ‘kandung’).
3. Poligami, menikah tanpa sepengetahuan istri pertama (lebih tepatnya istri yang lebih dulu dinikahinya).
Nikah siri dan poligami seringkali digunakan sebagai pembenaran daripada terjadinya perilaku sex bebas. Kalimat ini sangat tendensius, bukan? Jelas sekali terkandung maksud di dalamnya bahwa perilaku sex menjadi sangat utama, dan menempatkan perempuan pada posisi yang sangat rentan, bukan sekedar sebagai pemuas nafsu yang dilegalisasikan namun juga menghilangkan peluang hak atas perlindungan hukum bagi perempuan jika terjadi sesuatu yang disebabkan karena pernikahan ini, misalnya KDRT dan perceraian.
Samar-samar saya ingat saat mengikuti Pelatihan Tenaga Pelatih Fasilitator Sosial, kami diterjunkan di sebuah desa di Jawa Barat (saya tidak sebutkan namanya) dimana hampir satu dusun tempat saya tinggal banyak sekali perempuan yang membesarkan anak-anak mereka sendirian. Status perempuan ini tidak jelas, karena sebagian suami-suami mereka (yang menikahinya secara siri) meninggalkan mereka, ada yang telah cerai, namun ada yang meninggalkan begitu saja selama bertahun-tahun. Kondisi ekonomi mereka hampir semuanya sangat memrihatinkan. Tak ada yang bisa dilakukan para perempuan ini, bahkan oleh keluarga besar mereka, kecuali menunggu dengan kepasrahan semata. Untuk menikahkan lagi anak-anak mereka, juga bukan hal yang mudah, karena posisi pernikahan mereka yang digantung (belum diceraikan), dan mereka tak dapat mengajukan gugat di Pengadilan Agama lantaran pernikahan yang tidak tercatat secara hukum negara. Ini hanya secuplik kehidupan, yang entah tak dapat saya perkirakan di mana saja hal serupa ini terjadi.
Nikah siri tidak akan menimbulkan permasalahan apapun, kecuali jika berhubungan dengan persoalan hukum yang menyertai sebuah pernikahan: seperti pengurusan Akte Kelahiran Anak yang lahir dari pernikahan ini, hukum waris, kesempatan untuk memperoleh keadilan saat terjadi perceraian atau konflik dalam rumah tangga yang memicu hingga terjadinya tindak kekerasan.
Di dalam Islam tidak ada nikah siri!
Jadi, salah besar jika fenomena ini dijadikan alasan untuk bermain-main dengan pernikahan, semata hanya untuk mengejar kesenangan syahwat semata atau dengan alasan lain yang kurang kuat atau diada-adakan.
Wallahu ta’ala a’lam…
* * *